20th

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aras membuka dasi hitam yang melingkari lehernya sejak pagi. Setelah itu, ia beralih membuka kemeja putih, dan memasukkan ke dalam keranjang cucian kotor.

Samar, ia mendengar suara bel pintu.

Ia harus mengurungkan niat untuk segera masuk kamar mandi. Ia hanya mengambil handuk yang disampirkan di pundak dan berjalan untuk membukakan pintu.

Saat melihat melalui hole, wajah Widya yang muncul.

Bukannya Widya menginap di rumah ayahnya?

"Tadinya aku mau nginap, tapi lebih pengen pulang tidur. Mbak Sera juga bilang aku boleh pulang."

Widya segera menjelaskan tanpa ia perlu repot-repot bertanya.

"Kamu udah makan malam?"

Aras berbalik.

Dua kali.

Dua kali Widya bertanya soal itu.

Saat Aras hanya melengos pergi, Widya bersuara.

"Males banget jawabnya."

Aras akhirnya menjawab. "Belum."

Tadinya ia hendak menyambung dengan kalimat "tapi nggak perlu repot-repot masak", Widya sudah kembali menyahut.

Kurang lebih, bertanya.

"Mau dimasakin?"

Aras menjawab dengan pertanyaan. "Nggak bawa makanan dari rumah?"

Widya menggeleng. "Ya nggaklah. Kamu memang minta dibawain?"

"Nggak. Biasanya lo paling rajin bawa kotak makanan."

"Tadinya udah mau dibungkusin sama mbaknya, tapi aku bilang nggak usah."

Aras terdiam. Jujur saja, ia pulang kantor dalam keadaan lelah, bau, dan lapar. Tadinya ia juga malas harus singgah makan atau beli makanan.

"Ya udah. Kamu mandi aja dulu. Nanti aku masakin."

Aras melangkah menuju tangga, namun kemudian berbalik.

"Dadar telur saja udah cukup."

"Aku bisa masakin yang lain."

"Terserah."

***

Widya merapikan telur dadar buatannya yang baru saja dipindahkan ke piring. Bentuknya bulat sempurna dengan ketipisan yang hampir merata di setiap bagian. Warnanya pun kuning keemasan. Hampir tidak ada bagian gosong. Intinya ia puas dengan hasil masakannya.

Sebelum membuat telur dadar, ia sudah menyiapkan nugget goreng dan oseng jamur secara dadakan. Ia mencampurkan bahan-bahan yang ada di kulkas, seperti putren, bakso ikan dan kol.

Tepat setelah semua masakan selesai, Aras muncul di ruang makan. Widya segera mengangkat piring-piring berisi masakannya ke atas meja makan. Sebelumnya, piring dan gelas sudah lebih dulu di tata di atas meja. Sisa mengambil nasinya saja.

Saat ia kembali dengan semangkuk nasi, Aras tengah ngemil nugget.

"Laper banget ya?" Widya meletakkan nasi di dekat piring kosong di hadapan Aras.

Aras menyendok sendiri nasi dan lauknya. Bukan karena Widya tidak mau mengambilkan, tapi memang Aras yang tidak mau dilayani. Widya memilih balik ke dapur untuk beres-beres.

"Lo nggak makan?"

"Eh? Apa?" Widya merasa pasti ada yang salah dengan pendengarannya.

Barusan Aras bertanya kan?

Aras tidak mengulangi pertanyaan dan memilih fokus pada makanan. Widya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Udah tadi di rumah ayah."

Aras berbalik menatapnya dan Widya  tersenyum kikuk.

Aras mau memanggilnya makan bersama? Ia memang sudah kenyang tapi kalau memang...

"Kerupuknya."

Oh.

"Ketinggalan di dapur." Widya bergegas masuk dan kembali dengan wadah berisi kerupuk udang.

Sejak ia berniat memasak sampai Aras duduk dan makan malam, tidak pernah sekalipun Aras mengucapkan terimakasih. Bukannya ia melakukan semua itu dengan mengharap pamrih,  hanya saja sudah sewajarnya kan Aras mengucapkan terimakasih. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga terpelajar, jadi menurut Widya kebiasaan akan penggunaan ucapan itu sewajarnya juga diterapkan Aras.

Bener-bener nih orang.

Ia jadi menyesal tidak menaburkan garam dan merica banyak-banyak ke semua masakannya.

"Sabtu depan ada reuni SMA gue."

Widya menarik kursi di depan Aras.

"Kamu mau pergi?"

"Rencananya begitu."

"Ooo." Widya meraup kerupuk dan mulai memakannya.

"Lo temenin gue." Aras mengucapkannya sebelum meneguk air putih.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro