43rd

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku makasih banget buat apresiasi kalian sama cerita ini. Kemarin BiL sempat #1, bikin excited parah! Thanks juga buat vommentsnya :)

Enjoy !!

_________________________________________________________________________

Aras berbalik melihat Widya yang saat ini sedang berlari ke arahnya dan Elang. Itu setelah ia meninju perut Elang dan mendorongnya sampai tersungkur ke tanah. Dua orang karyawan laki-laki yang tadi berada di dalam membagi tugas, satunya memegangi Elang yang sedang berusaha bangun dan satunya lagi menahannya sebelum kembali melanjutkan duel berdarah-darah itu.

Widya memandangnya kemudian berganti memandang Elang. Hal itu tidak berlangsung lama karena Widya memilih balik badan setelah memberitahu karyawan memapah Elang ke dalam basecamp untuk diobati. Aras yang masih menyeka darah di bibirnya diberitahu karyawan yang bernama Irwan untuk mengobati lukanya di dalam basecamp.

"Nggak usah. Saya mau langsung pesan taksi saja."

Aras tidak mungkin mau berada dalam satu ruangan dengan Elang sementara ia masih ingin melampiaskan kemarahannya kepada laki-laki itu.

Irwan masih kebingungan tapi ia menyusul masuk setelah tahu tidak ada lagi yang bisa ia lakukan di luar sana.

***

"Pak Arasnya masih di luar, Mbak. Udah saya panggil masuk untuk diobatin tapi dia nggak mau."

Widya menerima laporan dari Irwan yang baru saja masuk. Ia mendesah kuat, dan menekan rasa marah di dadanya sambil melangkah keluar dari ruangan itu. Elang baru saja duduk di kursi dan menerima kotak P3K yang disodorkan Dhea kepadanya.

Aras masih berdiri di depan pagar, membelakanginya. Penuh rasa marah, Widya membentak.

"Maksud kamu apa sih berantem di sini? Mau bikin malu aku?"

Aras seketika berbalik, menunjukkan ekspresi kaget. Tapi ia menguasai diri dengan cepat.

"Dia yang datang bikin masalah."

"Pasti kamu yang mulai mukulin dia, iya kan?"

"Iya, memang aku yang lebih dulu mukulin dia. Karena aku nggak suka lihat dia datang ke sini."

"Childish banget ya kamu?"

"Bukan childish tapi menunjukkan kejantanan. Juga menunjukkan harga diri sebagai seorang suami."

"Harga diri macam apa yang sedang kamu omongin, Ras?" Widya menatapnya tajam. "Harga diri yang udah kamu tukar dengan tindakan kamu mempermalukan diri kamu dan juga aku?"

"Aku nggak pernah bermaksud mempermalukan siapa-siapa, Dy. Kebetulan saja dia datang di waktu yang tepat, jadi aku punya kesempatan untuk menghajar tanpa perlu repot mendatangi dia."

Widya tidak senang mendengarnya. "Dalam masa seperti ini mestinya kamu bisa lebih menahan diri. Aku malu sama karyawan-karyawanku. Nggak pernah ada kejadian kayak gini sebelumnya."

"Ya sudah. Anggap saja sekarang aku udah nggak punya harga diri lagi. Datang ke sini sembunyi-sembunyi hanya untuk bisa ketemu sama kamu, lalu menghajar laki-laki lain yang juga datang dengan tujuan yang sama. Laki-laki yang udah berusaha hancurin pernikahan kita."

Widya tidak mengetahui sama sekali jika saat itu Elang hendak datang ke sana.

"Nggak usah nyalahin orang lain karena orang yang membuat pernikahan kita hancur bukan siapa-siapa, tapi diri kamu sendiri!"

Aras mengepalkan tangan, menahan diri untuk berkata apa-apa lagi. Ia bisa saja berteriak-teriak penuh emosi di depan Widya, karena Widya marah padanya di saat ia seharusnya memberi perhatian. Apakah keadaannya saat ini belum cukup menyedihkan sampai Widya masih harus memarahinya? Mungkin akan lebih baik jika saat itu juga ia mengambil tali dan gantung diri.

"Aku yang salah. Ya udah." Aras lalu mengulang. "Sampai kapanpun, setiap persoalan yang melibatkan Elang, selalu aku yang salah. Memang nggak pernah benar ya aku di mata kamu?"

Widya menghela napas. "Aku nggak lagi belain Elang. Dan nggak akan belain dia, karena dia juga salah."

"Tapi kamu ajak dia masuk dan obatin dia. Sedangkan aku, kamu biarin begini tanpa ngomong apa-apa." Aras mengacak rambutnya. "Aah, lupa. Aku kan suami yang nggak tahu diri dan nggak punya harga diri. Jadi memang nggak pantas diajak ngomong. Pantasnya disyukurin dan didoain cepat mati sekalian."

Widya menggeleng-geleng. "Kamu tuh memang suka ngambil kesimpulan sendiri."

Aras menerima obat merah dan kapas yang terulur dari tangan Widya.

"Tadinya aku mau bantuin ngobatin luka kamu, tapi kamu bisa lakuin sendiri."

Aras memandangi tangannya dan punggung Widya yang mulai menjauh secara bergantian. Ia tidak tahu harus tertawa atau menangis haru karena ternyata Widya masih menaruh perhatian padanya setelah rentetan omelan tadi. Widya ternyata tidak semarah yang ia duga.

Jika ia benar-benar marah, mungkin bukan obat merah dan kapas yang ia sodorkan, tapi racun tikus.

***

Aras menyandarkan punggung yang terasa ngilu ke sandaran kursi. Sementara ia mengatur napas karena nyeri di perut bekas pukulan mulai berdenyut lagi, bapak-bapak supir taksi online melihat kepadanya melalui kaca depan.

"Abis berantem Mas?" tanya si bapak. Rambutnya mulai memutih, wajahnya yang keriput menyiratkan tanda tanya sekaligus keprihatinan, tidak sekadar kepo semata.

"Biasa, Pak. Kenakalan remaja," jawab Aras asal. Ia lalu tersenyum. "Iya nih, Pak. Biasa, lagi kusut pikiran aja. Jadi berantem."

"Apa mau saya antar ke klinik?"

"Nggak usah, Pak. Langsung pulang, nanti saya obati di rumah saja." Aras lalu menyebutkan alamat rumahnya.

"Udah nikah to?"

"Udah, Pak."

Tapi isteri saya pergi dari rumah. Jadi kalau sampai rumah, lukanya saya obati sendiri saja.

Setelah keadaan hening karena si bapak supir asyik menyetel radio, Aras kembali melamunkan tentang Widya.

Keadaan belum lagi kondusif, namun ia baru saja menambahkan kegentingan sekaligus menambah panjang alasan Widya untuk tidak lagi mau bertemu dengannya.

***

"Udah deh, Lang. Kamu tau kan jawabanku kalau aku nggak akan mau lagi ngomongin soal rumah itu, termasuk apapun rencana kamu yang melibatkan aku di dalamnya."

"Itu rencana Aras, Dy. Bukan...,"

"Nggak usah ngejawab, bisa?" Widya susah payah mengatur napasnya. Melihat Elang, ia jadi teringat lagi akan posisinya yang seolah jadi bahan permainan.

"Bisa. Tapi ini bukan kali terakhir kan kita bakal ketemu?"

"Tergantung." Widya menghela napas. "Tergantung seberapa besar usaha kamu untuk bersungguh-sungguh menyesali perbuatan kamu."

"Trus, kamu nggak mempertimbangkan lagi untuk menerima aku?"

Widya menggeleng.

"Karena Aras?"

"Aku udah bilang jangan sebut-sebut dia lagi." Widya menatap Elang kesal. "Kamu tuh sama aja dengan dia. Sama-sama jahat."

"Astaga, Dy. Aku udah minta maaf berkali-kali, masih nggak kamu maafin juga? Lagian aku udah jujur soal kesepakatan itu. Dari segi gentle, aku lebih gentle dari Aras."

Widya masih bertahan dengan sikapnya. Diangkatnya bokongnya dari lantai keramik teras basecamp tempatnya duduk selama beberapa lama. "Kamu mending pulang aja deh, Lang. Aku sibuk, banyak kerjaan."

"Oke." Elang mengiyakan meski dengan berat hati.

Widya memandangi kepergian Elang sebelum masuk kembali ke dalam basecamp. Ia tidak bisa menghabiskan banyak energi lagi untuk marah. Setidaknya dua laki-laki itu sudah mendapatkan pelajaran kalau mereka tidak bisa seenaknya mempermainkan perasaan perempuan.

"Ngenes banget tau nggak mereka." Komentar Dhea tersebut menyambut Widya saat masuk ke dalam. "Udah babak belur, dapet bonus marah juga dari lo."

"Abis ngeselin."

Widya duduk sejenak di kursi. Sehabis memarahi Aras dan Elang, energinya serasa terkuras habis.

Lalu sekarang apa?

Aah, menikmati kesendirian.

***

Nomer ponselnya masih juga diblokir Widya.

"Oke. Kali ini gue akan coba lagi."

Aras merapikan kemeja putih dan dasi. Pagi itu dilaluinya sendiri seperti beberapa pagi sebelumnya. Ia berencana akan kembali mengunjungi basecamp itu jika ada waktu luang di kantor.

Ia belum akan menyerah. Tidak sampai masalah di antara mereka terselesaikan.

Meski wajahnya masih berbekas sisa perkelahian kemarin. Bibirnya masih terasa perih meski hanya sedikit digerakkan. Pipinya pun masih terasa nyut-nyutan meski disentuh sedikit.

Seharusnya ia bolos kerja, tapi ia tidak mau pekerjaan kantor sampai terbengkalai.

***

"Aduh, kenapa pusing gini ya?" Widya sampai harus duduk kembali saat ia berniat bangun dari tempat tidur.

_______________________________________________________________________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro