17. Nggak Jadi Tampil

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cukup lama Ares menangis di pelukan Ara, perempuan itu sendiri bingung harus melakukan apa dan hanya mengusap punggung Ares dengan lembut agar perasaan pria itu sedikit membaik.

"Aku benci sama Mas Sean, tapi juga aku pengen Deli bahagia," ungkap Ares di sela tangisnya.

Ara tersenyum kecut mendengarnya. Hatinya terasa diiris saat mengetahui pria yang dia suka menangis karena teman dekatnya.

"Kalau memang kamu mau Deli bahagia, kamu harus ikhlasin dia," balas Ara dan sontak Ares melepaskan pelukan mereka.

"Tapi, aku masih sayang sama Deli."

"Tapi, Deli sudah sama Mas Sean," balas Ara dengan penuh penekanan. Dia ingin Ares sadar dengan keadaan sekarang.

Ares kembali terdiam dengan wajah tertunduk menatap jalan bebatuan di bawahnya. Dia perlu waktu untuk memikirkan ini semua sebelum mengambil tindakan lainnya.

Diamnya Ares tidak membuat Ara tenang, perempuan itu ingin sekali mengungkapkan perasannya. Namun, takut dengan tanggapan Ares yang tentunya masih memiliki rasa terhadap Deli.

Berbeda dengan Ares, Ara tengah mencoba untuk menenangkan perasannya. Dia sudah yakin dengan apa yang ingin dia sampaikan, walau nanti hasilnya tidak sesuai apa yang dia pikirkan.

"Res," panggil Ara dengan sedikit pelan. Namun, Ares tetap dapat mendengarnya dan menoleh ke arah perempuan itu. "Boleh nggak, aku bantu kamu buat lupain Deli."

Ucapan Ara membuat dahi Ares mengerut, dia tidak bisa mencerna ucapan perempuan itu dengan cepat sehingga langsung bertanya. "Maksud kamu?"

"Iya, aku mau bantu kamu buat lupain Deli. Soalnya, aku suka sama kamu."

Bukannya menjawab dengan kata-kata, Ares malah tertawa seakan ucapan Ara bercanda.

"Beneran, Res. Aku beneran suka sama kamu," ucap Ara lagi dan Ares kembali menatapnya.

"Sejak kapan?"

"Aku juga nggak tau, tapi semakin lama perasaan ini semakin nggak bisa aku tahan."

Nada suara Ara mengecil di akhir pembicaraan dan membuat senyum Ares luntur. Dia akhirnya yakin bahwa ucapan Ara sebelumnya adalah sebuah kejujuran.

"Tapi, aku masih punya perasaan sama Deli."

"Iya, nggak pa-pa kok. Asal kamu mau buka hati kamu dikit buat aku, aku bakal coba buat gantiin Deli di hati kamu."

Ares tidak menyangka jika Ara menyukainya bahkan perempuan itu sampai mengungkapkannya sendiri di depannya. Jujur, Ares sedikit malu karena seharusnya dia yang melakukan itu. Tetapi, dia sangat salut pada Ara karena keberaniannya itu.

"Makasih ya, Ra. Makasih sudah mau suka sama aku."

Seakan tidak memiliki rasa lelah, Deli menjaga Sean yang masih sakit sembari menyelesaikan laporan mingguannya.

Hanya tinggal satu minggu tersisa dan Deli tidak ingin membawa tugas ini sampai ke rumah. Pokoknya harus selesai saat masih berada di desa dadak.

"Istirahat dulu, Del," ucap Ara yang tiba-tiba datang membawa segelas teh hangat. "Nih, aku bawain minuman."

"Makasih, Ra."

Mata Deli masih terpaku pada beberapa lembar laporan yang harus dia tulis, Ara yang memperhatikan perempuan itu mengulas senyum tipisnya. "Kalo kamu paksain begini, malah kamu nanti yang gantian sakit."

Gerak jemari Deli berhenti setelah mendengar ucapan Ara. Pandangannya kemudian beralih, menatap sang teman yang terlihat begitu khawatir padanya. "Aku nggak pa-pa kok. Habis ini langsung istirahat."

"Janji ya? Aku cuman nggak mau kamu ikutan sakit."

"Iya, janji."

Deli kembali fokus pada pekerjaannya. Namun, sesaat kemudian dia memanggil Ara yang tengah berdiri dari duduknya sehingga membuat perempuan itu terdiam. "Iya, kenapa?"

"Kamu besok malam jadi tampil?" tanya Deli sembari menatap Ara kembali.

"Iya, jadi. Aku juga udah ngasih tau Bu Mira kalau kamu sama Mas Sean nggak jadi tampil."

Mendengar jawaban Ara, tanpa sadar Deli menghela napasnya. "Makasih, Ra. Maaf ngerepotin."

"Iya, nggak pa-pa kok, Del. Yang penting Mas Sean cepet sembuh."

"Amin."

Saat waktu nyaris menunjukkan pukul 12 malam, Deli diserang kantuk yang berlebih sehingga membuatnya beberapa kali menguap.

Teman-teman relawan lain sudah tertidur nyenyak dan hanya dia yang masih terbangun untuk mengerjakan laporan. Namun, sepertinya dia akan ikut tidur juga. Sumpah, ngantuk banget.

Dirasa sudah tak kuat untuk begadang, Deli memutuskan untuk istirahat dan menyimpan semua buku laporannya ke dalam tas.

Sesudah membaringkan tubuhnya, Deli memeriksa suhu tubuh Sean lagi untuk memastikan pacarnya itu tidak kembali demam. Alhamdulillah, suhunya udah normal.

Setelah yakin tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, Deli akhirnya tertidur dengan lelap.

Keesokan harinya, Deli menjadi orang terakhir yang bangun dan membuatnya sedikit terkejut karena tidak mendapati Sean berada di sisinya. "Mas, Mas Sean," panggil Deli dengan panik.

Tak lama kemudian, Sean datang dengan sebuah handuk di tangannya. Mata Deli membulat saat melihat pria tersebut. "Mas udah sembuh?" tanyanya.

"Sembuh sih kayanya belum, tapi udah mendingan kok."

"Alhamdulillah."

Walau masih sedikit lemas, Sean memutuskan untuk kembali beraktivitas seperti biasanya. Karena hari ini adalah hari libur dan hari acara besar di desa dadak, Sean memilih untuk pergi ke tempat acara yang berada di lapangan kosong tepat di sebelah balai desa.

"Loh, kok nak Sean datang ke sini? Bukannya lagi sakit ya?" tanya Seno setelah Sean datang menemuinya.

"Iya, Pak. Kemarin saya nggak enak badan. Tapi, sekarang sudah mendingan kok."

"Syukurlah." Setelah menjawab, kepala Seno bergeser untuk menatap sosok di balik tubuh tinggi Sean. "Nak Deli sendiri, apa kabar?"

"Baik kok, Pak."

Seno menganggukkan kepalanya pelan setelah mendengar jawaban Deli. Matanya kembali memperhatikan beberapa pekerjaan yang dilakukan warganya.

Panggung untuk acara nanti malam sudah selesai dan para warga tengah sibuk melakukan tahapan terakhir yaitu mendekor panggung.

"Oh iya, kalian nggak jadi tampil ya nanti malam?" tanya Seno tiba-tiba sebelum akhirnya kembali menatap Deli dan Sean.

Dengan senyum kaku, Deli pun menjawab, "iya, Pak. Maaf ya."

"Nggak pa-pa kok, kalian mau belajar tarian khas desa dadak saja sudah membuat saya bahagia."

Setelah selesai berbincang, Seno berpamitan pada Sean dan Deli karena ada sesuatu yang harus dia lakukan.

"Udah ya, Mas. Kita balik ke rumah yuk," ajak Deli dengan penuh kesabaran. Ini adalah kali kedua Deli membujuk Sean karena takut pria itu kembali kelelahan.

"Bentar lagi ya."

Sifat keras kepala Sean berhasil membuat Deli menghela napasnya. Mata perempuan itu kemudian menjelajah dan menemukan tempat kosong yang bisa mereka gunakan untuk duduk. "Ya sudah, kalau nggak mau pulang. Kita duduk ya. Kamu pasti capek berdiri."

Akhirnya, Sean mau melakukan apa yang Deli suruh dan mereka duduk bersama sembari kembali memperhatikan sekitar.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro