44th

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bagi kalian yang sebagian besar nebak Widya lagi hamil, di chapter ini semoga bisa terjawab dengan jelas. Secara mereka juga masih baru abis ena2 jadi nggak mungkin Widya langsung hamil 😄😄😄

------------------------------------------------------

Widya meminum susu hangat sebagai pertolongan pertama. Sepertinya gejala anemia. Akhir-akhir ini tidurnya memang kurang karena banyak pikiran. Dan hari ini baru terasa efeknya. Kepalanya terasa berputar-putar.

"Widya. Kamu udah bangun? Ayo sarapan dulu sebelum berangkat kerja." Suara Bude Ratih disertai ketukan pintu berkali-kali hanya bisa disahuti Widya dengan pelan.

"Iya, Bude. Nanti aja." Ia benar-benar tidak bisa bangun dari tidur.

Setelah tidak ada suara ketukan, berikut ia mendengar suara pintu dibuka. Rupanya Asti yang masuk.

"Dy, kamu kenapa?" tanya Asti terdengar panik.

"Ini. Kayaknya anemia. Kepala pusing, muter-muter."

Asti duduk di sisi tempat tidur. "Tunggu, aku panggilin Dede."

"Dede siapa?"

Widya tidak pernah mendengar nama itu.

"Tetangga sebelah. Anak kebidanan tingkat akhir. Dia yang biasa ngukur tensi kalo ada yang lagi sakit."

"Makasih ya?"

Asti mengusap dahinya. "Aku keluar dulu. Nanti aku panggil ibu nemenin kamu."

Asti bergegas keluar dan sesaat berganti dengan Bude Ratih yang masuk ke dalam rumah sambil membawa nampan berisi segelas air hangat.

"Masih pusing kepalanya?"

"Iya, Bude."

Bude Ratih langsung memijit-mijit bagian bahu dan leher Widya dengan baluran minyak kayu putih. Widya merasa perasaannya sedikit lebih enak oleh pijitan itu.

Tidak berapa lama, Asti muncul bersama seorang gadis berjilbab dan berseragam putih-putih.

"Untung si Dede belum berangkat ke kampus," kata Asti tersenyum kepadanya.

Dede sigap memasangkan alat tensimeter dan meraba denyut nadi di lengan Widya. Dede tidak menggunakan Stetoskop dan melakukan palpasi.

"Tekanan darahnya rendah, Mbak. 80/50. Udah saya ulangi periksa sebanyak tiga kali." Dede pun melepaskan bebat setelah pengukuran tekanan darah selesai. "Kebetulan ini saya bawakan obat penambah darah."

"Dikasih susu nggak pa-pa kan, De?" tanya Asti.

"Aku udah minum susu tadi." Widya memberitahu.

"Nanti dibeliin sate kambing sama tengkleng," usul Bude. Ia membantu Widya meluruskan badan di atas tempat tidur. "Nah, sekarang kamu istirahat aja dulu, sambil Bude pijitin."

"De, makasih banyak ya?" kata Widya setelah berkenalan singkat dengan Dede.

"Sama-sama, Mbak. Cepet sembuh ya?"

Dede kemudian pamit, diantar Asti ke depan.

"Nggak usah dianterin pulang, Mbak Asti." Tawa Dede terdengar samar dari depan kamar.

"Dede tuh anaknya baik banget. Udah kayak pahlawan kalo ada yang sakit."

"Iya, Bude. Baik banget. Malah dibawain obat lagi."

"Tadi mau dibikinin teh nggak mau. Buru-buru ke kampus, katanya." Bude menambahkan.

***

Widya urung berangkat kerja. Dalam kondisi kesehatan yang masih belum stabil, ia memilih beristirahat saja di rumah. Asti baru saja pamit dan Rena ia titipkan kepada Bude. Setiap ia pergi bekerja, Rena memang selalu tinggal di rumah.

Hiburan satu-satunya saat itu hanya ponsel di tangan. Widya sudah menghubungi Dhea jadi mereka sudah tahu kalau ia tidak akan datang hari ini.

***

"Widya sakit?"

"Mm, iya. Tadi pagi dia nelepon," jawab Dhea singkat sambil membantu Bekti mengatur paket yang belum diambil kurir.

"Sakit apa ya kalo boleh tau?"

"Katanya sih pusing, kurang darah gitu."

"Dhe, saya boleh tau nggak, sekarang Widya ada di mana?"

Dhea berpikir, terlihat jelas ia sedang berpikir akan mengatakannya atau tidak.

"Maaf nih, Mas. Mas memang lagi marahan sama Widya?"

"Oh, nggak." Tapi Aras segera meralat. Perkelahian tempo hari yang terjadi antara ia dan Elang, rasanya bisa jadi alasan, meski ia tahu akan terasa agak ganjil. "Sejak kemarin, dia masih kesal sama saya."

"Widya sih udah pesan supaya saya nggak ngasih tau dia tinggal di mana."  Ia tersenyum tipis. "Tapi saya kasian aja kalo Mas pergi tanpa tau Widya ada di mana."

Dhea, you are my hero!

"Dia di rumah budenya. Bude Ratih."

Aras tersenyum, tapi ia tidak tahu alamatnya.

Dhea hanya bisa menepuk dahi ketika Aras mengaku tidak tahu alamat rumah yang Dhea maksud. Raut wajah Dhea bercampur kaget sekaligus lucu mengetahui fakta bahwa Aras tidak tahu alamat rumah satu-satunya kerabat dekat Widya. Di Jakarta pula.

Ya. Memang ia separah itu.

***

Aras mematikan mesin mobil. Yakin tidak yakin, ia sudah sampai di sana. Mau mundur juga percuma.

Ia membuka pintu di sampingnya, setelah menghitung sampai hitungan kesepuluh.

***

"Widya ada Aras nyariin kamu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro