19th

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Widya mengamati aktivitas packing barang yang dilakukan Dhea bersama tiga karyawan mereka. Sekalipun susunan paket yang sudah dikemas sangat banyak, pesanan yang belum dibungkus masih jauh lebih banyak. Meskipun jumlah bungkusan yang banyak, tersusun rapi dan jauh dari kesan berantakan. Ia baru saja datang dan tanpa buang waktu ikut bergabung menyelesaikan pekerjaan berat mereka.

Setelah berhari-hari tidak mengunjungi basecamp, baru hari ini ia sempat datang. Bersyukur ia punya partner bisnis seperti Dhea yang bekerja begitu cekatan dibantu karyawan mereka.

Jadi,meskipun Widya sering tidak berada di sana, ia bisa tetap memantau pemesanan melalui data penjualan yang rutin dikirimkan bagian stok sekalipun tanpa diminta. Dari situ, ia bisa mengira-ngira keuntungan yang mereka peroleh setiap bulan. Dan sepertinya bulan ini merupakan bulan dengan jumlah penjualan terbesar dari bulan-bulan sebelumnya.

Alamat rekening tersenyum lebar nih. Tabungan bertambah, jadi ia bisa lebih leluasa mengatur perputaran modal.

Widya menghela napas.

Nasib baik bisnisnya berkebalikan dengan kehidupannya sekarang.

Sejak memenuhi permintaan nenek Adilla untuk sering meluangkan waktu menemani beliau, ia dan Aras bisa dikatakan lumayan dekat.

Atau katakan saja mencoba terlihat dekat satu sama lain.

Jika sebelum-sebelumnya ia lebih banyak mengabaikan kehadiran Aras, kini Widya mendapati dirinya menjadi lebih sering memedulikan Aras, meski Aras sendiri terkesan masih menjaga jarak.

Mereka tetap berakting seperti biasa, hanya saja ya itu. Cara Aras membuang muka, atau menanggapi malas setiap Widya berbicara dengannya.

Memang mereka bukan pasangan suami isteri pada umumnya, tapi Aras  tidak perlu memperlakukan seakan-akan dia ini kuman yang patut dijauhi  kan?

Dan soal pemotretan itu....

Ah lupakan saja. Kenapa juga ia yang jadi bersemangat?

"Dy, ini ada beberapa pelanggan minta layanan COD. Gimana?" Dhea bertanya sambil menunjukkan catatan di kertas yang ia tandai spidol merah.

Widya memandangi kertas berisi deretan nama dan alamat pelanggan yang disodorkan Dhea.

"Belum dulu deh kalo itu."

"Jadi gimana?"

"Kalo nggak dibatalin sih, tawarin lagi aja paket pengiriman kayak biasa."

Widya agak-agak trauma menghadapi pelanggan yang minta layanan COD setelah seorang cowok setengah gila dan mesum datang ke basecamp mereka lengkap motif untuk modus. Si cowok awalnya pesan boxer brief, yang tentu saja tidak ada dalam daftar produk. Dan ia beralih memesan mug bergambar bokong Kim Kardashian yang tentu saja mereka tolak mentah-mentah.

Terakhir si cowok datang dan Widya yang panik setengah mati langsung saja menelepon polisi meski akhirnya si cowok berhasil diamankan sama sekuriti.

Sejak itu, ia jadi enggan memasang layanan COD yang anehnya mayoritas dipilih kaum laki-laki. Kalau pelanggan perempuan sih biasanya memang tidak mau ribet jadi lebih memilih memakai jasa pengiriman. Kecuali jika nanti ia mulai berjualan barang-barang elektronik, ia bisa mulai memikirkan alternatif COD. Asal pelanggannya jangan seperti cowok yang aneh bin ajaib itu.

"Dhe, gue ke depan bentar ya?" pamit Widya kepada Dhea setelah membaca SMS dari Elang. Elang sudah sampai di depan basecamp.

Dhea mengiyakan sambil mengacungkan satu jempol sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya menempel-nempel alamat penerima.

"Mau ikut makan siang?" tawar Elang setelah Widya masuk ke dalam mobil. Biasanya mereka akan menjauh sebentar dari halaman basecamp dan mengobrol di dalam mobil.

"Belum jam makan siang." Widya mengamati jam tangan bertali pink yang diambilnya dari salah satu seri jam tangan dagangannya.

"Udah tinggal sejam lagi. Kita muter-muter aja dulu."

Widya berpikir sejenak sebelum mengangguk. "Oke."

***

Elang mengarahkan mereka ke sebuah restoran sederhana yang menyajikan ayam bakar sebagai menu andalan. Saat pergi berdua seperti saat ini mereka tidak menunjukkan kemesraan, jadi semestinya memang tidak ada orang curiga kepada hubungan mereka.

"Oh, ya. Malam minggu depan SMA-ku ada reuni," ucap Elang setelah pelayan selesai meletakkan piring-piring berisi nasi dan ayam bakar di atas meja, lengkap dengan es kelapa muda.

Widya mengangkat alis. "Sama dengan Aras kalo gitu."

Sewaktu SMA dulu, Widya sempat sekolah beberapa bulan di kelas X di SMA tempat Elang dan Aras bersekolah sebelum ia pindah sekolah ke Bekasi.

"Kan sekolah kamu juga."

"Aku kan nggak lulus di sana?"

Elang menatapnya. "Aras udah minta kamu buat nemenin?"

"Nggak mungkinlah dia ngajak aku. Palingan pergi sama teman-temannya."

Elang menggeleng-geleng. "Aras memang suka gitu?"

Widya tersenyum kecut. "Kayak kamu nggak tau aja dia gimana."

"Tapi kalo Aras nggak ngajak kamu, aku boleh ngajak kamu buat nemenin aku?"

Widya mencubit daging paha ayam bakar berlumur kecap yang masih terasa panas.

"Itu nggak mungkin kan?" Widya menggeleng. "Kalo aku datang bareng kamu, apa nggak bakal kelihatan aneh? Nggak deh, Lang. Aku nggak ikut."

"Atau kita bikin acara sendiri? Kalo Aras pergi ke acara reuni, kita bisa ke tempat lain."

"Kamu memangnya nggak mau ikut reunian? Kan seru banget,"

"Makanya kamu harus ikut."

Widya masih menggeleng. "Kamu pergi aja, janjian dong sama teman-teman kamu. Atau jangan-jangan kamu nggak punya teman ya makanya ngajak aku?"

Elang tergelak. "Nggak. Kalo sama kamu kan lebih spesial rasanya."

Widya tersenyum. "Kamu nggak cocok gombal, tau nggak?"

Masih terlarut dalam obrolan, tiba-tiba ponselnya berdering. Widya melihat layar sebelum menggeser simbol telepon berwarna hijau.

Aras.

"Iya. Kenapa?" Widya mengerutkan kening.

Aras menelepon untuk memberitahu Widya supaya pulang lebih cepat. Nenek Adilla minta ditemani, katanya.

"Iya. Nanti abis makan siang, aku balik basecamp trus baru pulang. Sekitar jam 2 deh aku tiba di rumah."

"...,"

"Oh, ya. Kamu udah makan siang?"

Setelah yakin Widya sudah memutus percakapan, Elang kembali melanjutkan obrolan yang sempat terputus tadi.

"Kamu segitu perhatian sama dia sampai nanyain dia sudah makan siang atau belum."

"Iseng aja."

Iya, memang iseng saja. Tidak ada motivasi apapun di balik pertanyaan itu. Katakan saja ia sedang berbasa-basi.

Heh, sejak kapan ia berbasa-basi dengan Aras? Ia masih punya pekerjaan lain selain basa-basi dengan orang yang tidak tahu humor seperti Aras.

"Dia juga nggak nanya balik apa aku udah makan siang atau belum," lanjut Widya. Dipandanginya Elang yang terlihat begitu serius makan, tapi masih sempat sesekali bicara.

"Separah itu?"

***

Aras menutup ponsel lalu meletakkan di atas meja.

"Oh, ya. Kamu udah makan siang?"

Ia merasa janggal dengan pertanyaan itu.

Widya bertanya tentang makan siang dan hanya ia jawab singkat.

Belum.

Semata-mata karena ia masih cukup terkejut.

Semoga setelah ini ia tidak perlu merasa besar kepala karena sepertinya Widya cukup perhatian.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro