4th

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kalau pulang kantor langsung istirahat aja di kamar. Tidur di sofa nggak baik buat bentuk tulang punggung."

Aras hanya mendengar tanpa menanggapi. Selain karena malas, ia mengakui ucapan Widya ada benarnya.

"Mandi dulu." Widya meletakkan handuk putih di dekatnya. Aras masih berbaring dengan mata sesekali terpejam sesekali membuka.

Cerewet!

Widya kembali mengulang ucapannya.

Dengan malas-malasan, Aras bangun dari posisi tidur yang sebetulnya sudah sangat nyaman.

"Buatin cokelat panas."

Aras menyuruh Widya membuatkan minuman. Biar saja sekalian ia  dibuat sibuk.

"Ras."

"Hmm," jawab Aras.

"Kenapa sih kamu selalu bilang kopinya kemanisan?"

Aras menggaruk kepalanya. "Karena memang kemanisan."

"Aku udah ngurangin takaran gulanya kenapa kamu bilang masih kemanisan? Kamu sengaja mau ngerjain ya?" Suara Widya terdengar berapi-api.

"Coba aja buat lagi besok. Siapa tau gue suka."

"Kenapa kamu nggak buat sendiri aja?"

"Lho? Buatin kopi kan udah jadi tugas lo?"

Widya mengibaskan tangan. "Terserah kamu deh. Nanti dipisahin aja gulanya. Biar kamu takar sendiri."

Aras tersenyum. Seharusnya Widya melakukan inisiatif itu dari dulu. Otaknya lamban mikir juga ya?

***

Widya Anandari.

Aras bertemu calon isterinya itu enam bulan sebelum lamaran. Seorang gadis yang akan menemani hidupnya untuk selama-lamanya.

Andai ia berkenan.

Andai ia memang ingin menikahi Widya.

Dan andai ia bertemu Widya sebelum mengenal Kalya.

Mungkin mereka bisa saling menyukai satu sama lain dan hubungan pernikahan mereka tidak akan seperti sekarang. Saat masing-masing dari mereka terikat tali pernikahan dan di saat yang sama mereka belum melepaskan kekasih masing-masing.

"Cokelatnya."

Widya menyorongkan mug ke depannya. Sementara saat itu Widya memilih minum susu putih. Gelas wadah susu itu menjadi perhatian Aras sejenak. Ia bisa memandangi gelas tersebut tanpa berkedip karena di baliknya, separuh dada Widya menyembul keluar dari bra merah darah. Isterinya itu memakai piyama yang seharusnya menutup rapat tubuhnya. Tapi, kancing teratasnya terbuka dan ia mungkin tidak menyadarinya.

Aras menganggap pemandangan itu cukup menyenangkan. Ia masih memandanginya sambil menyesap cokelat yang masih panas.

"Cukup menarik buat kamu?" Widya menunduk ketika menyadari piyama tipis yang ia kenakan memamerkan pakaian dalam. Ia baru mencoba pump bra tersebut karena dari gambar website sepertinya cukup menarik.

"36."

Widya menyeringai. Aras bukan orang buta yang tidak tahu ukuran pakaian dalamnya. Mereka berbagi walk in closet selama enam bulan ini. Ia bisa tahu secara sengaja maupun tidak.

"Bukan ukuran yang memuaskan." Aku Widya.

Tipe Aras ini pasti suka ukuran yang lebih besar karena mampu mengakomodasi keinginan bermain dengan tangannya.

Aras mencomot sepotong french fries.

"Setidaknya masih asli. Soal ukuran, selera laki-laki relatif." Aras memandangi dadanya tanpa rasa bersalah. "Soal ukuran dada itu menyinggung kaum feminis."

Widya ikut meraup kentang goreng. Ia tidak mau tahu selera Aras. Ia hanya ingin tahu apa Aras masih punya ketertarikan pada dadanya. Setidaknya masih ada hal positif yang dilihat Aras darinya.

"Masih asli." Widya menerangkan.

"Great."

Widya meneguk susu hangat sampai setengah gelas. Dari sudut pandangnya, Aras tidak lagi menujukan pandang pada bagian tubuhnya. Ia sedang berkonsentrasi pada cokelat panas yang takaran gulanya ia racik sendiri.

"Kita masih punya waktu enam bulan untuk membuat keputusan. Tapi, sepertinya gue bisa memutuskan dalam dua bulan ini," ucap Aras.

"Kamu mau ngelamar dia?" tanya Widya.

"Bukan." Aras berhenti sejenak. "Bukan gue. Tapi lo."

"Maksud kamu?"

"Lo yang harus ambil langkah lebih dulu."

Widya menggeleng. "Nggak. Aku nggak mau jadi tergugat."

Aras menatapnya. "Oke. Dan gue juga nggak mau jadi tergugat."

Widya berusaha tidak peduli omongan Aras. Meskipun di akhir, pihak Aras yang akan menang.

"Aku sama Elang sedang nggak dalam hubungan baik." Widya menerangkan.

"Then what?"

"Aku nggak tau."

***

Pasca obrolan absurd semalam, mereka masuk kamar tanpa diskusi lebih lanjut. Dan pagi itu, Widya mendapati Aras sedang berada di pantry, membuat kopinya sendiri. Aras mungkin sudah menyerah memberinya kesempatan untuk membuatkan kopi.

Menemukan Aras hanya mengenakan handuk dan kaus singlet bukan hal langka. Mendapatinya telanjang bulat juga sudah pernah. Waktu itu ia berteriak ponselnya ketinggalan, Aras  balas berteriak menyuruhnya masuk kamar mandi dan pemandangan Aras berstriptease pun tertangkap matanya. Tapi, seabsurd Aras mengabaikannya, seabsurd itu pula Widya tidak memedulikan. Berbeda jika Aras yang menangkap basah ia sedang bugil, Widya mungkin akan berteriak histeris.

Aras terlalu sesukanya. Widya kadang berpikir kalau orang semacam Aras ini bukan tipe laki-laki yang diidamkan banyak wanita.

"Mau sarapan apa, Ras?" tanya Widya sambil menggelung rambut. Diputarnya keran bak cuci piring untuk mencuci tangan lengkap dengan sabun.

"Sandwich."

"Pake telur?"

"Boleh."

Widya beralih mengambil roti gandum, telur ayam organik, daging ayam, dan selada. Aras melengkapi bahan-bahan yang sudah ada dengan mayonaise, saus tomat, bawang bombay dan tomat.

"Gue selalu berpikir kenapa gue sama lo nggak berani mutusin pacar kita masing-masing."

Widya mendengarkan Aras berceloteh. Sambil memanaskan teflon, ia menyiapkan roti gandum yang akan dipanggang sebentar.

"Tapi kamu nggak dapat jawabannya?"

Aras mundur untuk memberinya ruang menyiapkan sarapan. Saat Widya berbalik, Aras berjalan mendekati bak cuci piring.

"Sudah tapi nggak yakin."

Widya mengerutkan kening. "Karena kita nggak saling cinta."

"Bukan soal itu."

"Trus?"

"Karena kita nggak mau keluar dari comfort zone."

"Dan kita belum cukup mampu menghormati pernikahan." Widya menambahkan.

Aras mengangguk. "Mungkin. Karena kita nggak takut dosa perselingkuhan."

Widya mencibir. "Selingkuh itu kalo aku tidur sama Elang saat aku masih jadi isteri kamu."

"Dan gue tidur sama Kalya saat gue masih jadi suami lo."

Widya menoleh kepada Aras. "Kamu belum pernah tidur sama dia?"

Aras tidak menjawab. Widya menyimpulkan "iya"

"Belum."

Widya terpana. "Are you kidding?"

Aras tersenyum. "No."

Widya menatap Aras sejenak sebelum kembali memecahkan telur untuk dibuat telur ceplok.

Serious, Ras? Atas dasar apa? Penghargaan untuk pernikahan ini?

"Kalya itu pinter masak ya?"

"Bisa, tapi nggak pintar."

"Buat kamu, perempuan pintar masak itu bukan kriteria untuk dijadikan calon isteri?"

Aras berpikir sejenak. "Gue lebih milih yang jago di atas ranjang."

Widya membelalakkan mata. "Serius, Ras!"

"Oke. Kalau dia nggak pinter masak, dia bisa ikut kursus masak kan? Tapi yang terpenting, dia bisa memenangkan hati mama, meski gue tau itu nggak mungkin."

Widya tidak tahu apakah ia bisa memenangkan hati mama Aras andai beliau masih hidup atau ia hanya beruntung karena ia yang dijodohkan dengan Aras.

Tiba-tiba saja ia ingin tahu. Sekalipun ia tidak berkomitmen untuk selamanya settle down dengan Aras, paling tidak ia bisa mengukur kualitasnya sebagai seorang isteri.

"Dya?"

"Aaaarrgh!"

Tangan Widya menyenggol teflon di atas kompor yang masih menyala.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro