Just Believe

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Author : irmaharyuni

Judul : Just Believe.

Gift yang dipilih : Negeri para Roh.

****

Seorang gadis muda menari meliuk-liuk di antara para lelaki.  Gerakannya liar dan memabukkan,  tidak peduli apapun, dan tidak ada yang menginterupsinya,  meski badannya di raba oleh para lelaki yang mengitarinya.  Jiwa jalangnya keluar semakin menggebu-gebu. Tangannya ke atas, berputar menari dengan goyangan pinggul menggoda, dan menaik turunkan dadanya.  Bokongnya telah diraup oleh tangan besar orang yang sedang menari dengannya

"Ardhina?!!" teriak seorang pemuda memanggil gadis yang tengah asik berdansa. "Minggir semuanya! Eh,  Ar? Ardhina! Ayo, kita kembali! Kan sudah gue bilangin, tungguin gue di sana aja!"

"Hah?  Arjun? Ayo, gabung sini! Loe juga pengin tubuh gue kan?" racaunya dengan kekehan sumbang. Arjuna mengernyit, mukanya menyiratkan emosi.

"Ayo pulang!" Arjuna menyeret gadis itu, namun tangannya dicekal oleh seseorang.  "Tidak ada yang bisa mengambil gadis itu dariku!" Lelaki yang tadi menyentuh gadis itu kini berdiri dengan bodyguard-nya.

"Dia temanku! Aku berhak membawanya pulang!" tukas Arjuna dengan menarik kerah laki-laki yang sudah berumur itu.  Semua bodyguard-nya mengelilingi Arjuna. Dan salah satu dari mereka menarik kasar Arjuna sampai terjungkal.  Secepat kilat, orang-orang itu memukul dan menendangi Arjuna tanpa ampun, hingga Arjuna tercabik-cabik penuh darah dan lebam.

DOR!

Suara tembakan senapan menginterupsi pembantaian itu.  "Polisi!" Arjuna berteriak lalu berhasil mengalihkan perhatian semua bodyguard tersebut. Ia merangkak lalu bangkit dan meraih tangan gadis itu yang sedang berjongkok ketakutan.  Namun,  gadis itu melepas tangan Arjuna dan berlari kencang keluar dari klub.  Arjuna dengan tergopoh-gopoh menyusulnya.  Sementara para bodyguard dan laki-laki tua itu harus berurusan dengan pemilik klub.

Gadis itu tergopoh-gopoh memeluk tasnya dan berlarian mencari kendaraan yang lewat,  namun nihil.  Lalu ia berlari kencang demi menghindar, untuk kemudian mencari tempat untuk bersembunyi.

Ia menemukan sebuah tong sampah berukuran besar, berjongkok  di sana dengan tubuh yang gemetaran dan napas terengah-engah.

Sampai akhirnya ada pemuda yang lewat, melihat gadis itu tengah berjongkok ketakutan.

"Hei,  kamu kenapa?" tanyanya sembari menyentuh bahu gadis itu.

"Aaakkk!!!  Aku nggak salah Pak,  aku nggak melakukan apapun,  aku nggak pakai kok!  Beneran! Enggak pakai apapun!" jerit gadis itu sembari mengangkat kedua tangannya memohon.

"Hei,  ini aku. Kamu kenapa?" tanya pemuda berkumis tipis itu sembari menurunkan tangan gadis itu.

Namun,  gadis itu malah beringsut mundur dengan mimik muka ketakutan. Ia berdiri perlahan lalu berlari meninggalkan pemuda tersebut.

***

Gadis itu sudah kembali ke rumahnya dengan cepat, dan terburu-buru memasuki kamarnya.  Ia mengunci rapat kamarnya,  lalu meringkuk di balik selimut dengan tengkurap.

"Nggak!  Aku nggak salah! Aku nggak mau di penjara! Aku nggak makai apapun! Aku nggak salah!!!" jeritnya sambil membekap mulutnya sendiri dengan bantal.

Ardhina Masyita Razief, anda dilaporkan telah terbukti menggunakan narkoba. Ikutlah dengan kami! dengungan suara-suara itu mengaung di jelas di telinganya.

"Tidak...!!! Aku tidak memakai apapun!  Aku tidak salah! Aku hanya bermain-main!" jerit Ardhina semakin frustasi dan menutup telingannya rapat.  Ia meringkuk cemas di bawah selimut sambil menangis kencang.

Kamu itu bukannya belajar! Malah keliaran nggak jelas! Nyanyi lah,  ngeband lah! Dan sekarang, kamu malah bikin Ibu malu! Kamu mau bikin Ibu mati mendadak?! Lagi-lagi bisikan itu membuat Ardhina bergidik takut. Ia terus menjerit frustasi, dengan tubuh yang gemetaran hebat, dan sudah banjir oleh keringat. Debaran di dadanya semakin kencang memacu ketakutannya. 

Ardhina melotot saat melihat seberkas cahaya.

Ardhina, kamu sudah mendekati ajalmu!

Bisikan itu memekakkan telinganya.  Ardhina merosot lemas dengan bersimbah air mata.

"A-aku belum mau mati," lirihnya lalu tersungkur jatuh. Ia sudah tidak sadarkan diri.

***

Ardhina masih menelusuri jalan dengan mengendap-endap.  Matanya membidik, tangan basah yang berpeluh berkali-kali mengusap rok abu-abu yang dikenakannya. Tubuh kurusnya sesekali menggigil, lalu ia sibuk menutupi wajah dengan tangan, dan menyilangkan rambut kedepan.

Langkahnya tak menentu, terlalu sibuk dengan bisikan yang berkelabat mengusiknya.

Kamu telah berdosa besar,  dan tidak bisa kembali... sekalipun kamu mau kembali,  kamu hanya akan jatuh sakit! Bisikan maut itu menyengatnya, begitu mencekik tenggorokannya. Gadis itu berjongkok dan menutup telinganya keras, ia begitu ketakutan dan merasa sesak yang hebat. Jiwanya terpuruk ke dalam dasar kehancuran. Namun ia terus mengelak. Terlalu sulit untuk  mundur dari jalan yang sudah terlanjur ia tempuh, meski di hati kecilnya, ia merasa tersiksa. Dadanya penuh sesak, seperti ada gunungan besar yang menghimpit, dan membekukan apa yang ada di dalamnya. Ia memberontak, masih terus melawan meski di teror dengan siksaan batin yang kian merusak akal sehatnya. Gugusan pikiran setan membuatnya ingin lari dari kenyataan yang ia hadapi saat ini,  yaitu melawan dirinya sendiri.

Ardhina merosot, ia mendelik dengan sambil menutupi telinganya, namun matanya sibuk dan begitu gusar membidik jalanan.

"Argh! Sialan!  Gue nggak peduli! Gue butuh itu sekarang! Dimana lagi jatuhnya?!" gumamnya dengan suara parau.  Ia mencari barang haram itu yang kemungkinan terjatuh di dekat klub tadi malam.

"Kamu mencari ini?" Sebuah suara laki-laki membuat Ardhina menoleh cepat. 

Ardhina menatap benda yang di pegang laki-laki itu dengan senyuman lebar.  "Sini!" todong Ardhina.

"Jangan berharap," sahut laki-laki berkumis tipis itu dengan muka datarnya. 

"Sejak kapan kamu memakai ini?" tanyanya dengan tatapan sendu.

"Apaan sih?!  Itu punya gue, kan?  Loe itu yang tadi malam, kan? Ini semua tuh gara-gara loe tahu nggak!" seru Ardhina sembari mencoba meraih benda itu dari tangan si pemuda. 

"Dhin... jawab aku!" ucapnya dengan setengah membentak.

Ardhina mundur, menutup telinga, lalu ia berjongkok dan meremas-remas kedua lengan tangannya.

"Ah,  tidak!  Aku nggak mau ditangkap! Aku nggak salah!" gumamnya dengan terisak. Pemuda itu terkejut lalu ia meraup kasar wajahnya. Ia baru menyadari sesuatu.

"Dhin, bangun... ini saya,  Raka Pradipta. Saya nggak akan nangkap kamu,  ayo ikut saya...," ucap pemuda itu berusaha menenangkan Ardhina.  Ardhina menatap Raka, lalu ia mengikuti tuntunan Raka meski dengan gusar menengok ke kiri dan kanan.

***

Raka membawa Ardhina ke kosannya.  Lalu ia menyerahkan selimut tebal untuk Ardhina. 
"Saya nggak akan ngelaporin kamu.  Kamu nggak akan ditangkap.  Jadi, saya mau kamu jujur.  Kamu kenapa?" tanya Raka dengan lembut. 

"Aku nggak mau ditangkap, Pak! Aku nggak mau! Argghhh...!" jawab Ardhina dengan raungan tangisnya.

"Iya, aku ngerti. Kenapa kamu sampai memakai barang haram itu?" tanya Raka mencoba bersabar,  meski hatinya teriris pilu.

"A-aku hanya ingin bebas. Aku hanya ingin bebas menjadi diriku sendiri!" jawab Ardhina dengan suara serak,  dan tergugu. 

"Iya, Dhin, kamu boleh bebas kok.  Tapi,  ini salah.  Kamu tahu, kan?" Raka menatap mata Ardhina meski Ardhina tak mau menatap matanya. 

"Dhin?"

"Iya! Iya aku salah! Dan aku sakit! Puas?!" jawab Ardhina sambil meraung.  Keringat dingin keluar dari dahinya,  bibir cokelatnya memucat, sesekali ia memegangi kepalanya. Hidungnya sudah penuh dengan ingus, seperti terkena flu. 

Ardhina meringkuk di kasur Raka dengan selimut tebal,  ia gemetar dan menangis. 

"Loe siapa, sih? Kok kenal gue? Loe bukan malaikat pencabut nyawa, kan?" tanya Ardhina curiga sembari menutupi wajahnya.

"Hah? Gue Raka Pradipta, Dhin, vokalis Dik Band, loe ingat, kan? Band yang dulu nantang duel sama band loe," tanya Raka sambil tersenyum simpul.

"Oh, siapapun elo,  gue butuh barang itu, please...," rengek Ardhina memegang lutut Raka. 

"Dhin, gue tahu loe udah nyesel. Loe ingin berhenti kan? Harus sekarang  atau loe nggak bisa berhenti sama sekali!" tegas Raka menangkup pipi Ardhina. 

"Dhin, gue dah lama banget merhatiin elo.  Gue sayang elo," ucap Raka tanpa sadar meneteskan air matanya. 

"Loe itu siapa sih?!!" tanya Ardhina dengan nada tinggi dan menampar kasar tangan Raka. 

Raka berdiri mengambil sebuah foto.

"Ini adik gue.  Mirip banget sama loe. Sejak pertama gue lihat loe, gue bersyukur banget bisa lihat wajah adik gue lagi setelah sekian lama, " ucap Raka sambil mendekat dan merangkul Ardhina.

"Jadi ini adik loe? Tapi, gue bukan siapa-siapa loe!" Ardhina masih tidak mau menatap Raka.

"Tapi,  gue pernah ngalamin rasanya jadi elo. Dulu gue pecandu narkoba."

Ardhina menoleh ke arah Raka. "Terus? Loe bisa ikut campur urusan gue?"

"Dhin,  gue tahu loe capek.  Loe mau berhenti, kan? Buat apa loe mau ke sini kalau loe nggak mau berhenti? Buat apa loe mau ngalah sama gue?"

"Gu-gue takut Ka, gue takut mati,  gue takut ditangkap polisi.  Gue cuma mau bebas. Gue cuma mau bermusik, dan gue cuma mau dingertiin. Itu aja!" jawab Ardhina terisak lemah. 

"Jadi, loe mau berhenti, kan? Gue tanya loe sekali lagi."

"Iya." Raka mengernyitkan dahi,  menuntut jawaban lebih.
"Iya,  gue mau.  Gue capek!"

***

Raka sedang mengaduk air rebusan yang baru matang, air rebusan daun sirsak yang bagus untuk menetralisir racun dalam tubuh.

"Ka, loe dulu kenapa make narkoba?" tanya Ardhina yang bergumul di bawah selimut.

"Bokap gue kerja di klub yang waktu itu loe datengin. Kerja bagian pengamanan, tapi akhirnya hidupnya banyak diteror sama musuh-musuhnya di klub.  Sampai akhirnya bokap nyokap gue cerai, adik gue ikut sama bokap,  karena nyokap beralasan terlalu sibuk kalau harus mengurusi adik gue. Adik gue bisu. Tapi,  nyokap malah bersikeras ngebawa gue." Raka menunduk lemah dan sibuk memindahkan air rebusan ke dalam gelas. "Jadi gue terpaksa ikut nyokap,  karena nyokap gue ngancem yang engga-engga,  padahal gue nggak mau pisah sama adik gue."

"Adik gue meninggal gantung diri di kamar. Padahal gue yakin, adik gue nggak mungkin ngelakuin itu. Gue yakin ini pembunuhan! Ini terlalu janggal.  Karena saat itu adik gue kebetulan adalah saksi mata sebuah kasus di klub itu." Raka menekuk mukanya getir, mulutnya pahit harus menceritakan kisah tragis adiknya,  tangisnya sudah merebak merah diwajahnya. "Saat itu gue terus mencari pengacara. Tapi kasus itu lagi-lagi di manipulasi, dan harus ditutup, karena tidak ada bukti.  Sejak saat itu gue memberontak ke bokap gue,gue jadi sering mabuk-mabukan di klub, makai narkoba, padahal niat awal cuma mau menyelidiki tentang bajingan yang mengincar dan ngebunuh adik gue. Tapi gue malah terjerumus sama pergaulan dan ajakan mereka,  bodoh banget 'kan?! Kalau loe gimana, Dhin?"

"Innalillahi wa Innalillahi Roji'un... sabar ya, Ka. Gue nggak tahu kamu punya beban begitu besar.  Hmm, tapi kasus adik loe gimana sekarang?" Ardhina menggenggam erat tangan Raka,  dan mengusap lembut punggung Raka.

"Gue lagi sekolah hukum. Mau jadi pengacara dan mencari koneksi biar bisa membuka kasus itu lagi. Kalau loe gimana?"

"Bagus itu.  Kalau gue? Ah,  gue sih suka musik  dan nyanyi.  Tapi, Ibu gue malah nyuruh gue ikut les pelajaran ini itu,  dan menyuruh gue ikut lomba-lomba olimpiade.  Gue berontak dan Ibu gue malah menghukum gue, narik uang bulanan. Jadilah gue kayak gini,  sakau nagih obat. Gue kebawa pergaulan anak-anak band yang suka ngajak ke klub. Sampai suatu saat gue frustasi banget, gue jadi pengin nyoba sabu, eh malah ketagihan."

"Ya udah,  yang penting loe harus kuat nahan rasa sakitnya.  Ini bakal cepat berlalu kok.  Percaya deh, kalau loe nerusin buat make lagi,  yang ada loe bisa lebih sakit dari ini."

"Iya Ka, gue percaya.  Gue cuma mau buktiin ke Ibu gue,  kalau gue bisa banggain ortu gue dengan musik."

"Loe pasti bisa."

***

Selama hampir dua minggu Ardhina dirawat di rumah Raka. Ardhina sering kaki jatuh pingsan karena ketergantungan obatnya semakin menggerogoti tubuhnya. 

"Minum air putih yang banyak Dhin,  ini juga loe harus makan makanan yang sehat, dimakan loh ya?  Habis ini gue bikinin loe jus kulit manggis gimana?  Loe pasti bosan kan sama air daun sirsak?"

"Sorry ya Ka,  gue udah ngerepotin elo."

"Btw, gue takut nyokap gue khawatir Ka."

"Gue udah ngirim pesan ke nyokap loe,  kalau loe lagi liburan di pulau. Dan gue juga sudah ngirim surat ijin ke sekolah."

"Tapi Ka...."

"Loe mau pulang?"

Ardhina menggeleng. 

"Gue udah cek Ibu loe tiap hari.  Memang beliau kelihatan khawatir dan sedih.  Tapi beliau masih tetap percaya sama kamu. Aku dengar sendiri."

"Maksud loe?"

"Ardhina membutuhkan liburan. Mohon pihak sekolah mau mengerti. Nanti urusan keterlambatannya, saya bisa tanggung jawab. Begitu katanya."

"Loe nguping?"

"Nggak sengaja pas gue mau ngasih surat ijin.  Ternyata ibu loe sudah ijin dulu ke sekolah."

Ardhina meneteskan air mata, hatinya pedih menyadari bahwa Ibunya masih memperdulikannya. 

"Tapi,  mana mungkin pihak sekolah memaklumi kan?"

"Iya sih.  Atau mungkin loe mau ke pusat rehabilitasi?"

"Gue takut Ibu marah."

"Wajar kalau loe takut.  Tapi kalau itu lebih baik,  kenapa enggak?"

"Jadi,  gue harus balik ke rumah?"

"Semua keputusan ada di tangan loe."

***

Ardhina memutuskan pulang ke rumahnya.

"Ardhina! Kamu dari mana saja, Nak?" ucap Ibu Ardhina saat melihat Ardhina ada di depan pintu rumahnya.  Lalu bergegas Ibu Ardhina menuntun Ardhina ke dalam. "Kamu temannya Ardhina?" tanya Ibu Ardhina melihat penampilan Raka dari atas ke bawah.

"Iya Tan."

"Ayo masuk." Ibu Ardhina hanya ingin memperdulikan keadaan anaknya. 

"Maafin Ardhina Bu, Ardhina banyak salah sama Ibu.  Ardhina salah."

"Iya Dhin,  Ibu juga minta maaf.  Kok badan kamu kurus banget? Muka kamu pucet, badan kamu basah?"

"Ardhina mau ngomong jujur sama Ibu.  Ardhina butuh ke pusat rehabilitasi narkoba Bu."

"APA?!! KA-KAMU PAKAI NARKOBA! DASAR ANAK BANDEL!!" Ibu Ardhina shock,  dengan  muka yang memerah mulai meneteskan air mata.  Matanya melotot tak percaya, dadanya kembang kempis naik turun menahan amarah. 

"Sabar Tan," ucap Raka yang sedari tadi berdiri di samping Ardhina. 

"Maafin Ardhina Bu, " ucap Ardhina gemetar berjongkok di depan ibunya,  memeluk kakinya. 

Ibu Ardhina hanya diam dengan tangisan pilu.

***

Setelah mengurus beberapa surat-surat yang diperlukan, Ibu Ardhina dan Ardhina mendaftar ke BNN untuk mengajukan rehabilitasi narkoba. 

Setelah melewati beberapa tes, Ardhina diperbolehkan mengikuti rehabilitasi tanpa jerat hukum pidana. 

"Bu,  maafin Ardhina ya...."

"Iya Dhin,  yang penting kamu cepet sembuh.  Kamu harus kuat ya,  maaf Ibu nggak boleh jenguk kamu, itu aturannya."

"Ardhina yang minta maaf Bu, karena Ardhina Ibu jadi kesepian di rumah."

"Sudah Dhin, sana masuk," ucap Ibu Ardhina berbalik mengusap air matanya.  Raka yang melihat itu merangkul badan Ibu Ardhina demi menenangkannya.  "Makasih ya Raka,  sudah mau bantu Ardhina," lirih Ibu Ardhina dengan tangis sesenggukan. 

***

Ardhina melewati proses detoksifikasi di ruangan khusus.  Meski Ardhina tak banyak menggunakan obat penenang,  tapi ia tetap harus meminum obat antipsikotik, dan harus menjalani semua perawatan komprehensif sampai tahapan rehabilitasi sosial dan back to family. 

Ardhina meringkuk dengan tatapan kosong, hal ini wajar karena pengguna sabu-sabu mengalami lonjakan dopamin dalam otak sehingga membuat penggunanya tidak mampu merasakan kenikmatan.

Ia nampak seperti mayat hidup,  yang berusaha hidup, namun terlihat seperti tidak ada semangat hidup.  Tapi,  ahli psikologi tetap memantau kondisi Ardhina menghindari halusinasi maupun depresi. 

"Ardhina?" tanya seorang perawat yang memasuki ruangan. "Minum obat ya? Kamu mau makan apa?"

"Hmm... apa aja. Sus,  bawa aku keluar ya? Aku kangen sama Ibu dan Raka," ucap Ardhina bangkit dan mencengkeram lengan perawat itu. 

"Kamu harus sabar Dhin, kan perkiraan masa detoksifikasi kamu tinggal seminggu lagi.  Habis itu kamu mulai rehabilitasi sosial,  aku yakin kamu cepet keluar, " jawab perawat tadi dengan senyuman.

Begh!

Ardhina memukul leher perawat itu sampai jatuh pingsan. Lalu ia buru-buru membuka seragam perawat itu untuk dipakai. 

Ardhina dengan mulus melakukan gerakan itu dan menyembunyikan wajahnya. Ia keluar ruangan dan mencari jalan keluar. 

***

"Raka!" panggil Ardhina di dekat pagar kampus Universitas Negeri Jakarta.

Raka yang sedang melihat terpaksa berhenti,  ia menyipitkan mata dan mendekati sumber suara yang memanggilnya.

"Ini aku, " ucap Ardhina membuka maskernya.

"Ardhina?!! Kamu bukannya belum boleh pulang?" pekik Raka terkejut.

"Husst... aku kan kangen banget sama kamu."

"Dhin, please kembali ya? Fisik kamu itu lagi lemah! Kamu nggak bisa keliaran begini,  ayo kita ke sana lagi." Raka menggandeng tangan dingin Ardhina.

"Ka, aku nggak sanggup di tempat itu. Aku kesepian."

"Please bertahan, aku yakin kamu bisa ngelewati semuanya dengan cepat Dhin. Kamu nggak tahu kan sakitnya aku saat harus putus obat sendirian? Itu lebih menyakitkan Dhin, kalau di sana,  kamu bisa dipantau,  diberi obat, diperiksa."

Ardhina merengut dengan muka pucatnya, lalu tiba-tiba Ardhina roboh dan Raka dengan cepat menangkapnya.

***

"Gimana perkembangan Ardhina, Dok?" tanya Ibu Ardhina sangat cemas.

"Ardhina hanya kecapekan, ia memaksakan diri untuk keluar."

"Alhamdulillah,  tapi Ardhina nggak kenapa-napa kan, Dok?"

"Sejauh ini perkembangan Ardhina membaik, hanya saja dia mungkin merindukan keluarganya."

"Tapi,  apa itu nggak apa-apa Dok?"

"Yah, demi proses detoksifikasi lancar,  memang seharusnya begitu."

"Kasihan putri saya Dok."

"Sabar Tan," ucap Raka mengelus punggung Ibu Ardhina. 

***

Ardhina akhirnya melewati proses detosifikasi selama satu bulan.  Ia kini harus mengikuti terapi komunikasi,  vokalionalisasi dan resolusiasi.

"Ardhina, bisa kamu ceritakan bagaimana awal kamu memakai narkoba?" Ardhina menatap datar konselornya, lalu ia angkat bicara, "Harus dibicarain ya? Aku capek."

"Kamu capek Dhin? Ya udah lain kali aja nggak apa-apa. Itu artinya kamu mau menunda kebebasan kamu,  ya udah."

"Eh,  kok gitu sih Dok?! Enggak dong!  Nggak bisa gitu. Oke, oke aku jelasin, " Ardhina merapikan poninya, "Hmm,  awalnya aku diajak sama anak-anak klub. Katanya, biar aku seneng dan nggak kesel lagi sama Ibuku."

"Kesel?"

"Iya,  kesel.  Aku disuruh belajar, les ini itu,  sedangkan aku mau nggak mampu menurutinya.  Aku hanya ingin mendalami musik,  dan dance."

"Oh, gitu. Kamu sering kumpul sama temen-temen klubmu?"

"Tadinya enggak, cuma karena aku makai sabu,  aku jadi lebih sering ke diskotik."

"Oh,  terus sekarang,  kalau kamu ketemu temen klub kamu, kamu mau gimana?"

"Aku mau putus kontak aja."

"Bagus.  Terus? Apa yang mau kamu mulai kalau udah bebas?"

"Aku mau belajar dengan giat, meskipun nggak bisa sesuai keinginan Ibuku,  tapi aku akan berusaha. Dan,  tentunya aku mau mulai bernyanyi, ngeband dan dance lagi."

"Hmm, kalau kamu mau ngeband, kemungkinan pergaulan kamu bebas dong ya? Bisa ketemu sama orang yang makai lagi? Atau mungkin sahabatmu ada yang makai?"

"Iya sih. Ada juga, Arjun."

"Arjun? Siapa?"

"Temen sekolah, dan terakhir kali dia digebukin gara-gara nolongin aku di klub. Aku jadi nggak enak."

"Oh,  begitu,  terus kira-kira kamu mau gimana?"

"Mungkin aku nggak bisa ngehindarin Arjun, tapi aku bisa kok menjauh dari narkoba. Aku malah akan ingetin Arjun buat rehab."

"Wah,  kamu semakin cerdas ya Dhin. Aku tahu kamu aslinya anak baik."

"Enggak Dok,  Dokter salah. Aku tadinya bad girl! So bad!" Ardhina menitikkan air mata penyesalannya. 

"Ya udah,  yang penting kamu sabar.  Siapa tahu bentar lagi kamu bisa bebas dan memulai hidup lebih baik,  ya kan?"

"Harus Dok. Itu harus."

***

rachmahwahyu WindaZizty meoowii Icha_cutex glbyvyn NisaAtfiatmico c2_anin deanakhmad irmaharyuni umaya_afs megaoktaviasd Nona_Vannie AndiAR22 0nly_Reader bettaderogers Vielnade28 spoudyoo whiteghostwriter Riaa_Raiye

umenosekai aizawa_yuki666 destiianaa RaihanaKSnowflake iamtrhnf summerlove_12 realAmeilyaM TriyaRin TiaraWales beingacid opicepaka nurul_cahaya FairyGodmother3 somenaa

Jagermaster fffttmh CantikaYukavers Tyaswuri brynamahestri veaaprilia AnjaniAjha Bae-nih MethaSaja sicuteaabis EnggarMawarni NyayuSilviaArnaz Intanrsvln YuiKoyuri xxgyuu Nurr_Salma holladollam JuliaRosyad9 SerAyue HeraUzuchii

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro