3rd

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Oh ya, kamu sama Elang itu teman kuliah ya?"

"Iya, Mbak."

Widya mengelus tengkuknya tanpa sadar. Berada di bawah pengawasan Sera, tidak membuatnya terbiasa. Seolah ditatap untuk diinterogasi, meski ia tidak yakin Sera tahu hubungannya dengan Elang.

"Ada apa ya, Mbak?"

Sera tersenyum. Jemarinya lincah mengatur letak susunan simetris belt warna cokelat di lemari penyimpanan.

"Nggak. Cuma sempat tau aja kalau dia dulu pernah dekat sama kamu."

Jawaban Sera diam-diam mengusik batin Widya.

Dan dalam senyum itu tetap saja terselip aroma penyelidikan.

Tidak. Ia tidak siap mengaku.

"Lalu, soal Aras."

Widya bingung mengapa rute pembicaraan mereka bisa berbelok kepada Aras.

"Dia masih berhubungan sama Kalya."

Soal itu, Widya sudah tahu.

"Aku nggak tau kalo soal itu, Mbak." Widya berbohong.

Terdengar hela napas Sera.

"Mbak tau, pernikahan kalian terkesan mendadak. Aras nggak siap, kamu juga nggak siap. Tapi gimanapun, wasiat kakek tetap harus dilaksanakan. Kalian harus bisa saling menerima satu sama lain."

"Iya, Mbak. Aku ngerti."

"Saudara Aras satu-satunya cuma Mbak. Jadi, maaf kalo Mbak jadi terkesan ikut campur. Siapapun isterinya akan Mbak anggap seperti adik Mbak sendiri."

***

Bombardir pesan dan telepon Dhea tidak dibalas oleh Widya. Ia sedang malas meladeni Dhea sekalipun ia bakal mengomel sesampainya Widya di basecamp mereka.

Dan begitu Widya tiba, Dhea memasang tampang manyun. Widya mengabaikan dan langsung melepaskan tas selempang, menyapa dua operator media sosial online shop yang sudah sibuk menjawab pertanyaan sekaligus melayani pemesanan. Widya terkadang ikut membuka website, sekadar memantau penjualan dan feedback dari customer.

"Daripada lo ngomel, mending lo ikut bantuin kita." Widya malah meledek Dhea.

"Ih dasar! Lo kenapa lama banget sih?" tanya Dhea gusar. Ia balik duduk setelah menggeser satu kursi ke dekat kursi yang diduduki Widya.

"Biasa. Abis nemenin Mbak Sera. Lo kayak nggak tau aja gue nih adik ipar kesayangan."

Dhea mencibir. "Iya, makanya lo service tuh Aras baik-baik. Jangan lo cuekin."

"Semua butuh proses kan, Dhe? Nggak bisa instant kayak sulap."

"Omongan lo nggak sesuai fakta. Lo nya aja nggak pernah nunjukin perhatian."

"Lo kan nggak 24 jam bareng gue. Mana lo tau kalo gue nggak perhatian?" Widya menantang. Menyajikan kopi dan sarapan pagi juga termasuk perhatian kan?

"Gimana ya? Tapi kok gue masih ngerasa lo nggak perhatian ke dia."

"Ah, lo curigaan mulu. Jadi males gue. Udah ah, gue mau kerja." Widya mengeluarkan laptop dari sarung bermotif abstrak. Pengalihan pembicaraan jauh lebih baik dilakuakn untuk saat ini.

Sambil menunggu loading, Widya melongok monitor komputer yang sedang menampilkan akun facebook dan satu monitor lagi memunculkan akun Instagram. Ika dan Lia berbagi tugas untuk mengakomodasi kedua media sosial tersebut.

"Sejak promo free ongkir, customer dari kawasan Indonesia Timur makin bertambah signifikan, Mbak." Ika menunjukkan wajah happy.

Selain memantau media sosial, mereka berdua sekaligus mengurus transaksi mulai dari pemesanan hingga pengiriman barang.

Tidak hanya sampai di situ pelayanan mereka. Karena setelah barang dikirim, mereka masih harus memantau proses pengiriman hingga benar-benar sampai dengan selamat ke tangan customer. Untuk itu, setelah pengiriman, mereka wajib melaporkan nomer resi kepada pembeli, jadi pembeli juga bisa langsung melacak status pesanan mereka.

"Cuma kita mulai keteteran sama jenis barang yang banyak, Mbak. Apa sebaiknya kita nggak fokus aja sama satu jenis produk? Pakaian aja, misalnya?" ucap Lia.

"Susah juga sih, soalnya konsep online shop ini kan kayak supermarket mini gitu. Jadi sekali belanja, customer bisa beli macam-macam. Nanti deh kita diskusiin lagi. Pertimbangan barang mana yang kurang laku kita kurangin stoknya, dialihin ke stok barang yang best seller. Aku juga rencana mau nambah karyawan lagi. Tapi tenang aja, gaji kalian aman kok." Widya tersenyum.

Sekarang jaman susah, ia tidak mau karyawan-karyawannya malah jadi kepikiran soal gaji. Apalagi mereka sudah cukup lama menjadi rekan kerja. Ia juga harus semakin lebih memerhatikan kesejahteraan mereka,  sebagai motivasi untuk bekerja lebih giat lagi.

***

Aras baru saja pulang dari kantor.

Wajahnya tidak dapat menyembunyikan rasa lelah. Sampai di ruang TV, ia hanya melonggarkan dasi dan duduk menyender di sofa.

Widya mengintip sejenak sebelum kembali masuk ke dapur untuk lanjut memasak. 

Ia tahu Aras sudah makan malam di luar. Bersama Kalya, mungkin. Atau bersama teman, atau siapapun itu. Aras hanya mengatakan lewat whatsapp jika ia sudah makan malam tanpa keterangan lebih lanjut.

Ia tidak pernah termakan cemburu. Tugasnya hanya menjadi isteri baik hati yang mengabaikan segala hal yang bisa diperbuat Aras. Selama ia merasa baik-baik saja, maka semuanya memang akan baik-baik saja.

***

Selesai memasak, makan malam, bersih-bersih dapur, mencuci piring yang semuanya dilakukan sendiri, Widya melangkah meninggalkan dapur. Ia mengamati sofa, tempat yang dituju Aras sepulang kerja tadi.

Aras masih berada di sana. Dalam keadaan tertidur. Mungkin karena bergadang semalaman. Widya hanya menebak, karena ia tertidur pulas semalam.

Widya mengambil tas kerja Aras. Dibungkukkannya badan untuk menepuk pipi Aras. Sebelum semakin melayang ke alam mimpi, ia harus memastikan Aras tidur di tempat yang lebih nyaman.

"Ras. Aras." Widya menepuk berulang pipi kiri dan kanan Aras.

Aras bergeming. Mulutnya terkatup. Widya juga patut bersyukur karena Aras tidak mendengkur. Keluhan soal dengkuran tidak pernah jadi topik bahasan mereka, karena ia pun tidak mendengkur.

"Wake up."

Aras bergerak sedikit. Tapi ia malah kembali menutup mata setelah sempat membukanya.

"Terserah deh kalo kamu mau tidur di sini."

Widya sudah menyerah membangunkan Aras sehingga ia pun memilih membiarkan saja Aras tidur di situ.

"Kal."

Widya terpana.

Jelas Aras tidak sedang menyebut namanya. Tidak ada suku kata dari namanya yang memiliki relasi ke penggalan nama itu.

Widya menarik napas. Membiasakan diri dengan hal itu akan terasa enteng baginya.

"Dya."

Oh. Mengapa bisa berubah menjadi namanya?

Mungkin Aras sedang khilaf.

***




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro