2. Pertemuan Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sejak memutuskan untuk tinggal sendiri, ini adalah kali pertama Sean berpergian ke luar kota sendirian.

Dulu ketika berangkat, semua kebutuhannya diurus oleh sang ibu atau pembantu yang bekerja di rumahnya. Namun kini, semuanya harus dia lakukan sendiri.

"Baju sudah, celana sudah, pakaian dalam juga sudah. Apalagi ya yang belum?"

Sean bertanya-tanya, apa yang belum dia masukkan ke dalam koper miliknya, dia takut kelupaan membawa sesuatu yang memang harus dibawa, apalagi tempat dia pergi bukanlah tempat modern yang membuatnya dapat dengan mudah membeli apa yang dia butuhkan.

"Oh iya, peralatan mandi."

Akhirnya, Sean mengingat apa yang perlu dia bawa.

Langkah panjang pria itu, membawanya ke dalam kamar mandi dan membawa semua barang yang ada di sana. Sabun, sampo, sikat gigi, pasta gigi hingga handuk.

Semua kini tertata rapi di dalam kopernya yang cukup besar, barang-barang penting kemudian dia taruh ke dalam ransel yang bisa dia bawa saat masuk ke dalam pesawat seperti Tab, laptop, ponsel dan juga kamera.

"Oke, semua sudah aman."

Besok, Sean harus pergi ke bandara sekitar pukul delapan pagi karena waktu penerbangannya pada pukul 10.

"Aku tidur aja deh sekarang, biar besok nggak telat bangunnya."

Sebelum benar-benar merebahkan badannya, Sean memasang alarm di ponselnya agar tidak telat bangun esok hari. Walaupun sebenarnya dia bisa bangun sendiri dan bahkan terbiasa bangun pagi.

Namun, dia tidak mau mengambil resiko apalagi besok dia harus bertemu dengan relawan lain di bandara dan pergi bersama mereka.

Keesokan harinya, Sean bangun sebelum alarm ponselnya berbunyi. Setelah menyibak gorden, mata Sean melihat rintikan air hujan membasahi kaca jendelanya. Membuat pria itu khawatir dengan jadwal penerbangannya nanti. Kalau cuacanya begini, bisa delay penerbangannya nanti.

Walau sedikit khawatir, Sean tetap melakukan aktivitasnya seperti apa yang dia rencanakan semalam. Mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke bandara.

Selagi mengikat tali sepatu, Sean melirik jam tangannya. Sudah pukul tujuh lewat 20 menit dan waktu yang dibutuhkan pria itu untuk sampai di bandara adalah 15 menit.

"Halo, sudah di depan ya? Sebentar ya, Pak," ucap Sean setelah mengangkat panggilan dari seorang supir taksi online yang dia pesan.

Sembari berjalan cepat, Sean membaca beberapa pesan yang ada di grup relawan. Grup tersebut berisikan orang-orang yang akan pergi ke desa dadak sama sepertinya.

Relawan Desa Dadak

Saya otw pergi ke bandara

Itulah pesan yang Sean kirim sebagai pemberitahuan mengenai keberadaannya. Beberapa relawan lain ternyata sudah berada di bandara karena juga berasal dari luar kota dan bandara tempat tujuan Sean adalah titik temu untuk mereka semua.

"Jalan, Pak," ucap Sean setelah masuk ke dalam mobil taksi online yang dia pesan.

Tanpa menunggu waktu lama, mobil itu melaju dengan kecepatan standar. Untungnya tidak ada kemacetan yang berarti sehingga Sean datang tepat waktu bahkan sebelum waktu yang sudah dijanjikan.

"Itu dia Mas Sean, beliau adalah perwakilan dari Perusahaan Ando yang menjadi donatur dalam kegiatan ini," ucap Rio sebagai tour guide untuk pergi ke Desa Dadak.

Semua mata kemudian tertuju Sean yang semakin mendekat ke arah mereka berdiri. Anggota mereka sudah hampir lengkap, hanya beberapa orang yang tersisa untuk ditunggu kedatangannya.

"Maaf saya telat," ucap Sean setelah berhasil sampai di dekat rombongan relawan yang ada.

"Anda tidak telat kok, Mas. Kita saja yang kecepetan," balas Rio dengan nada bercanda.

Setelah membalas ucapan Rio dengan senyum tipisnya, Sean kemudian beralih menyapa relawan lain sembari memperkenalkan dirinya secara langsung. "Nama saya Sean Ravindra."

Beberapa orang yang kebanyakan perempuan terlihat mendekat ke arah Sean dan memperkenalkan diri mereka masing-masing.

"Hai, Mas Sean. Kenalin, aku Dwi."

"Kalau aku Heni."

"Aku, aku, nama aku Oci."

Sean yang mendapat perhatian lebih terlihat sedikit tidak nyaman dengan perempuan yang berada di dekatnya, pria itu tersenyum kaku setelah mengetahui nama-nama perempuan itu. "Iya, salam kenal ya."

Karena tidak ingin semakin diganggu oleh perempuan-perempuan tersebut, Sean memilih untuk pergi dan mendatangi Rio yang tengah sibuk menelepon. "Masih lama ya nunggunya?"

Rio menoleh dan mendapati Sean tengah berbicara dengannya. "Iya nih, Mas. Kita tunggu sebentar lagi ya. Ada satu orang yang belum sampai."

"Oke."

Setelah 10 menit berlalu, seorang perempuan terlihat tengah berlari mendekat ke arah Sean dan teman-teman relawannya. Perempuan itu terlihat begitu kelelahan bahkan saat sampai di depan Sean, dia terduduk di lantai tanpa peduli dengan tatapan sekitar.

"Maaf ya, Mas. Maaf saya telat, saya tadi nyasar," ucap perempuan itu sembari menggesekkan kedua tangannya dengan gaya memohon.

Rio menghela napasnya setelah melihat tindakan perempuan yang tengah berlutut di hadapannya. Sebelum pria berumur 30 tahunan itu membuka suara. Ada suara lain yang terdengar dari belakangnya.

"Bisa-bisanya telat, kaya nggak pernah naik pesawat aja."

Nada suara yang menghakimi itu berhasil membuat perempuan yang tengah berlutut terdiam dan menundukkan kepalanya. "Iya, ini kali pertama saya naik pesawat."

Jawaban perempuan itu berhasil membuat keheningan di sekitarnya. Namun, tak berlama lama wajah perempuan itu kembali terangkat. Dengan senyum tipisnya perempuan itu kembali memohon, "maafin saya ya, Mas."

"Iya, nggak pa-pa. Sekarang, kamu bangun ya."

Rio membantu perempuan tersebut untuk bangun dan setelahnya mereka kembali berkumpul. Satu persatu nama kemudian dipanggil dan yang memiliki nama tersebut mengangkat tangannya.

Sampailah pada perempuan yang berlutut tadi dan dengan semangat perempuan itu mengangkat tangannya. "Delicia Elina."

"Saya, Mas."

Semua mata tertuju pada Deli, panggilan Delicia. Tidak ada raut wajah sedih seperti sebelumnya, dia sangat bersemangat bahkan juga mengenalkan dirinya pada yang lain termasuk Sean.

"Hai, Mas. Namanya siapa?" tanya Deli sembari berjalan di sisi Sean.

Kini, mereka harus segera masuk ke tempat check in agar tidak ketinggalan pesawat.

"Saya Sean," jawab Sean singkat. Sebenarnya dia tidak mau menjawab pertanyaan Deli. Namun, mengingat bahwa perempuan itu datang terlambat. Perkenalan yang Rio lakukan sebelumnya tentang dirinya tentu tidak Deli dengar.

"Oh, Mas Sean toh. Salam kenal ya."

Deli menyodorkan tangannya untuk mengajak Sean bersalaman. Karena bingung, Sean hanya memperhatikan tangan kecil milik Deli yang terlihat begitu mengemaskan di hadapannya.

"Nggak mau salaman ya. Ya udah deh."

Deli kembali menarik tangannya menjauh dari Sean. Namun, tiba-tiba pria itu menarik tangan Deli dan mengajak perempuan itu bersalaman. "Salam kenal juga."

Cukup lama mereka bersalaman, tangan besar milik Sean berhasil memakan tangan mungil milik Deli. Memang, tinggi badan mereka cukup jauh. Namun, baru kali ini Sean melihat tangan sekecil itu padahal Deli bukanlah anak kecil.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro