53rd

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kalau memang itu keputusan terbaik," ucap Widya.

"Terserah kamu saja," Aras semakin mendapati jurang menganga dalam pembicaraan kali ini. Ia ingin mengatakan kepada Widya jika ia tidak ingin mendengar apapun soal perpisahan. Tapi ia tidak akan berjuang sendiri untuk mempertahankan apa yang tidak ingin dipertahankan Widya lagi.

Sampai detik ini, ia masih mencintai Widya.

***

Widya membalik badan, merapikan selimut.

Percakapan di meja makan hanya berlangsung dalam hitungan menit setelah Aras menutup kesempatan baginya untuk berbicara.

Aras. Mengapa hanya mengingat nama itu membuat hatinya sakit?

***

Berhari-hari kemudian, hubungan di antara mereka semakin renggang. Lebih banyak ruang kosong dan keheningan. Kontak mata pun jarang terjadi. Tidak pernah lebih dari semenit percakapan yang tercipta di antara mereka. Begitu dingin dan sarat emosi yang terpendam.

Aras semakin tenggelam dalam pekerjaan, lembur berhari-hari, selalu pulang di atas jam sepuluh malam. Jika weekend tiba, ia pun tetap keluar rumah di pagi hari dan baru kembali di malam hari. Tidak ada pertanyaan ia ke mana dan akan pulang atau tidak. Tidak. Tidak sama sekali.

Mereka semakin jauh satu sama lain.

***

Hari itu Widya kembali beraktivitas seperti biasa di basecamp. Jika dihitung, nyaris dua minggu ini ia selalu datang ke tempat itu. Ia serasa menemukan pelarian dari pikirannya yang selama ini sudah cukup dibebani oleh Aras dan hubungan mereka yang semakin dingin. Karena bagi sebagian orang, bekerja adalah bentuk pelampiasan selain makanan dan liburan. Ia tidak nafsu makan, juga tidak terpikir untuk berlibur. Ia hanya ingin bekerja dan terus bekerja.

"Dhe, gue duduk di sini sebentar ya?" sahut Widya setelah duduk di sofa. Sebelumnya ia duduk melantai membantu proses packing.

"Pucet banget muka lo," Dhea sampai mengikuti dan duduk di dekatnya. "Dari tadi lho gue perhatiin."

"Masa sih?" Widya menjawab pelan sambil menyandarkan punggung yang serasa mau remuk. Ia menyentuh pipinya yang lumayan hangat.

Tadi pagi ia memang merasa mual sehingga ia kembali berbaring sebelum memutuskan mandi. Ia memaksakan mandi pakai air dingin yang membuat perasaannya tidak lebih baik. Jadi ia membaluri tubuhnya menggunakan minyak telon sebelum memakai pakaian.

"Lo hamil, mungkin?"

"Nggak mungkin!" balas Widya cepat.

"Yeee kenapa nggak mungkin? Lo kan udah punya suami?"

Gue nggak mau sampai punya anak dari Aras, Dhe. Gue nggak mau.

"Gue cuma masuk angin aja kok, bukannya lagi hamil."

"Diaminin dong, Dy. Anak itu amanah."

Widya tidak membalas ucapan Dhea karena sudah terlanjur membayangkan jika hal itu sampai terjadi. Meskipun kemungkinan itu bisa terjadi mengingat hubungan seksual antara ia dan Aras telah berlangsung lebih dari dua kali tanpa pengaman.

Memang masuk akal dan bisa saja terjadi.

"Gue temenin deh beli test pack," kata Dhea setengah membujuk. "Daripada lo penasaran."

"Apa sih, Dhe? Gue cuma masuk angin  kok." Widya tetap membantah.

"Tes aja kalo lo mau buktiin. Lo pasti udah telat haid kan?" Tebakan Dhea semakin menjadi.

Widya menelan ludah. "Iya. Tapi cuma masuk angin. Beneran,"

"Hmm. Pokoknya abis ini lo istirahat dulu deh. Gue anterin pulang."

Widya menggeleng kuat. "Nggak usah, Dhe. Gue...pulang aja sekarang naik taksi online."

Dhea tersenyum. "Nah gitu dong. Jangan lupa singgah beli test pack!"

Widya mendengus. "Bawel."

Menuruti saran Dhea, Widya berhenti di sebuah apotik untuk membeli test pack. Selain itu ia juga membeli obat mual dan stok untuk tolak angin.

Ia tidak yakin apa yang baru saja ia lakukan, namun ia akan melakukan tes keesokan pagi.

***

Aras keluar dari walk in closet sambil memakai kemeja putih. Ia berbalik dan membelakangi cermin untuk memastikan Widya masih bergelung di dalam selimut.

Biasanya jam segini, Widya sudah bangun menyiapkan sarapan.

Tapi tidak masalah. Ia cukup minum kopi atau membeli sarapan dalam perjalanan ke kantor.




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro