12th

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dy. Kamu msh di rs?

Iya. Ada apa?

Kangen. Ketemuan ya?

Widya mengerjap memandangi ponsel, kepada barisan chat berbalasan antara dirinya dan Elang.

Elang mengajak bertemu.

Setelah sejam, belum dibalasnya chat di WA tersebut. Kalau Elang ingin bertemu, berarti ia harus memastikan akan bertemu dengan Elang setelah nenek Adilla keluar dari rumah sakit. Ia tidak akan leluasa. Selain itu, rasanya semacam beban moril melakukan pertemuan itu saat nenek Adilla sedang sakit.

Suara ketukan diikuti bunyi pintu terkuak sejengkal mengharuskan Widya menutup tampilan chat tadi.

Aras baru saja masuk, menenteng bungkusan berisi kotak kertas putih.

"Makan malam."

Widya beringsut dari sofa, membawa ponsel di tangan kanan. Tas sandang hitam dibuka dan dimasukkannya ponsel yang masih dalam keadaan aktif tersebut.

Nasi ayam goreng pesanan Widya untuk makan malam itu dibeli Aras dari kafetaria. Widya membukanya pelan, membaui aroma ayam goreng tradisional yang masih hangat.

"Kamu udah?" tanya Widya berbasa-basi. Aras pasti sudah makan. Jika belum, ia akan membawa dua porsi nasi untuk mereka berdua. Bukan saatnya beromantis ria makan sekotak berdua.

"Sudah." Aras menjawab seolah-olah ia benar-benar tidak tahu pertanyaan itu tergolong pertanyaan basa-basi.

Widya mulai membuka bungkus plastik sambal. Di sampingnya Aras duduk dengan posisi setengah berbaring. Kedua tangannya dalam pose berbeda. Tangan kanan menopang kepala dan tangan kiri memijit-mijit pangkal hidung di antara dua alisnya.

"Kamu tidur aja kalo ngantuk." Widya menyarankan.

"Pusing."

Widya maklum kalau Aras merasa pusing. Dua malam tidur di rumah sakit tidak akan membuat siapapun bisa tidur nyenyak. Apalagi seorang Aras yang terbiasa tidur di tempat tidur sendiri.

"Kamu nggak beli obat?" Widya mengelap tangan yang ternoda sambal dengan tissue. Tiba-tiba ia tidak lapar.

"Nggak kepikiran. Nggak tau mau minum obat apa."

"Kamu nggak biasa minum obat sakit kepala kan?"

Aras tidak mengangguk atau menjawab. Ia hanya terus memijit kepala.

Widya mencuci tangan di wastafel, segera mengeringkannya dan membuka tas. Ia selalu membawa minyak kayu putih, aromaterapi, balsem dan obat kurang darah. Salah satunya pasti berguna untuk Aras.

"Balsem saja." Aras mengambil botol balsem di antara pilihan yang ada.

"Mau dipijit?"

Aras tidak menjawab juga tidak mencegah. Widya menganggapnya sebagai jawaban iya.

Widya mencolek balsem dan mengoleskannya di sepanjang bahu dan tengkuk Aras. Aras membelakanginya, memberi akses kepada Widya untuk mulai memijit. Ia melakukannya pelan-pelan dan hati-hati. Aras tidak bisa ditebak. Bisa saja ia marah, protes karena pijatannya terlalu keras.

"Gimana? Udah enakan?" tanya Widya sambil memijit kedua bahu Aras yang tidak setegang tadi.

"Lumayan," jawab Aras. "Jangan berhenti dulu, tapi."

Widya tersenyum mendengar permintaan itu. Jadi ia terus memijit bahu Aras sampai tangannya mulai terasa kram.

"Jadi keenakan." Widya berhenti memijit.

"Malah bikin ngantuk."

"Tidur gih."

Aras mengiyakan tanpa banyak bicara.

***



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro