10th

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebagian besar keluarga inti Yatalana sudah berkumpul di depan ruang UGD ketika Aras dan Widya datang. Rama, ayah Aras memeluk Sera yang tengah menangis. Secara bersamaan mereka menoleh ke arah Aras dan Widya.

"Gimana keadaan nenek, Yah?" tanya Aras kepada ayahnya.

"Jantungnya, Ras," jawab Rama singkat.

"Kena serangan sehabis sarapan." Sera menambahkan. Ia masih terdengar terisak, namun terlihat sudah cukup mampu mengendalikan diri.

Aras kali ini menoleh mencari-cari keberadaan Widya. Saat Aras berbincang dengan ayahnya, Widya mendekat ke depan pintu ruang UGD.

"Ngapain?" tanya Aras.

"Nungguin Nenek."

Aras menunjuk kursi di ruang tunggu. "Kamu duduk di sana saja."

"Eh?" Widya mengalami sedikit turbulensi saat Aras memegang bahu kanannya. Ia pun tersadar bahwa baru saja Aras memanggilnya dengan sapaan "kamu". Kata itu memang  dipakai Aras ketika berada di tengah keluarganya.

"Iya."

Aras kali ini membimbing Sera duduk bersama mereka di bangku besi yang masih kosong. Sera dan Aras memang sangat dekat dengan nenek mereka, sehingga saat terjadi sesuatu kepada nenek, aura kesedihan begitu terasa. Bedanya, Aras yang seringkali bertindak sebagai penopang. Sama seperti ketika ibu mereka meninggal 5 tahun lalu, sekalipun sangat berduka, sebagai satu-satunya anak laki-laki justru ia yang terlihat paling tegar.

"Nenek bakal baik-baik aja, Mbak."

Sera mencoba mengangguk. "Ini udah serangan kesekian, Ras. Mbak takut."

Usia nenek mereka sudah mencapai 77 tahun. Sekalipun usia beliau memang sangat tua dan rentan penyakit, mereka berharap beliau akan selalu sehat.

"Mbak tenangin diri dulu. Aku ambilkan minum ya?"

"Ini, Mbak."

Widya menyodorkan air mineral botol setelah Aras menawarkan untuk mengambilkan minuman. Di tengah perjalanan tadi, mereka sempat singgah membeli air mineral dan minuman kaleng. Itu ide Widya dan ternyata memang dibutuhkan di saat seperti ini.

"Makasih, Dy," ucap Sera mencoba tersenyum.

Widya mendekatkan posisi duduknya, dan memeluk bahu Sera.

"Kita berdoa sama-sama ya, Mbak. Semoga nenek baik-baik saja."

"Iya," angguk Sera.

Aras beranjak dari kursi ketika pintu ruang UGD terbuka. Ayahnya yang lebih dahulu mendekat ke pintu, bertanya kepada dokter yang baru saja keluar.

Dokter laki-laki berkacamata tersenyum kepada mereka. Dari informasi yang disampaikan dokter, nenek sudah dalam keadaan sadar. Tinggal mengupayakan pemulihan kesehatan beliau melalui opname.

Seharusnya tidak ada yang perlu dicemaskan.

***

Siang itu juga nenek Adilla dipindahkan ke ruang ICU. Tidak ada satupun dari mereka yang meninggalkan rumah sakit. Semuanya masih menunggu kesempatan untuk bisa menemui nenek Adilla sekaligus memastikan keadaannya secara langsung.

Setelah bersama melihat keadaan nenek, Widya mengikuti langkah Aras keluar dari ruang ICU.

"Lo pulang saja duluan," ucap Aras setelah mereka berada di teras ruangan yang pintunya telah tertutup rapat.

"Aku mau tinggal sebentar lagi," balas Widya. Ia merasa masih terlalu cepat untuk pulang. Lagipula, Aras juga masih ada di sana.

"Setengah jam lagi kalo gitu." Aras berkata lagi.

"Kamu mau nginap?"

"Iya. Tapi sore gue balik ke rumah, buat mandi sama ganti baju." Aras memasukkan tangan ke dalam saku. Pandangannya menerawang.

Di sampingnya, Widya memerhatikan Aras. Sekalipun ia berusaha menenangkan Sera, Aras tidak dapat menyembunyikan ekspresi cemas. Widya teringat ketika nenek sempat kolaps dan masuk rumah sakit sebulan sebelum mereka resmi bertunangan. Pernikahan mereka bisa dibilang adalah andil dari nenek Aras. Bagaimana beliau menginginkan pernikahan itu terjadi dan memastikan Aras bisa melindungi dan menyayangi Widya untuk selama-lamanya, meski kenyataan berbicara lain.

"Aku pulang aja sekarang. Tapi aku mau pamit dulu sama ayah dan Mbak Sera."

Aras mengeluarkan kunci Audi-nya dan mengulurkan kepada Widya.

"Pake mobil gue aja."

Widya mengangguk, dengan cepat mengambil kunci mobil Aras sebelum si pemilik berubah pikiran.

"Awas jangan sampai lecet."

"Iya, tenang aja."

Aras lebih dulu berdiri.

"Ayo, gue antar pamitan."

***

Widya kembali lagi ke rumah sakit keesokan harinya. Semalam Aras menginap di rumah sakit sementara ia susah payah memejamkan mata hingga hanya tidur tiga jam saja.

Sampai di koridor utama dan berbelok ke koridor menuju ruang ICU, Widya melihat Aras sedang duduk di bangku koridor bersama Sera. Ia mempercepat langkah sambil menggenggam erat tas berisi kotak makan siang.

"Hei, Dy," sapa Sera. Pandangannya turun dari wajah Widya ke tas biru muda yang dibawanya. "Apa tuh?"

"Ini, Mbak. Makan siang." Widya segera duduk di sebelah Sera dan bergegas meletakkan tas di pangkuan.

Diambilnya satu kotak dan membuka tutupnya. Aroma sup ayam langsung menyeruak.

"Mbak belum makan siang kan?" tanya Widya.

"Iya. Padahal baru mau ke kafetaria, tapi Aras bilang kamu mau datang bawa makan siang."

"Ayah mana?" tanya Widya saat mengangkat satu kotak berisi tumis jamur tiram.

"Ayah pulang. Ada urusan di kantor. Tapi sore nanti mau datang katanya. Aku udah bilang nggak usah dipaksain datang. Kan udah ada Mbak sama Aras yang jagain nenek?"

"Ayah khawatir banget, pastinya." Widya mengangsurkan piring kepada Aras.

"Besok nggak usah repot bawa makanan. Kafetaria buka 24 jam," kata Aras.

Sera mengangguk. "Iya, Dy. Aku sama Aras bisa makan di kafetaria. Jadi kamu nggak repot masak."

"Mm, nggak repot kok, Mbak." Widya melirik Aras yang balik menatapnya seperti isyarat untuk mengiyakan saja perkataan Aras tadi. Widya hanya bisa mengangguk. "Iya deh."

Widya memandangi Aras yang tengah mengunyah sambil melihat isi piringnya. Ia menyendok ayam suwir pedas dan memakannya tanpa bicara apa-apa.

"Enak, Dy. Ayam suwirnya kamu kasih bumbu apa?"

Widya tersenyum dan menyebutkan bumbu-bumbunya begitu fasih. Sera mendengarkan dengan serius masih sambil makan.

"Tumis jamur tiramnya juga enak." Sera kembali memuji masakan Widya.

Sementara Aras malah sibuk makan tanpa memberi komentar.

"Bahagia hidup kamu, Ras. Punya isteri pintar masak kayak Widya. Kalau Mbak terus makan masakan kamu, Mbak bisa gagal diet setiap hari. Iya nggak, Ras?"

Aras hanya menggumam, lalu kembali menyuapkan nasi ke mulutnya.

"Aras suka gitu kalo diajak ngomong. Terlalu menikmati ya?" Sera menyenggol bahu Aras yang sedari tadi selalu diam saja.

Widya tersenyum. Aras gitu lho? Kapan bisa diajak ngomong santai?

"Supnya agak asin sama kebanyakan merica," ucap Aras, pada akhirnya.

Sera menoleh kepadanya. "Masih tetap enak kok. Tapi, memang agak asin, Dy."

"Tadi nyicipnya pas abis ngemil cokelat, jadi nggak gitu terasa asin." Widya menerangkan.

"Tapi ayam suwirnya memang enak," kata Aras, terlihat tulus.

Widya tidak bisa menahan senyuman lebar di wajahnya.

"Minumnya mana?" tanya Aras. Ia melihat-lihat tas bekal tadi tapi tidak menemukan gelas atau botol air minum.

"Ah, iya. Minumnya di sini." Ia mengambil botol minuman berwarna biru lengkap dengan gelas.

Aras mengambil gelas namun tanpa sengaja menyentuh kulit lengannya.

Widya merasakan seperti ada setrum menyambar kulitnya.

   

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro