46th

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Itu sih mau-maunya kamu aja."

"Iya. Kalau maunya aku, kamu nggak ke mana-mana. Dan kita nggak marahan."

Widya mendengus. "Alasan yang nggak bisa aku terima itu soal kamu yang menganggap aku seperti barang sampai harus diserahin sama Elang. Marahnya aku pun masih belum bisa membalas rencana busuk kamu itu."

"Aku nggak bisa muter waktu, Dy. Manusia lainnya juga nggak akan bisa. Tapi kita masih bisa memperbaiki masa depan kita."

"Masa depan yang seperti apa, Ras? Dari awal niat kamu kan memang udah nggak bener, jadi seterusnya juga nggak bakal bener."

"Kalo begitu, buat apa ada masa instrospeksi diri kalo aku nggak diberi kesempatan?"

"Masa instrospeksi itu cuma perlu kamu lakukan dengan nggak dateng saat aku nggak butuh kehadiran kamu."

"Berapa lama?"

"Tergantung berapa lama aku mikir."

"Itu sama aja ngegantung aku tanpa kepastian." Aras mulai terlihat sewot.

Huh, nikmati saja masa-masa seperti ini.

"Ya, makanya jangan mempermainkan pernikahan. Pernikahan itu hubungan manusia yang paling sakral. Dari awal nikah, aku seolah kelihatan setuju-setuju saja sama rencana kamu buat pisah. Tapi, jauh dalam hati, aku masih berharap kamu mau berubah pikiran. Dan saat kesempatan itu datang, kamu malah sudah buat kesepakatan sama Elang." Widya berujar panjang lebar. "Makanya nggak heran, hati aku ringsek banget sekarang, Ras. Karena kamu."

"Tapi sebelum pergi kamu bilang kamu maafin aku karena kamu cinta sama aku," Aras mengingatkan. "Jadi seharusnya sekarang aku udah dimaafin kan?"

Cinta.

Iya, ia memang sudah sampai dalam tahap jatuh cinta kepada Aras.

Tapi, ketika mencintai seseorang dan disakiti, kata maaf itu mengapa jadi terasa menyakitkan? Ia tidak menyangkal jika sebelum pergi ia mengatakan telah memaafkan Aras, namun kenyataannya tidak sesederhana itu. Hatinya masih sakit dan hal itu jelas tidak akan sembuh dalam waktu singkat. Kasusnya akan berbeda jika ia tidak mencintai Aras.

Ah, kenapa juga ia bisa mencintai Aras semudah itu?

Oh, mungkin hanya sekadar suka. Suka karena ternyata mereka bisa cocok satu sama lain saat sedang bersama. Termasuk soal urusan ranjang. Mereka telah melewati masa-masa yang selama ini mereka tunda-tunda dengan alasan tidak saling mencintai. Lalu ketika pernyataan cinta terucap masing-masing di kedua belah pihak, proses berlanjut kepada hubungan seksual.

Dan bukan tidak mungkin ada "buahnya" kan?

Tidak. Jangan dulu. Kalaupun ia sampai hamil karena hubungan waktu itu, bukan berarti ia akan menerima Aras secepatnya. Persoalan anak jelas tidak bisa ia hubung-hubungkan dengan Aras.

Faktanya sekarang, ia masih membenci Aras dan belum menentukan sikap sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

"Pulang sana," ucap Widya, akhirnya.

"Aku masih mau ngomong sama kamu."

"Aku nggak punya waktu."

"Kamu punya waktu marah sama aku, tapi malah nggak ada waktu buat dengerin aku ngomong?" Aras mulai terdengar jengkel.

Baguslah.

"Iya. Kamu kan menyebalkan?"

"Gini-gini juga kamu cinta."

Widya memasang wajah masam.

Oh, jadi sekarang Aras mulai menggunakan senjata itu untuk berbaikan dengannya.

Sori! Pake banget!

"Kayaknya aku bodoh banget ya bisa dengan mudah jatuh cinta sama kamu?"

Widya menyadari hal tersebut di detik pertama ia berucap cinta. Tapi ia terlalu mudah mengakui sesuatu yang justru bisa saja mulai luntur dari dalam hatinya.

Bagaimana mungkin ia bisa mencintai Aras begitu mudah dan cepat? Apakah karena Aras suaminya dan mereka bertemu setiap hari?

Atau karena Aras memang pantas dicintai tanpa alasan?

Teori cinta tanpa alasan, sepertinya harus ia koreksi. Jika cinta itu buta, paling tidak harus ada saja sedikit alasan logis yang membuat kita yakin jika kita memang merasakannya pada orang yang tepat. Karena hati memang merasakan, namun yang menuntun kita membuat tindakan tetap saja dilakukan oleh otak kita.

Iya kan?

"Bodoh karena aku tahu kamu masih berhubungan sama Kalya. Bodoh karena aku nggak bisa menahan diri untuk nggak berhubungan intim sama kamu hanya karena nafsu."

Aras menatapnya.

"Kamu nyesal soal hubungan intim waktu itu?"

Widya enggan menjawab.

"Nggak perlu dijawab, harusnya. Udah berlalu juga." Aras terdengar menghela napas. "Tapi aku nggak nyesal, Dy. Karena saat itu terlalu berharga untuk disesali. Saat yang buat aku berpikir, kapan bisa mengulanginya lagi sama kamu. Dalam keadaan yang lebih baik."

Wajah Widya terasa memanas saat Aras mau tidak mau membuatnya membayangkan kembali pengalaman pertama yang mereka lalui bersama. Pengalaman itu bisa terulang, bisa juga tidak, tergantung bagaimana mereka menyelesaikan persoalan yang ada.

Tunggu sebentar. Aras bilang ia berpikir kapan bisa mengulanginya lagi.

Kalimat ini sudah cukup membuatnya masuk dalam pusaran adrenalin.

Aras mungkin sudah gila jika ia meminta jatah saat mereka sedang perang seperti sekarang. Itu mungkin salah satu bentuk penyelesaian masalah antara suami isteri. Tapi ia tidak bisa membayangkan Aras menyentuhnya saat ia seharusnya mempertahankan prinsip. Karena ia cukup yakin ia akan luluh di detik pertama Aras menciumnya dan mulai melucuti pakaian mereka satu-persatu.

And the rest is...

"Kenapa belum pulang? Aku udah ngusir tadi." Widya merapikan posisi duduknya yang sebentar lagi berganti posisi menjadi berbaring.

"Dy."

Aras menarik wajahnya dan tanpa permisi mengecup bibirnya. Ciuman yang memberi rasa hangat dan lembab dalam waktu bersamaan. Aras seakan tidak peduli dengan aroma sate kambing dan tengkleng yang baru ia santap saat mempercepat ritme ciumannya.

Ciuman itu semakin klimaks setiap detiknya. Ya, ciuman itu bertahan lebih lama dari yang Widya perkirakan. Lebih lama dari keinginannya.

Ia ingin lepas, tapi bibir Aras seolah tidak memberi peluang selain mengakomodasi pergerakannya yang semakin liar dan bergairah.

"Pulang bareng aku ya, Dy?" ucap Aras setelah menaikkan Widya di pangkuannya. Posisi ini paling ia sukai saat berciuman karena ia dapat mencegah Widya melarikan diri.

"Nggak mau," Widya menjawab sebisanya.

"Di sini nggak ada AC-nya. Gerah."

"Nggak ada urusannya dengan kamu." Widya kembali menerima ciuman Aras yang seakan tidak pernah membiarkannya banyak bicara.

"Pulang."

"Nggak."

Aras mencengkeram kedua paha Widya setelah menaikkan ujung roknya ke atas. Akan dipaksanya Widya pulang sekalipun itu berarti mereka akan memulai perang besar di sini.

Perang di atas ranjang.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro