18th

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Makan malam dulu,"

"Iya, Mbak."

Aras menatap deretan masakan buatan ART di rumah ayahnya. Berhubung hari ini hari Minggu, ia menghabiskan waktu seharian di sana.

Kemarin Nenek Adilla baru dipindah rawat ke rumah itu. Janjinya untuk meluangkan banyak waktu merawat nenek, membuatnya memilih menghabiskan weekend di sana.

"Dy, makan dulu yuk?"

Kali ini Sera mengajak Widya ikut makan malam bersama mereka. Widya baru saja keluar dari kamar nenek. Tangannya memegang baki berisi sisa makanan nenek. Buburnya sudah hampir habis sementara puding vanillanya tersisa piringnya saja.

"Iya, Mbak. Aku bawa ini dulu ke dapur?" Widya menjawab.

"Nanti aja dicuci sekalian sama peralatan makan di sini."

Widya melirik Aras. Tapi Aras tidak menanggapi.

Setelah keluar dari pantry, Widya masuk ke ruang makan. Menarik kursi di samping Aras. Sera memilih duduk berseberangan dengan mereka.

"Wah, ada cumi cabe ijo." Widya nyaris bertepuk tangan melihat salah satu makanan kesukaannya. Well, sebenarnya ia penyuka semua makanan sih, terkhusus yang pedas-pedas.

"Tadinya Mbak juga mau request dimasakin pete. Tapi ingat kalo Aras nggak suka."

Widya menyendok nasi dengan semangat. Kepulan asap dari nasi panas semakin menerbitkan rasa lapar.

"Jadi, waktu masih tinggal di sini, Aras nggak pernah makan pete?" tanya Widya. Bukan mengorek, ia hanya kebetulan menganggap hal itu bisa dijadikan topik obrolan.

Widya terkadang memanggil Aras hanya dengan nama saja. Hanya di momen tertentu, misalnya pamitan, atau Aras hendak pergi seperti di rumah sakit, kata sandang langka itu terucap.

"Nggak. Malah dia suka marah-marah kalo nyium ada bau pete," kata Sera.

"Padahal pete enak banget ya, Mbak?" Widya menyahut sambil menyendok cumi cabe ijo.

"Banget. Apalagi dicampur tempe sama udang." Sera membalas.

"Kapan-kapan deh aku masakin di rumah," tawar Widya.

"Trus, Aras nggak komplain?"

Widya melirik Aras. "Komplain sih, tapi aku cuekin aja."

Sera tertawa. "Good job, Dy. Aras memang harus digituin,"

Oh, jadi ini yang dilakukan kakaknya dan Widya? Membully di meja makan?

"Tapi masaknya kan pagi, Mbak. Jadi kalo Aras pulang, baunya udah nggak gitu kecium,"

Aras balas melirik Widya dan justru balasan seringai lebar yang diterimanya.

"Kalo udah punya isteri, laki-laki memang harus banyak kompromi." Sera masih tersenyum-senyum. "Apalagi kalo udah cinta."

Aras kali ini memilih menambah lauk dendeng balado ke piringnya. Diam tanpa menanggapi obrolan Sera dan Widya. Dua perempuan ini kalau ketemu, obrolannya bisa sangat-sangat annoying

"Tapi, Mbak sangsi kalo Aras bisa ngerasain jatuh cinta. Batu gitu," Sera menambahkan.

"Mbak ngomong apa sih?" protes Aras. Bukannya diam, Sera malah tertawa.

"Pemarah juga, Mbak," timpal Widya tanpa jeda lama dengan ucapan Sera tadi.

"Ras. Nggak usah ditatap lama-lama gitu, nanti tambah cinta lho,"

Ledekan Sera semakin menjadi. Sera sepertinya tahu jika ia dan Widya bukan pasangan suami isteri yang saling mencintai satu sama lain. Yang ia yakini tidak akan pernah terjadi.

Widya itu tipe perempuan bawel, dan tipe itu yang paling tidak ia sukai.

Mungkin sifat Kalya ada kemiripan, tapi ia kenal Kalya lebih lama. Jadi soal cinta, ia pasti cinta Kalya.

Widya senyum-senyum, terlihat sangat puas. Ia tidak perlu berkomentar banyak untuk membuat Aras kesal. Dan Aras benci fakta bahwa Widya tertawa padanya.

Apa ia terlihat lucu?

"Kenapa ketawa?" tanya Aras kepada Widya.

"Cuma senyum. Ketawa sama senyum itu beda."

"Ketawa tapi ditahan, kan?"

Widya menggeleng-geleng. "Manusia terkadang perlu menertawakan dirinya sendiri. Jangan tegang begitu."

Aras membuang napas kasar dan berniat cepat-cepat menyudahi makan malamnya.

"Ah, Mbak baru ingat." Sera berlagak seperti mengingat sesuatu yang tidak boleh sampai tidak dikatakannya saat itu juga.

Aras sudah selesai makan dan bersiap minum, sementara Widya baru saja menambah lagi sesendok cumi cabe ijo.

"Ada teman Mbak berencana bikin pemotretan khusus couple. Untuk eksekutif muda yang baru nikah gitu. Teman Mbak nawarin kalo kalian mau ikut. Pakaiannya udah disiapin."

"Nggak," jawab Aras.

"Boleh," Itu jawaban Widya.

Jawaban berseberangan keduanya mengundang reaksi geli dari Sera. Ia sudah mengira jawaban Aras akan seperti itu. Tapi ia tidak menyangka kalau Widya malah mengiyakan.

"Ini pemotretan Susan Wijaya lho, Ras."

"Aku pengen banget bisa muncul di majalah, Mbak. Waktu remaja dulu nggak kesampaian jadi model." Widya  sangat tertarik dengan tawaran itu. Sebagai bagian dari persekutuan sista-sista online shop sekaligus penggemar fashion, siapa yang tidak ingin terlibat proyek seorang Susan Wijaya? Seorang disainer muda langganan selebriti yang baru-baru ini sukses mengadakan fashion show di New York.

"Nggak ada yang akan ikut pemotretan." Aras mengucapkannya dengan dingin.

"Dan wajah kamu cukup ganteng untuk muncul di majalah, Ras. Tinggal banyakin senyum aja. Widya juga udah bilang setuju lho."

Aras meneguk air putih hingga tandas. Makin lama bukan hanya Widya yang mengesalkan tapi kakaknya juga.

"Dipikir-pikir dulu, Ras."

Aras belum memberi jawaban.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro