7th

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Pizzanya masih ada sisa."

Widya tidak tahu kalimat itu sekadar informasi atau Aras sengaja memancingnya memberi tanggapan jika ia berminat memakannya.

Tentu saja ia tidak akan memakannya. Redaksi kalimat Aras sangat tidak mengenakkan di penggunaan kata "sisa". Ia tidak sudi makan makanan sisa, meskipun makanan sisa dari suami sendiri. Widya teringat cuplikan scene dari sebuah film India jadul di mana seorang isteri sengaja menunggu suaminya selesai makan dan memakan sisanya. Selain karena sang isteri memang sangat mencintai suaminya, ia juga merasa memiliki ikatan batin dengan sang suami.

Untuk Widya, tidak ada alasan masuk akal yang bisa membuatnya melakukan hal tersebut. Sisa pizza memang tidak nampak seperti sisa nasi, karena bentuk pizza sudah terpotong-potong, tapi tetap saja ia ogah.

"Nasi kuning segini banyak udah cukup bikin perut begah." Widya menyuapkan lagi nasi bercampur potongan ayam goreng.

"Kalau nggak kuat, nggak usah dipaksa ngabisin."

"Mubazir," jawab Widya, tidak peduli saran Aras. Bukankah lebih baik jika Aras tadi menunggu ia datang dan menyantap makanan yang dibawanya? Bukannya malah memesan pizza sebagai menu makan malam?

Widya mendengar Aras menuangkan lagi air minum dari botol ke dalam gelas. Ia baru akan berdiri mengambil gelas saat Aras meletakkan gelas berisi air putih yang dituangkannya tadi ke dekat piring yang dipakai Widya membuat gunungan nasi dan lauk.

"Nih."

Widya tidak yakin Aras mengambilkan minuman untuknya.

"Buat aku?" Widya menunjuk gelas berembun itu.

"Hm," gumam Aras.

Widya merasa harus bersorak sambil bertepuk tangan karena kebaikan hati Aras. Maksudnya, berapa kali ia bisa mengingat Aras melakukan hal baik padanya? Dan ia butuh waktu lama untuk memikirkan sangking terlalu langka.

Aras kembali menghadap kulkas. Terdengar suara tarikan. Mungkin Aras sedang mengambil buah.

Tepat sekali tebakab Widya. Aras sedang memegang dua butir apel malang, buah favoritnya. Aras tidak begitu suka apel merah yang menurutnya serasa berpasir, jadi tidak ada stok apel merah di rak buah. Widya sendiri juga tidak suka apel merah, satu kesamaan dengan Aras yang resmi ia ketahui sehari setelah menyandang status isteri. Selain apel merah, Aras tidak pemilih kepada jenis buah-buahan lain. Jadi mudah saja bagi Widya mengingat fakta itu setiap menyetok buah-buahan.

Aras melangkah ke bak cuci piring untuk mencuci apel. Setelah meletakkan apel di atas piring, ia mengambil pisau di laci kitchen set. Kebiasaan Aras yang lain lagi terhadap apel. Ia tidak membuang kulitnya. Apelnya harus dipotong-potong dulu, diberi percikan lemon, kemudian baru disantap sampai tandas.

Aktivitas membuang biji apel berada di bawah pengawasan Widya. Ya, Aras melakukannya di pantry, yang berada dekat dari tempatnya sedang makan. Widya jadi ingin tahu apakah kali ini Aras juga berbaik hati memberikan apelnya sebagai pencuci mulut.

Selesai menghidangkan apel di atas piring, Aras mencuci kembali pisau dan talenan sebelum ditiriskan. Tidak berapa lama, ia sudah berlalu dari pandangan Widya.

Ternyata ia terlalu banyak berharap.

***

"Halo."

Aras mengangkat panggilan dari Kalya setelah sekian kali panggilan tak terjawab tertera di layar.

"Ngapain minta maaf? Nggak bisa ketemu ya udah. Aku nggak butuh alasan."

Suara di seberang terdengar memelas, tapi Aras tidak peduli. Ia tidak suka mendengar alasan, meskipun setiap pembatalan janji memang harus menyertakan alasan untuk menghindari kesalahpahaman.

"Aku memang marah." Aras menghela napas. "Kamu capek? Oke. Kamu pikir aku nggak capek? Nggak berusaha perjuangin kamu?"

***

Widya berjingkat-jingkat memasuki ruang TV. Ia mendengar Aras sedang marah-marah entah pada siapa.

Iya, mungkin kesal. Tapi untuk seorang Aras, ia tidak bisa membedakan Aras sekadar kesal atau beneran marah. Yang Widya tahu, jika nada suaranya meninggi, berarti Aras sedang marah.

Tapi marah lewat telepon? Keterlaluan!

"Ya udah, kalau itu mau kamu."

Aras membuang iphonenya ke atas meja. Widya sampai bergidik melihatnya.

Itu iphone 7 plus yang termahal, gila! Laki-laki ini ngerti nggak sih sama yang namanya merawat barang pribadi?

Ah, sudahlah. Belinya juga pake uang dia sendiri. Suka-suka dia saja.

Aras menatapnya nanar.

"Lo nguping?"

Widya menggeleng kuat-kuat. "Nggak. Tadi itu nggak sengaja dengar."

Astaga! Ngomong apa dia barusan?

"Apa untungnya buat lo nguping? Selamanya urusan gue nggak bakal jadi urusan lo! Ngerti?!"

Widya meremas ujung blusnya.

"Siapa yang mau ikut campur? Jangan geer deh. Kalo nggak mau kedengaran, kenapa ngomongnya harus keras-keras kayak pake toa? Atau kenapa nggak ngomong di tempat lain?"

Aras masih menatapnya sebelum membuang muka dan berjalan tergesa-gesa menaiki tangga.

Pasti mau keluyuran lagi. Dasar labil!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro