23th

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Iya. Dia datang. Sekolah ini kan sekolah dia juga, Ras? Jadi wajar kalo dia juga datang."

Aras mengabaikan dan memilih segera mengisi buku tamu dengan tulisan tangan beserta tanda tangan. Widya melakukannya dengan cepat kemudian mengikuti Aras yang bergerak seolah tidak mau menungguinya.

Seperti ini balasan Aras untuknya yang sudah rela membatalkan janji dengan Elang?

Widya kini telah mengikuti langkah Aras memasuki aula. Keramaian terasa di mana-mana.

Sebenarnya masih banyak orang berada di luar aula. Dan bagi Widya, rasanya lebih nyaman berada di luar ruangan.

Ia tidak begitu paham konsep reuni sekolah ini. Berbeda dengan reuni sekolah yang kebanyakan hanya digelar di restoran atau tempat wisata, acara kumpul alumni sekolah Aras malah digelar di aula sekolah.

Tapi, konsep acaranya cukup seru. Ketika mereka datang, beberapa orang guru senior naik ke panggung kecil dan bergantian memperkenalkan diri kepada para alumni. Suasana riuh, karena guru-guru yang berada di atas panggung adalah mereka yang telah mengajar puluhan tahun di SMA itu. Diiringi lantunan musik dari keyboard, acara ngobrol santai antara guru dan alumni berlangsung semakin meriah.

"Guru-guru yang pernah ngajar kamu yang mana aja?" tanya Widya. Sejak tadi, Aras hanya fokus memandang ke arah panggung, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Widya jadi merasa mati gaya.

Aras menoleh ke arahnya dan menjawab singkat. "Semuanya, kecuali yang 2 orang."

"Guru favorit?" tanya Widya lagi.

Aras menggumam. "Guru bahasa inggris."

"Oh ya? Aku juga suka guru bahasa inggrisku di SMA."

"Guru paling galak?"

"Matematika. Tapi gue suka juga."

"Hmm." Widya urung bertanya lagi karena Aras kelihatan malas hanya sekadar menjawab. Tapi saat seseorang di samping Aras menyapa, Aras malah menanggapi dengan ramah.

Dasar!

"Siapa nih, Ras?" Laki-laki yang tadi mengobrol dengan Aras menanyai tentang Widya.

Mungkin ia teman yang tidak datang saat acara resepsi mereka.

"Isteri gue." Aras memperkenalkan Widya sebelum mereka berjabat tangan.

"Waaah, gue kira lo sama Kalya. Ternyata....,"

"Nggak." Aras hanya tersenyum tipis.

Setelah mengobrol basa-basi tentang pekerjaan, anak (teman Aras yang bernama Ahmad itu juga sempat bertanya anak mereka sudah berapa yang dijawab Aras dengan diplomatis "masih usaha terus") yang diamini Widya dengan senyum manis, rencana ke depan, Ahmad dan isterinya pun pamit, berpindah ke sudut lain saat beberapa laki-laki melambaikan tangan ke arahnya.

Sepertinya sosok Ahmad ini cukup populer sewaktu SMA.

Bosan berada di dalam aula, Widya mengajak Aras menuju halaman. Aras  mengikuti tanpa protes.

Saat tiba di depan aula, Widya kembali menangkap keberadaan sosok Elang. Ia tengah berdiri sambil mengobrol bersama seorang teman laki-laki. Mereka sama-sama sedang merokok. Elang melihat Widya dari sudut matanya, lalu beralih kepada Aras. Ia memandang Widya kembali, segera mematikan rokok di sudut pot bunga dan menyentilnya ke tempat sampah.

Kamu merokok lagi, Lang?

"Woi, Ras!" tegur laki-laki yang mengobrol dengan Elang.

Aras mendekati sosok itu dan melakukan salam khas laki-laki yang diakhiri saling menempelkan tinju.

"Hei, Rud."

"Apa kabar kapten tim basket SMA Harapan!"

Widya baru tahu soal itu.

Aras kapten tim basket sekolah?

"Baik. Lo gimana?"

"Baik." Rudi beralih kepada Widya. "Isteri lo ya?"

"Iya."

"Widya."

"Rudi. Rissa, isteri gue lagi gabung di dalam aula. Biasalah cewek kalo udah ketemu gosip. Anak gue dititip di mertua gue dulu, biar papa mamanya bebas malam mingguan. Anak lo?"

"Belum."

"Oh, sorry. Gue kira udah punya."

Elang yang sejak Aras mendekat memilih menyingkir kini kembali bergabung dengan mereka setelah Rudi memanggilnya.

"Elang nih masih betah single. Malah gue kira dia yang bakal duluan nikah dari kita-kita. Secara dia yang paling dewasa." Rudi membeberkan lagi. "Kita bertiga satu tim basket dulunya."

Berarti Aras dan Elang pernah akrab? Kok ia tidak tahu?

"Tapi nggak ada yang lanjut jadi atlit basket," tambah Elang. Saat Widya menatapnya, ia mengalihkan pandang kepada Rudi.

"Kalo Aras nggak mungkin. Nah lo, Lang?"

"Gue dapetnya kerja kantoran. Aras sih bagus, udah langsung jadi direktur perusahaan keluarga. Tajir gitu."

Aras tidak sekalipun melihat Elang. Tapi, kalimat tadi seolah menyindirnya. Ia pun bersuara.

"Nasib gue memang bagus."

Rudi menyela. "Nah nasib gue sama Elang malah jadi kacung kampret. Gaji sebulan pas-pasan. Untung aja Rissa punya kerjaan bagus jadi bisa bantu nyicil rumah." Rudi lalu menepuk bahu Elang. "Jangan-jangan gara-gara gaji kecil lo belum mau nikah, Lang."

"Nggaklah. Belum dapet jodoh aja gue. Doain deh tahun depan gue udah nikah."

Tahun depan?

Widya ikut tertawa bersama mereka.

Ia merasa lucu karena bergabung dalam percakapan itu tanpa berkata apa-apa.

"Sama Kalya aja lo. Belum nikah juga dia." Rudi mengelus jenggot tipisnya. "Tadi ada di sini."

"Kok gue nggak ketemu?" ucap Elang.

"Ada tadi. Datang bareng Anik, kalo nggak salah." Rudi melirik Widya yang sejak tadi hanya bisa diam. "Dulu, pacarnya Aras. Tapi kayaknya Elang juga naksir."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro