40th

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

HAPPY ONE MONTH BIL! AND HAPPY READING!

-----------------------------------------------------------------------------

"Mau dengar apalagi? Sudah jelas kamu cuma mau mainin aku."

"Kamu nggak bisa ngambil kesimpulan hanya dari perkataan dia." Aras tidak kalah bersikeras.

"Lalu kenapa kamu nggak jelasin aja yang sebenarnya?"

Aras tidak bermaksud menolak memberikan penjelasan. Sebagian perkataan Widya yang berasal dari keterangan Elang memang benar. Bahwa ia memang pernah merencanakan sesuatu yang belakangan ia tarik kembali karena ia menyukai Widya. Dan kini jelas-jelas ia menginginkan Widya untuk tetap menjadi isterinya. Ia tahu jika ia pernah begitu bodoh membuat kesepakatan dengan Elang hanya karena ia terlalu marah dengan perjodohan dengan Widya yang terkesan dipaksakan oleh neneknya.

Tapi jika Widya masih mau mendengarkan penjelasan, ia hanya bisa berharap Widya mau memaafkannya.

"Memang benar aku pernah membuat kesepakatan dengan Elang soal kamu."

Widya terlihat menatapnya tajam.

"Tapi itu sebelum aku jatuh cinta sama kamu."

Perkataan itu sejenak membuat mata Widya berkedip berkali-kali.

"Aku memang bodoh udah membuat kesepakatan itu. Seakan-akan aku mendahului takdir. Tapi, sekarang aku sadar aku salah. Maaf."

Widya memejamkan mata beberapa saat. "Setelah ini apalagi, Ras? Kamu udah membuat kesepakatan lalu belakangan kamu batalin karena katamu kamu cinta sama aku. Kalau sekarang kamu gampang membolak-balikkan janji, akan jadi apa pernikahan kita nanti? Kamu bisa saja kembali mencintai Kalya atau perempuan lain, lalu dengan mudah kamu bilang sama aku kalo kamu cinta sama perempuan lain dan minta maaf karena harus meninggalkan aku?"

"Dy, aku serius sama kamu."

Widya menggeleng-geleng. "Cerain saja aku, Ras. Itu akan lebih baik buat kamu."

"Dy, jangan pernah kamu minta aku untuk...,"

"Aku nggak mau jadi beban buat kamu." Widya mengusap sudut matanya. "Aku memang udah nggak punya siapa-siapa lagi, Ras. Ayah sama ibu sudah meninggal. Aku nggak punya saudara. Tapi sejak dulu aku sanggup melanjutkan hidup tanpa mereka. Soal jodoh, aku selalu serahin sama Tuhan, bahkan sejak kita udah nikah, aku nggak pernah mikir muluk-muluk. Aku hanya minta diberi kebahagiaan, nggak dibiarkan sendirian lagi, punya seseorang yang bisa berbagi duka, tawa sekalipun nggak sama kamu. Sekalipun orang itu bukan kamu."

"Sampai beberapa malam lalu, keyakinan aku untuk selalu bersama kamu, mulai tumbuh. Aku pikir kita bisa mulai lagi pernikahan ini dengan lebih baik. Merencanakan semuanya lagi dari awal, tanpa ada paksaan. Tapi sepertinya aku memang nggak boleh berharap terlalu jauh."

"Dy, aku minta maaf."

Widya tersenyum, masih sambil mengusap airmatanya.

"Aku pasti maafin kamu, Ras. Aku pasti maafin kesalahan orang yang aku cintai. Tapi, cukup sebatas itu."

Aras mengarahkan telapak tangannya untuk mengusapkan airmata Widya yang terlanjur keluar dan semakin membasahi pipinya. Kejujuran tidak selalu berakhir menyenangkan. Dalam hal ini, kejujurannya telah menghancurkan hati perempuan yang ia cintai.

Apakah Widya tidak akan pernah percaya padanya?

"Kamu terlalu baik, Dy. Aku yang terlalu bodoh menyia-nyiakan kebaikan hati kamu selama ini. Tolong kasih aku kesempatan."

"Untuk saat ini, aku ingin sendiri. Aku mau kita pisah dan aku yang akan keluar dari rumah ini. Apapun keputusan aku nanti, semoga itu keputusan terbaik untuk kita."

Aras menolak menerima permintaan Widya. "Nggak, Dy. Jangan."

"Selama ini aku selalu nurutin kamu, Ras. Sekali ini saja, kamu penuhi permintaan aku."

"Nggak, kalau itu berhubungan dengan permintaan kamu untuk pisah. Kamu boleh marah sama aku, hukum aku sesuka hati kamu, tapi jangan pernah berpikir untuk pergi. Ini rumah kamu, Dy."

Namun Widya enggan mendengarkannya lagi. Widya meninggalkannya yang masih terus memohon untuk didengarkan.

***

Percaya pada cinta tidak selalu membawa kebahagiaan.

Ia yang pernah menghadirkan senyum dan tawa kini menyisakan rasa sakit. Luka. Pedih.

Dan airmata.

Ia yang pernah menghadirkan harapan kini memadamkannya.

Seperti itu Widya memandang cinta. Saat ini, ia meratap dalam tangis yang entah kapan akan berhenti.

Seharusnya ia tegar. Ia pernah mengalami kehilangan yang lebih buruk dari saat ini, jadi semestinya masa terpuruk itu akan cepat berlalu.

Ia tidak pernah meminta dicintai oleh Aras. Ia hanya meminta bahagia. Lalu saat kebahagiaan berwujud pada sosok Aras, ia merasa jauh amat sangat bahagia.

Kebahagiaannya serasa lebih tinggi dari awang-awang. Ia bisa melupakan masa lalu, saat mereka sama-sama membenci. Saat mereka terikat pernikahan namun memilih jalan sendiri-sendiri. Suami isteri namun hanya secara tertulis.

Namun kini ketika pernikahan mereka berada dalam masa bahagia, sebuah kenyataan terkuak.

Aras pernah menjadikannya bagian dalam sebuah kesepakatan. Ia diperlakukan tidak ubahnya seperti sebuah mainan yang bisa diterima dan diserahkan kepada orang lain sesuka hati. Sekalipun orang itu adalah Elang yang ia kenal baik, tapi ia merasa tidak dihargai.

Lalu apa hak Aras melibatkannya dalam kesepakatan itu?

***

"Pak, di sini, Pak."

Widya menghentikan taksi di depan sebuah lorong kecil. Setelah melalui beberapa kali belokan, ia baru tersadar jika mereka mengambil jalan belakang, sehingga taksi yang ditumpanginya tidak lagi bisa masuk ke dalam lorong. Setelah membayar taksi sesuai argo, ia pun turun. Sebuah tas sandang dan koper kecil dari bagasi dibawanya menyusuri lorong sempit tersebut.

Suasana di sekitar lorong sangat lengang. Ia harus berpacu dengan waktu karena ia mulai merasa tidak aman berjalan sendiri. Widya baru bisa bernapas lega setelah melihat pagar rumah Bude Ratih. Sebelumnya ia memang tidak mengabari Asti, meskipun ia memiliki nomer ponselnya.

Widya memukul-mukulkan gembok ke pagar besi sambil memanggil bude. Jam sepuluh malam, seharusnya ia tidak berkeliaran dan membangunkan pada jam yang tergolong jam istirahat itu. Mungkin seharusnya ia menginap terlebih dahulu di penginapan.

Tapi satu-satunya tempat yang terpikir untuk dituju malam itu adalah rumah Bude Ratih. Ia pernah tinggal begitu lama di rumah itu. Dan ya, inilah rumah yang seharusnya ditujunya untuk pulang. Ia tidak punya tujuan lain untuk apa yang ia sebut sebagai rumah.

"Widya? Dari mana, Nak?" Bude Ratih mengamatinya sambil membukakan gembok dan pagar. Ia memerhatikan koper dan tas sandang besar yang dibawa Widya dengan penuh tanda tanya.

"Dari rumah kok, Bude," jawab Widya, berusaha menyembunyikan serak suaranya. "Maaf ya, Widya datang malam-malam begini. Gangguin Bude."

Bude Ratih mengerutkan kening.

"Widya mau nginap, boleh Bude?"

Bude Ratih tersenyum, tanpa memiliki firasat buruk. Ia mengelus punggung Widya.

"Kok nanya begitu? Kamu mau nginap kapan aja boleh. Mau dateng kapan aja juga boleh. Lagian Bude belum tidur. Nonton dangdutan."

Widya memeluk pinggang Bude Ratih yang membimbingnya masuk ke dalam rumah.

Ketika masuk, Widya mendapati TV dalam keadaan menyala. Bude sepertinya hanya menonton sendirian.

"Asti di mana, Bude?"

"Oh. Asti udah tidur. Capek katanya pulang kerja. Kalo Rena juga udah tidur. Tidur duluan daripada Asti."

Bude menunjukkan kamar yang dulunya ditempati Widya. Sewaktu ulangtahun Rena, kamar tersebut dikunci dan Widya tidak terpikir masuk ke sana karena Bude menguncinya dan ia segan meminta kuncinya.

"Agak apek karena jarang ditempati. Tapi dibersihin terus kok, Nak."

"Ini juga udah cukup kok, Bude. Makasih ya?" Widya meletakkan koper di sisi lemari pakaian yang ditunjukkan Bude Ratih.

"Kamu udah makan?"

"Iya, Bude. Udah."

Makan malam dilalui Widya seorang diri sebelum Aras pulang kerja. Porsi makannya tidak banyak, tapi saat ini ia tidak merasa lapar.

"Bude siapin dulu makan malamnya. Kamu kayak lemes gitu."

"Nggak usah, Bude. Nanti kalo laper, Widya ambil sendiri."

"Kalau kamu laper, di lemari dapur Bude taruh makanan. Cuma ada nasi sama ikan goreng. Urapnya tadi Bude masukin kulkas."

"Iya."

"Oh, ya. Kamu kenapa malam-malam begini bawa-bawa tas sama koper?"

Widya sudah mengira pertanyaan itu akan datang, cepat atau lambat. Hanya ia mengira Bude Ratih baru akan menanyakannya besok pagi. Tapi koper dan tas itu jelas lebih mampu menjadi barang bukti jika ia baru saja meninggalkan rumah.

"Itu, Bude. Widya mau cari suasana baru."

Penjelasan singkat disertai senyum hambar itu tentu tidak begitu saja diterima Bude.

"Kamu baik-baik aja kan sama Aras?"

Kali ini Widya tidak bersuara.

***

Aras merebahkan tubuh di atas sofa.

Ia sudah berulangkali menghubungi Widya namun tidak dijawab. Sampai semenit lalu, Widya memblokir nomer ponselnya.

"Aku nggak mau kehilangan kamu, Dy."

***

Welcome back! Hehe iya aku tau ini udah telat updatenya. Sebenarnya selain mumet sama konfliknya, aku juga mumet soal kerjaan, ditambah cuaca yang tidak bersahabat, tumbang deh kek pohon yang udah tua. Get Well Soon for me dan buat kalian yang lagi sakit, apalagi sakit hati.

Semoga chapter ini nggak ngecewain. Duduh, aku berasa setres deh kalo mesti revisi cerita ini

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro