24th

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Oh, gitu ya?"

Lagi-lagi Widya hanya bisa merespon seadanya segala apa yang ia dengar dari Rudi.

Tapi kenapa ia malah harus tahu cerita tentang Kalya dari orang lain?

Lalu jika ternyata masa lalu Aras melibatkan Elang dan Kalya di dalamnya, lalu akan berada di mana posisinya sekarang?

"Gosip lo. Sejak kapan gue naksir Kalya?" Elang terdengar membela diri.

"Terserah lo deh, mau ngaku atau nggak."

"Lagian mulut lo ember banget, Rud," lanjut Elang lagi.

"Cuma cerita jaman SMA. Semua orang juga punya cerita masing-masing di masa lalu." Aras menambahkan. "Lagian lo juga, hal nggak penting lo bahas."

Rudi menepuk bahu Aras lalu Elang. Ia lalu tertawa. "Kenapa jadi lo berdua yang sensi? Ya udah lupain aja kalo gitu. Sori, sori gue ngebahas hal yang nggak penting."

"Lo pikir gue beneran sensi?" Kali ini giliran Elang yang balas tertawa. "Aras mungkin yang lagi sensi."

Rudi menoyor kepala Elang. "Ah! Sialan lo!"

Rudi dan Elang masih saling berbalas toyoran dan tinju saat Widya meminta ijin kepada Aras ke toilet.

"Nggak, nggak usah diantar."

"Kamu nggak tau letak toilet." Aras mengikutinya.

"Aku kan bisa nanya? Pergi sana," ketus Widya.

Namun Aras tidak mengindahkan. Jadilah mereka berjalan menuju ujung koridor yang ditunjuk salah seorang panitia acara.

Setelah sampai di dalam toilet, Widya membuka tas selempang. Dikeluarkannya compact powder. Make-up masih dalam keadaan rapi, ia hanya butuh aktivitas untuk mengulur waktu. Setelah merasa cukup dengan bedak, ia beralih merapikan lipstik. Masih rapi juga, tapi ia tetap mengoleskan warna pink di bibirnya.

Entah seperti apa perasaannya sekarang. Ia tahu seharusnya ia bersikap biasa saja. Urusan Aras dan Elang hanya masa lalu. Mungkin saja dulunya mereka punya hubungan akrab seperti sahabat, tapi bisa juga mereka malah bermusuhan.

Ia tidak peduli kemungkinan-kemungkinan tadi. Ia hanya menyayangkan mengapa ia harus mendengar soal Kalya dari orang lain. Ia tahu Aras masih berhubungan dengan Kalya. Tapi mengapa Elang juga harus mengenal Kalya?

Dan kalau benar Elang pernah menyukai Kalya, ia tidak tahu lagi bagaimana menghadapi Elang setelah malam ini.

Widya menghela napas panjang. Dirapikannya rambut dan pakaiannya di depan cermin sebelum keluar dari toilet.

Ujung Converse hitam itu nyaris membuat langkahnya terantuk.

Aras masih menungguinya? Tadinya ia berharap ponselnya berbunyi dan Aras meneriaki jika ia terlalu lama berada di dalam sana. Itu jadi lebih masuk akal dibandingkan sikap Aras yang berdiri di depan toilet. Menunggu sambil melipat tangan di depan dada.

Tidak ada pertanyaan mengapa ia begitu lama di dalam sana. Aras hanya diam dan melangkah lebih dulu menyusuri koridor.

Ia ingin bertanya, tapi ia tidak yakin Aras akan memberi jawaban.

***

Tiba di depan aula, ternyata Rudi sudah tidak nampak. Namun keadaan tidak lebih baik saat Elang tengah bersama seorang perempuan. Posisi berdiri perempuan itu memunggungi mereka. Tapi, kaki jenjang ditunjang sepatu flat Chanel yang ia tahu tidak murah itu, segera menyita perhatian Widya.

"Aras?" sahut perempuan berambut panjang berhighlight pirang itu.

"Anik?" balas Aras. Perempuan bernama Anik itu segera menjabat tangan Aras.

Selain kakinya jenjang, Anik juga memiliki postur tubuh proporsional. Widya tidak heran jika Anik berprofesi sebagai model. Ia punya modal besar. Wajahnya cantik, kulit putih mulus, dan ia terlihat percaya diri. Dalam hati Widya bisa menghela napas lega karena perempuan itu bukan Kalya.

Jika Kalya sesempurna ini, apa kabar ia yang punya postur tubuh di bawah rata-rata?

Tapi, sepertinya ia tidak bisa berlama-lama menghirup napas lega, karena berikut, dari balik kerumunan, terlihat sesosok perempuan dalam balutan blus dengan aksen halter neck dengan padanan jins mendekati mereka. Jika ia terkesima melihat Anik, maka sosok perempuan yang baru tiba ini membuatnya sampai pada level envy. Ia memiliki postur tubuh sedikit lebih pendek dari Anik, namun wajahnya sangat innocent. Putih mulus. Kedua matanya bulat seperti boneka.

"Hei, Kal." Elang yang lebih dulu menyapa.

"Hei. Tadi kok nggak ketemu?" Perempuan cantik berambut kuncir kuda itu tersenyum kepada Elang.

Senyuman manis semacam ini yang bisa membuat kaum laki-laki sampai pada taraf memuja.

"Gue dateng telat," jawab Elang singkat. Ia melirik Widya yang masih terpaku menatap perempuan cantik bak boneka itu. "Ini Kalya, Dy."


***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro