39th

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Complicated! Yes, kata itu menggambarkan betapa pusingnya sayah "membeberkan" konflik dalam cerita ini. Minta doanya aja semoga BiL bisa lancar ditulis dan nggak mengecewakan kalian. Thanks buat perhatian kalian untuk BiL. Terutama kritik dan sarannya. Oke?

Happy Reading!

-----------------------×××××-----------------------

Elang bisa saja berkata benar atau mengarang cerita.

Selama ini, Elang adalah satu dari sedikit orang di dunia ini yang bisa Widya percayai. Semacam ada garansi jika Elang akan selalu berkata benar. Elang bukan seorang pembohong.

Lalu, perkataan Elang mengenai Aras, apakah juga benar?

Percakapan itu sudah berlalu, tapi interval waktu berjam-jam lalu bukan alasan Widya untuk mengabaikan.

Berita itu terlalu besar untuk diabaikan apalagi untuk dilupakan.

Jika memang benar Aras telah membuat kesepakatan dengan Elang, maka tidak ada pilihan lain.

Ia akan mengambil langkah tegas terhadap Aras.

--------------------×××××---------------------

Aras membuka satu lagi kancing teratas kemeja slim fit abu-abunya setelah tiba di ruang tamu. Ia melongok ke dalam dan menemukan TV sedang menyala. Dari balik sofa, Widya duduk sambil ngemil popcorn.

"Aku sudah makan malam." Aras memberitahu sebelum Widya bertanya. Ia sudah hapal pertanyaan itu sebagai bukti perhatian Widya.

Widya membalas ciuman di keningnya dengan senyum tipis. Aras mengacak lembut rambut Widya sebelum duduk di sampingnya.

"Tapi kayaknya sejam lagi laper. Delivery yuk? Pizza atau nasi?" Aras mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana.

Widya masih konsentrasi nonton sambil menyuapkan popcorn ke mulutnya.

"Dy?" Aras menyentuh bahu Widya. Si pemilik bahu hanya menolehnya sekilas lalu kembali menonton.

Aras mendengar percakapan dalam bahasa Inggris. Channel yang sedang mereka tonton menayangkan film The Maze Runner. Scene saat Thomas dan kawan-kawannya menunggu pintu labirin yang mulai menutup saat bayangan dua temannya mulai muncul.

Lalu mereka mulai berteriak-teriak menyemangati si kemeja biru yang sedang memapah temannya melewati pintu labirin yang hampir tertutup rapat.

Aras sudah pernah menonton filmnya.

Saat membuang napas, scene berikut berganti Thomas yang telah ikut terjebak dalam labirin.

"Aku nggak tau Thomas itu sebenarnya terlalu polos atau sok pahlawan?" tanya Widya. Lebih terdengar sebagai sebuah pendapat ketimbang pertanyaan.

"Dia mau nyoba jadi pahlawan."

"Tapi dia mau mengorbankan dirinya tanpa mikirin keselamatan dirinya sendiri."

"Kalo Thomas nggak nekat masuk ke dalam labirin, ceritanya nggak akan jalan kan?" Aras mengambil sebutir popcorn karamel dan menyuapkan ke mulut Widya sebelum butiran popcorn di tangan Widya masuk ke mulutnya.

Widya mengunyah tanpa berpaling dari monitor TV. "Sayangnya dia cuma dimanfaatin sama si Wicked is Good itu."

"Thomas bagian dari Wicked is Good."

"Jadi, Ras. Menurut kamu, kalo si Thomas bukan bagian dari perkumpulan itu, apa ia masih bakal dimanfaatin? Atau dia memang bakal dibunuh?"

"Aku nggak ngikutin ceritanya, jadi nggak begitu paham." Aras menjawab diplomatis. Ia memang tidak tahu lebih jauh tentang kisah The Maze Runner. Ia belum sempat saja membaca buku dan menonton sekuelnya.

"Atau gini. Kalau kamu dihadapkan sama situasi yang terpaksa mengharuskan kamu membunuh orang demi penelitian obat yang nanti digunakan untuk kepentingan banyak orang, apa kamu akan tetap membunuh?"

"Aku nggak bisa jawab. Lagian aku nggak mungkin ngelakuin apa yang ada di film itu."

"Kan misalnya aja."

Aras mengelus rambut Widya. "Kamu ngantuk ya, makanya nanya-nanya pertanyaan aneh seperti itu?"

Widya menolehnya. "Itu nggak aneh, Ras. Kadang ada situasi di hidup kita yang mengharuskan kita mengambil keputusan untuk menyakiti orang lain. Menurut sudut pandang kita, bahwa kita melakukan hal yang benar, tapi nggak sadar sudah membuat orang lain terluka."

Aras memandang Widya. "Aku makin nggak ngerti maksud perkataan kamu."

Widya meletakkan wadah popcorn di atas meja. Tatapannya terarah penuh kepada Aras. "Apa kamu nggak pernah ngerasa pernah membuat kesepakatan sama Elang yang berkaitan dengan aku?"

"Kenapa jadi ngomongin dia?"

"Jawab aja, Ras." Widya menuntut.

"Aku harus jawab apa?"

"Apa benar kamu pernah buat kesepakatan sama Elang untuk ngelepasin aku buat dia, supaya kamu bisa nikahin Kalya?"

Aras terdiam. Dan keterdiaman itu memantik kemarahan yang tertahan pada diri Widya.

"Aku tanya sekali lagi. Kalo kamu nggak jawab, berarti benar."

Aras menggumam. "Nggak benar."

"Kenapa ragu? Bilang aja Elang bohong soal itu."

"Kamu nggak harus percaya sama Elang kalau aku sudah bilang nggak."

Widya tidak begitu saja percaya. Dari sikap Aras, caranya menjawab dengan tidak yakin, sepertinya Widya menemukan titik terang.

"Sebenarnya kamu anggap aku ini apa, Ras? Mainan?"

"Bukan begitu."

"Aku nggak nyangka kamu sekejam itu, Ras. Aku salah apa sama kamu?"

Membayangkan Aras telah merencanakan hal besar yang tidak ia ketahui, membuat Widya sakit hati. Kalau saja Elang mengatakan dari awal, ia akan mengambil keputusan lebih cepat.

Atau mengapa bukan Aras saja yang bicara?

"Dy. Tolong dengar."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro