8th

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Awas aja kalo dia nggak pergi!

Widya menunggu sampai Aras keluar dari kamar.

Ekor matanya tidak kunjung menemukan kelebat bayangan.

Mungkin Aras memang tidak berniat keluar rumah? Dan barangkali ia sedang melampiaskan marah di dalam kamar? Oke, jadi apa yang bisa dilakukan Aras sebagai bentuk pelampiasan? Memukuli bantal atau melubangi dinding?

"Jaket yang biasa gue pake, mana?"

This is it monster...

"Mau dicuci. Jaket kamu kan banyak?"

"Bukannya minggu lalu lo bilang mau dicuci?"

"Lupa. Minggu lalu aku fokus nyuci seprai."

Aras terlihat mengacak rambutnya sebelum kembali menaiki tangga.

Aras ini kalau lagi marah, ngalah-ngalahin cewek lagi PMS deh. Asli!

Widya berdecak dan saat menoleh ke tangga, Aras sedang memakai jaket putih. Suara decingan kunci mobil terdengar saat ia meraihnya dari atas meja.

"Nggak usah nunggu gue."

"Bawa kunci cadangannya gih." Widya nampak tidak mau menatap Aras berlama-lama.

Ia tidak pernah berniat menunggui Aras pulang sehabis keluyuran. Namun setiapkali itu juga, Widya menemukan dirinya sedang menunggui Aras pulang.

Ia ingin mengatakan jika sebetulnya ia takut sendirian di rumah malam-malam begini.

Tapi apa iya ia bisa bilang kepada Aras? Apakah Aras peduli kalau ia selalu susah tidur sebelum Aras pulang?

"Ada di gantungan kunci." Widya menambahkan sambil menghela napas.

Ditinggal sendirian lagi deh.

Aras mengambil kunci cadangan kemudian berlalu menuju pintu.

"Assalamualaikum."

Widya menjawab.

"Waalaikumsalam."

Masih sempat pamit dia.

***

Ritz, sebuah kelab malam menjadi tujuan Aras. Satu-satunya tempat yang diinginkan untuk membunuh waktu. Ia tidak berniat pulang dalam keadaan teler dan bau minuman. Bukan karena ia takut kena omelan Widya, tapi ia memang sedang tidak ingin pikirannya dikendalikan alkohol.

Ia hanya butuh penyegaran. Relaksasi.

Aras memilih bar stool sebagai tempat menikmati minuman dan suasana kelab yang dipenuhi kaum pencari kebahagiaan duniawi.

"Mocktail. Yang biasa aja, Mas."

Bartender bertubuh tinggi kurus dengan potongan rambut cepak yang tengah meracik minuman mengacungkan jempol padanya.

"Abis ini ya?"

Aras menatap gelas-gelas berisi minuman yang sedang digarap bartender tadi. Namanya Eddy. Jika Aras clubbing ke sana, ia selalu memesan minuman ke Eddy dan baru beralih ke bartender lain jika saat itu bukan giliran shift Eddy. Alasannya, karena ia sudah hapal pesanan Aras baik minuman alkohol, cocktail hingga mocktail. Kata "seperti yang biasa" mengacu pada Vanilla mocktail.

"Makasih, Mas," ucap Aras ketika Eddy menghidangkan minuman pesanannya.

Aras mencicipinya sedikit, sembari merogoh saku jaket.

Ia baru ingat ponselnya tertinggal di rumah. Tepatnya tertinggal setelah ia membanting di atas meja. Hanya dompet dan kunci rumah yang dibawanya.

Aras membuang napas.

Untuk alasan sepele, ia melarikan diri ke tempat ini.

Bukan sekali ini saja Kalya membatalkan janji. Beberapa kali, seingatnya. Dan itu terjadi setelah ia menolak menggugat cerai Widya.

Bukan berarti ia tidak akan menceraikan Widya. Ia hanya menahan diri sampai keadaan benar-benar kondusif.

Tapi Kalya terus mendesak. Dan sejak itu, hubungan mereka semakin renggang. Sampai Kalya menghindar, membuat emosi Aras memuncak.

Ia benci berada dalam situasi seperti ini. Ia benci meniti dua peran sekaligus. Ia benci harus menyenangkan hati nenek dan keluarga Widya.

Ia benci mengapa ia mau melakukan sesuatu yang tidak sesuai keinginan demi membuat semua orang tersenyum, sementara hal itu bertentangan dengan keinginannya?

***

Widya membalik ponsel Aras untuk memastikan kondisi benda berwarna merah tersebut setelah dibanting. Gerakan tangan Aras waktu itu tidak begitu kencang namun bisa saja layarnya lecet atau malah pecah.

"Dasar labil." Widya mengelus layar iphone Aras, dan segera menemukan goresan panjang di sisi kiri dan bawah layarnya. Ia bisa memperkirakan biaya service ponsel tersebut.

Aras selalu mengunci ponsel sehingga tidak ada kesempatan bagi Widya untuk mengetahui isinya. Ia pun belum sekepo itu untuk mencari tahu hal pribadi Aras. Mungkin kotak pesannya dipenuhi oleh Kalya? Belum lagi social medianya? Oh, atau mungkin foto-foto di galeri? Dan video. Siapa yang tahu jika dalam ponsel itu tersimpan video-video mesra Aras dan Kalya?

Tiba-tiba ia ingin tahu.

Widya pun menggeser-geser layar lecet tersebut. Memang terkunci. Ia mencoba memasukkan kode-kode asal-asalan berharap ia bisa menebak dengan tepat password pembuka lock.

Mulai dari tanggal lahir Aras, plat mobilnya, nomor induk kependudukan di KK, sampai tanggal pernikahan mereka.

Nihil.

Widya meletakkan kembali ponsel itu pada posisi semula di atas meja. Seharusnya ia tahu bahwa Aras cukup cerdik menyembunyikan privasinya. Password ponselnya bisa jadi merupakan perpaduan angka dan huruf yang rumit.

Widya menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa.

Mengapa ia jadi ingin tahu lebih jauh soal Aras?

***

Aras memarkirkan mobil di dalam garasi.

Sekarang pukul 01.00 dinihari. Besok hari Minggu, ia bisa tidur lelap sampai siang.

Kunci rumah dikeluarkan dari saku jaket. Benda logam itu hampir saja ketinggalan di meja bartender andai Eddy tidak mengingatkan.

Masuk ke ruang TV, Aras mendapati TV masih dalam keadaan menyala. Ia tidak perlu menebak karena ia menemukan sosok tubuh kurus tengah tidur berselonjor di sofa dalam posisi meringkuk karena dingin.

Seharusnya ia membangunkan Widya menggunakan ujung kaki, tapi saat itu ia sudah terlalu lelah mengusili perempuan itu.

Ia kembali dari kamar dan membentangkan selimut untuk menutupi tubuh Widya yang belum sempat berganti baju.

Belum sempat ia beranjak dari posisi jongkok, Widya membuka mata.

"Udah pulang?"

Aras langsung menarik selimut dengan sigap.

"Menurut lo?"

"Aku kira aku lagi mimpi kamu datang dan kasih aku selimut. Ternyata nggak." Widya bangun dari tidurnya. "Harusnya tadi aku ngigo minta digendong."

Aras melemparkan kembali selimut kepada Widya yang sigap ditangkap Widya sambil bersungut-sungut.

"Gue bilang nggak usah ditunggu."

"Tadi ketiduran." Widya meraih ponsel Aras di atas meja. "Rusak gara-gara kamu banting. Nih. Coba kamu lebih sabar, nggak perlu service mahal-mahal kan?"

"Ambil aja."

"Hah?"

"Sisain SIM cardnya."

"Ras. Kamu ngasih aku?" Widya memastikan.

"Gue nggak harus ngulang kan? Kalo nggak mau, buang aja."

"Enak aja main buang. Ya udah, besok kukeluarin SIM cardnya. Eh nggak sekalian SIM cardnya buat aku? Biasanya kan pulsa kamu banyak. Lumayan kan?"

***

Haiiii...aku lanjut lagi ini. Ada typo tadi, tapi udah diberesin 😂😂😂😂
Soal ponsel Aras ku tahunya kan pake touch ID (sidik jari) cuma aku rasa gak detail diceritakan jadi ya gitu deh. Aku ceritain yg pake password lock kan? Nanti deh kuubah jenis ponselnya 😂😂😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro