6th

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Menunggu Elang datang menjemput, Widya memanfaatkan waktu dengan membuka website online shop miliknya. Beberapa produk terlaris yang sebagian besar berupa peralatan rumahtangga semakin berkurang stoknya. Ia harus segera menghubungi pihak produsen untuk melakukan restock barang. Hal itu akan dilakukannya nanti sepulang dari ulangtahun Rena.

Aras ternyata belum berangkat. Setahunya, waktu janjian Aras lebih duluan dibanding acara ulangtahun Rena. Tapi Widya enggan bertanya. Wajah Aras terlihat tidak bersahabat.

Dy, aku udah hampir sampai.

Widya membaca cepat chat Elang. Ia harus bersiap-siap.

"Aku berangkat dulu." Widya berpamitan kepada Aras. Aras hanya menoleh sebentar sebelum kembali menatap layar TV. "Nanti aku bawain tumpeng, aku nggak sempat masak buat makan malam."

Aras hanya menjawab dengan gumam, yang tidak dapat diterjemahkan Widya apa artinya. Widya mengambil sepatu flat merah sebagai padanan blus merahnya dan berjalan tergesa-gesa menuju pintu.

Chevrolet hitam Elang ternyata sudah terparkir di depan pagar. Widya memakai sepatu dan melambai kepada Elang.

***

"Pintu rumah kamu nggak dikunci?" tanya Elang. Rupanya ia sempat memerhatikan suasana rumahnya.

"Ada Aras kok," jawab Widya enteng.

"Oh." Dengan begitu, Elang berhenti bertanya. Topik tentang Aras adalah hal yang jarang bagi mereka untuk dibicarakan. Meski rasa ingin tahunya  tentang laki-laki itu sangat besar.

"Aras nggak suka pesta ulangtahun." Kalimat Elang itu lebih kepada sebuah pernyataan.

"Bukan. Dia memang cuma nggak mau dekat aja dengan keluargaku." Widya tersenyum. "Kenapa jadi bahas dia sih?"

"Nggak bahas. Cuma lagi ngira-ngira aja." Elang tersenyum kemudian mengambil sesuatu dari belakang.

"Kamu bawa kado juga? Aku kan udah bilang nggak usah."

"Spesial untuk Rena, kadonya dobel."

Widya tahu Elang juga menyukai anak-anak. Dan seringkali obrolan mereka bermuara pada rencana itu. Sementara Aras sepertinya malas membahas masalah itu.

"Kalau punya anak nanti, kamu pasti bakal lebih gila ngasih kadonya." Widya mengambil kotak kado tersebut. "Gede banget. Isinya Barbie, bukan?"

"Surprise. Kamu mau tau aja."

Widya mengerutkan kening. "Nggak bakal dibocorin juga kali."

"Janganlah. Nanti aja kamu tau kalo Rena udah buka kadonya." Elang mengelus kepala Widya penuh sayang. "Kamu bikin aku bayangin punya anak."

"Nggak usah dibayangin. Langsung bikin aja kenapa?" ledek Widya.

"Nunggu kamu dulu."

Widya tersenyum tipis. "Tergantung Aras sih kalo soal itu."

"Kenapa? Dia berubah pikiran jadi nggak mau cerain kamu?"

"Belum dapat kepastian." Widya menerawang. "Selama hubungannya dengan Kalya belum ada kepastian, selama itu juga...,"

"Dia bakal gantungin kamu?" Elang melengkapi kalimat Widya.

"Entahlah, Lang. Aku juga nggak tau Aras maunya gimana."

"Ya udah." Elang tidak lagi berminat memperpanjang topik tentang Aras.

Hal menyakitkan yang hingga saat ini selalu disesali adalah kenyataan bahwa ia tidak bisa melakukan apa-apa untuk mencegah pernikahan Widya dan Aras. Kenyataan bahwa restu untuk menikahi Widya hanya dimiliki Aras, sementara ia harus rela mundur dan menjalin hubungan di belakang dengan Widya.

Sama seperti hubungan Aras dan perempuan lain di belakang Widya.

Berada dalam circle semacam itu bukan tanpa resiko. Mereka bisa ketahuan dan siapapun bisa menjadi korban.

***

"Nanti aku jemput ya?"

Widya menumpuk kadonya dan kado dari Elang untuk Rena. Elang tidak ikut masuk sampai ke rumah dan mengatakan akan kembali menjemput.

"Nanti aku misscall." Widya menjawab sambil membuka pintu.

"Oke."

Elang melemparkan senyum sesaat sebelum Widya menutup pintu.

Widya bergegas melangkah menuju area taman yang menjadi lokasi pesta ulangtahun Rena. Suasana masih lengang saat ia masuk ke dalam rumah untuk menemui Asti. Asti sedang berada di dalam kamar, mengatur goodie bag yang akan diberikan untuk undangan.

"Maaf ya, Mbak. Aku telat datangnya."

Widya ikut duduk di atas karpet bulu, dan langsung turun tangan mengambil tas kertas bergambar Frozen.

"Nggak pa-pa. Kamu datang aja Mbak udah seneng banget." Asti memasukkan wafer cokelat ke dalam goodie bag. "Aras mana?"

Widya sudah tahu pertanyaan itu akan ditanyakan Asti. "Lagi nggak enak badan, Mbak. Tadinya dia maksa mau ikut tapi aku bilang nggak usah. Biar dia istirahat aja."

"Oo. Kecapean kerja, mungkin?"

"Iya, Mbak." Widya mengambil kantung kertas lain dengan kikuk. Ia sudah sering berbohong tapi kali ini ia merasa tidak nyaman sama sekali.

Mereka bersama-sama mengatur tas-tas kertas sambil mengobrol. Tidak berapa lama, seorang kerabat Asti masuk ke kamar. Memberitahu kalau sudah ada tamu yang datang.

"Wid, nanti tolong hitungin goodie bagnya ya? Kalau udah cukup 100 distop aja. Maksud Mbak dilebihin 20. Mbak keluar dulu. Kalau sudah, nanti kamu nyusul ya?"

"Oh, iya Mbak."

Setelah Asti keluar bersama kerabatnya tadi, Widya kembali melanjutkan pekerjaan. Karena jumlah goodie bag yang selesai dipacking sudah hampir mencapai 100 buah, pekerjaannya tidak terlalu lama diselesaikan. Ia merapikan susunan tas-tas kertas bergambar tersebut merapat di dinding sebelum keluar dari kamar.

***

Pukul 17.15 Widya tiba di rumah. Lampu depan sudah dinyalakan, pintu pagar juga tidak terkunci. Ia melangkah was-was masuk ke area halaman. Tadinya, Elang menawarkan diri untuk mengantar sampai ke teras, tapi ditolak Widya.

Widya memasukkan kunci ke lubangnya, memutar dua kali dan memastikan pintunya bisa terbuka. Lampu ruang tamu juga sudah menyala. Karena garasi tertutup rapat, ia tidak tahu apakah Aras memang sudah pulang atau masih berada di luar rumah.

Memasuki ruang tengah, barulah ia menemukan Aras tengah duduk. Laptop di atas meja masih dalam keadaan terbuka namun layarnya sudah hitam.

"Kamu belum makan malam kan?" tanya Widya sambil mengacungkan wadah Tupperware ungu yang memang sengaja dibawanya. "Aku bawa nasi kuning lengkap dengan lauknya."

"Nasi kuning buat makan malam?" Suara Aras terdengar sinis.

"Jarang-jarang kan makan nasi kuning ulangtahun? Biar panjang umur."

Aras bergeming saat Widya mengatakan hal itu. Sementara Widya melangkah menuju ruang makan, Aras memberitahukan sesuatu.

"Udah pesan pizza."

Pizza? Bukannya tadi ia sudah bilang akan membawakan makanan untuk Aras? Setahunya tadi Aras tidak komplain makan nasi kuning untuk makan malam.

"Pizzanya udah dateng?"

"Belum."

Widya menghela napas. Ia harus banyak-banyak menghela napas setiap berkomunikasi dengan Aras.

Dan nasi kuning itu. Ia akan memakannya sendiri untuk makan malam sampai habis tak bersisa sekalipun ia tahu porsinya cukup untuk tiga orang.

***

Pizza pesanannya sudah datang. Aras segera meraup sepotong dan lidahnya merasakan lelehan mozarella super tebal. Ia hanya butuh makanan seperti ini untuk makan malam.

Ia tahu, satu kotak besar pizza tidak dapat dihabiskannya sendiri, selapar apapun. Mungkin Widya berminat? Tapi ia tidak berniat menawari. Ia hanya perlu meletakkan kotak pizzanya di atas coffee table. Kalau Widya mau, ia bisa mengambilnya sendiri.

Aras berhenti makan karena tenggorokannya terasa seret. Ia harus mau jalan sampai ke depan kulkas sementara ia malas bukan main.

Widya tengah duduk dengan wadah Tupperware tergeletak di atas meja. Makan nasi kuning dilengkapi lauk ayam goreng. Diliriknya sekilas, sepertinya ada juga lauk udang goreng, serundeng dan perkedel kentang. Saat ia sedang makan pizza sambil nonton TV, ternyata Widya juga sedang makan malam sendiri di ruang makan.

Widya sempat mengangkat wajah untuk melihatnya, tapi tidak lama kemudian ia sudah kembali menyantap makanannya.

"Kamu cepat pulangnya."

Aras menuangkan air dingin ke dalam gelas. "Acaranya nggak jadi," jawabnya.

"Oh."

Widya bahkan tidak bertanya kenapa acaranya batal. Sama seperti ia yang tidak peduli apakah acara ulangtahun kemenakan Widya sore tadi meriah atau tidak.

Ya, mereka memang seabsurd itu.

"Mau coba nasi kuningnya? Enak lho. Buatan Bude Ratih."

Aras bahkan lupa siapa sosok yang dimaksud Widya barusan.

"Bude nitip nasi kuningnya buat dikasih ke kamu. Minta dicicipin katanya. Tapi kamu udah makan pizza kan ya?" Widya menyuapkan lagi nasi kuning ke mulutnya lalu sibuk mengunyah tanpa bicara lagi.

"Sudah terlanjur dipesan." Aras beralasan.

"Oh gitu ya?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro