8. 5%

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tips menulis ala Adia :

"Jadi penulis berarti harus siap jadi pemimpi."

_._._.___✍️

"Siapa yang melakukannya, lelaki atau perempuan?"

Aku mengibaskan tangan. Dibandingkan membahas siapa yang membuat rambutku kacau, lebih baik kuceritakan kalau aku ingat novel perdana ini.

Reist tidak juga mengubah raut muka tegangnya. Aku berdecak. Memukul pelan dada Reist yang entah sedang memikirkan apa.

"Ayolah. Kamu tidak kangen anak-anakmu?"

Ada yang bilang membawa anak dalam sebuah perbincangan selalu berhasil. Benar saja, hal ini bekerja untuk Reist. Ia mencoba santai. Memintaku bicara hal yang buatku bersemangat.

"Aku ingat cerita ini. Ya, meskipun tidak sampai mendetail. Yang penting aku tahu alur, bahkan sampai endingnya. Kamu mau dengar?"

Reist tidak punya pilihan selain mengangguk.

"Novel ini kuberi judul Before After. Genrenya mainstream romance," jelasku menggebu.

"Seperti umumnya cerita bergenre ini, tokoh utama wanitanya sudah di-set sejak awal untuk berjodoh dengan tokoh utama laki-lakinya." 

"Seperti yang sudah kita tahu, tokoh wanitanya Maia, atau aku. Dan tokoh laki-lakinya Bhanuar. Kakak kelas Maia."

Dahi Reist berjengit setelah nama Bhanuar kusebut barusan.

"Maksudmu?"

"Ya begitulah ... Kalau cara yang kamu bilang sebelumnya itu benar. Berarti Maia tinggal pacaran dengan Bhanuar. Selesai. Happy ending."

Bisa kurasakan Reist tidak nyaman mendengar ucapanku. Aku tahu diri. Bagaimanapun, di sini semua tokoh hidup layaknya nyata.

Pacaran dengan Bhanuar, seperti berselingkuh dari Reist.

"Reist, aku mengatakannya bukan karena aku suka. Tapi itulah premis cerita Before After."

Reist diam seperti sedang berpikir.

"Meskipun perkiraannya hanya 5%, tapi layak dicoba. Bagaimana?"

Sebisa mungkin aku ingin terdengar diplomatis. Meskipun tanpa Reist tahu, ada yang kusembunyikan tentang ending Before After. Nanti saja kuceritakan saat mood memungkinkan.

"Lelaki itu, Bhanuar ..., sudah seberapa dekat kamu dengannya?"

Aku menggeleng. "Belum ada pendekatan sama sekali."

Reist menarik napas panjang. Sementara itu aku sibuk melompat-lompatkan biji mata ke langit biru.

"Baiklah, kita coba."

Meskipun itu usulku, tapi mendadak aku jadi ragu.

"Tapi sebelumnya, aku harus mengubahmu dulu. Jadi wanita yang layak diperhitungkan para lelaki."

Aku tidak mengerti, tapi aku ikut saja cara Reist. Termasuk setuju waktu ia membawaku ke salon dan memperbaiki rambut ikalku.

📖

Kelas riuh ramai, bukan saja karena penampilan baruku. Tapi juga karena Reist jadi murid baru di kelas.

Ini salah satu strategi yang ia bilang tempo hari. Aku menurut, seperti kerbau dicucuk hidungnya. 

Kuakui, Reist punya garis wajah innocent daripada murid SMA kebanyakan.

Tanpa ia sadari, ia punya pesona yang membuat wanita mudah terpikat. Padahal ia tidak melakukan apapun. Diam saja sudah sangat menggiurkan. Dan Sevi menyadari itu juga.

Bel istirahat berbunyi. Beberapa wanita anggota geng Sevi berkerumun di meja Reist.

Pertama kalinya sikap posesifku muncul. Terlebih aku tahu kalau Reist adalah suamiku.

Darahku mendidih waktu Sevi menepuk pundak Reist. Hanya sentuhan kilat, sebab Reist menepis tangan Sevi kemudian.

"Aku tidak suka disentuh. Menjauhlah!"

Aku tertawa dalam hati. Entah Reist sedang berakting atau apa, sikap tak acuh Reist sukses melukai harga diri Sevi. Aku bersorak untuknya.

"Reist pemalu juga rupanya. Mana ada lelaki normal yang tidak suka disentuh wanita. Jangan bilang kamu homo." Sevi tidak lelah mencari perhatian. Gelak tawa terjadi, Reist terlihat kesal.

"Normal atau bukan, sejak kapan jadi urusanmu."

"Uh, Reist. Kamu menggiurkan sekali."

Reist berdiri dengan angkuh. Ia menggeser meja dengan kakinya hingga tercipta jalan keluar dari kerumunan serigala betina macam Sevi.

"Adia, ayo pergi." Reist berteriak padaku di meja belakang.

Ups, Reist pasti kelepasan bicara. Sudah kubilang berkali-kali kalau di sekolah panggil aku dengan nama Maia. 

"Maksudmu Maia? Kenapa kamu memanggilnya Adia?" Sevi keheranan.

"Suka-suka aku."

Reist beringsut keluar kelas. Di saat bersamaan aku cekikikan di meja. Sevi memperhatikan. Menumpuk tangan di dada. Siap mengintimidasi.

"Ow, jadi ada sesuatu antara kamu dengan Reist," Sevi mencibir.

Aku berdiri congkak meniru Reist. Sekali saja aku ingin menang dari Sevi.

"Bukan urusanmu," sinisku seraya keluar kelas, mengejar Reist yang belum jauh.

Bisa kudengar Sevi berteriak memanggil namaku. Aku terkikik geli sambil melompat-lompat menyeimbangkan langkah kaki dengan Reist. Beruntung Reist berada di pihakku. Akhirnya aku tahu cara mengalahkan Sevi.

"Apa dia yang menyiram kepalamu waktu itu?" tanya Reist. Masih ingat saja dia.

"Bukan Sevi, sih. Tapi salah satu di antara mereka."

"Aku akan membalasnya, kalau kamu mau."

"Tidak usah. Kamu bersikap dingin seperti tadi saja, sudah cukup buatku. Hihi tidak suka disentuh, berlebihan sih, tapi Sevi pasti kesal."

"Aku memang tidak suka disentuh. Apalagi perempuan."

"Masa? Kamu sering tuh peluk-peluk aku. Aku juga perempuan."

"Kamu kan istriku."

Tidak sadar tempat sekali. Bagaimana kalau kedengaran orang lain. Tapi tanpa terduga aku malah senang mendengarnya. Bahkan pipiku memerah.

"Mana lelaki bernama Bhanuar itu?" 

Aku memutar pandangan, mencari sosok Bhanuar. Ia sedang berdiri depan kelas. Berbincang santai dengan teman-teman.

"Itu ... lelaki yang paling tinggi." Aku menunjuk ke tempatnya, diikuti oleh tatapan Reist.

Ia tak lepas menatap Bhanuar. Mengikuti setiap lelaki itu memberikan berbagai ekspresi.

Aku mengibaskan tangan di depan wajah Reist. Ia tidak terganggu. Malah bergumam pelan sambil pergi.

"Imajinasimu keren juga."

📖

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro