Celoteh Orang Lain

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nizar mengangguk mantap. Ia tidak peduli dengan larangan Luuvina untuk tidak membicarakan masa lalunya.

"Ndel, kalau kamu beneran sudah bisa move on, nggak akan masalah jika aku bahas hal ini seribu kali pun. Jujur, kamu masih trauma menjalin hubungan dengan laki-laki, 'kan?"

Luvina menundukkan wajahnya. Nizar memang sahabat yang pengertian. Perempuan dengan dagu yang lancip itu mengangguk pelan. Kegagalan hubungan yang terjalin selama tiga tahun dengan Redi masih menumbuhkan luka.

Awalnya Luvina berpikir bahwa dia akan berjodoh dengan laki-laki yang berprofesi sebagai pegawai bank tersebut. Namun, semuanya berubah saat sang ayah mendapat kecelakaan lalu lintas dan meninggal beberapa saat kemudian. Luvina memutuskan untuk membiayai pendidikan Daniya dan Adisti hingga menjadi sarjana. Kebetulan Fanisa sudah bekerja. Keputusan mulia itu berbanding terbalik dengan kelanjutan hubungannya dengan Redi. Laki-laki itu memilih mundur. Ia meninggalkan Luvina dengan keputusan sepihak. Memang, tidak ada jaminan untuk yang sudah menjalin hubungan lama, akan berakhir indah di pelaminan.

"Nggak semua laki-laki itu kayak Redi, Ndel. Pasti akan datang seseorang yang bisa menerima kondisimu. Dan, aku yakin pria itu adalah sosok yang bertanggung jawab."

Luvina tersenyum masam. "Kelihatannya mudah, Zar. Tapi, masing-masing orang tidak sama.  Udahlah jangan mikirin itu lagi. Aku lagi pusing, nih. Disuruh mudik dua bulan lagi."

Nizar manggut-manggut. Ia kembali menyesap olahan Espresso yang bercampur dengan krim vanila tersebut.

"Nggak mau pulang kampung lagi? Emang ada acara apa?"

Luvina menganggukkan kepala dengan malas. "Sepupu nikah. Tau sendiri, kan. Omongan tetangga dan keluarga besar lebih pedas dari bon cabe level 50."

Nizar menatap Luvina hingga kedua matanya menyipit. Laki-laki itu lalu memperbaiki duduknya dengan mendekatkan dada pada sisi meja. Kepala dicondongkan ke arah Luvina agar perempuan itu fokus mendengarkan nasihat yang ingin diucapkannya.

"Endel, dengerin temenmu yang paling ganteng ini ngomong. Kamu udah ngelewatin beberapa acara keluarga. Nggak hanya pernikahan seingatku. Pindahan rumah adikmu pun kamu nggak mau datang. Eh, bukan nggak mau, tapi nggak berani."

"Ish, mulai keluar cerewetnya bocah ini."

Nizar tidak memedulikan wajah manyun sahabatnya itu. Baginya, Luvina perlu diberi nasihat saat ini. Itulah pentingnya seorang sahabat. Mengingatkan saat harus ada yang perlu diperbaiki.

"Jadi, Ndel. Semakin kamu sering menghindari acara keluarga. Dari situ, mereka yang biasanya nyinyir tentang statusmu yang belum menikah, akan mulai mengasihanimu. Bukannya malah berhenti membicarakanmu. Kemungkinan malah menjadi-jadi. Kamu mau kayak gitu? Aku yakin enggak."

Luvina mengerjap cepat. Kali ini ucapan Nizar begitu bijak meskipun terkesan cerewet.

"Omonganku benar, kan?" Nizar merapikan kerah kemeja. "Ehem, maklum tadi makan makanan mewah di restoran."

Gelak tawa keluar dari bibir Luvina. Ia lalu memukul pelan kepala Nizar dengan tas selempang kecil miliknya.

"Temani aku pulang, Zar. Dua bulan lagi kamu belum nikah, kan? Aku nggak mau nginep. Langsung aja balik ke Malang."

Nizar mengacungkan kedua ibu jari. "Siap! Endelia Kemayu Ningsih."

***

Satu bulan kemudian.

Suasana di Laboratorium Biologi sedang lengang. Mahasiswa belum mulai masuk kuliah. Tidak ada kegiatan praktikum. Hanya sedikit yang datang untuk mengerjakan skripsi, termasuk bimbingan dengan Ganesa.

"Luv, udah kamu tempel revisi jadwal bimbingan Pak Ganesa?" tanya Vindi yang merasa heran karena tidak ada satu pun mahasiswa yang antre di depan ruang kerja Ganesa. Biasanya, kursi panjang tersebut tidak muat menampung mahasiwa yang datang.

"Udah, kemarin sebelum pulang aku pasang di mading."

"Kok, aneh, ya? Tumben sepi. Apa mereka nggak mau lulus cepat? Pak Ganesa pas lagi murah hati ngasih bonus bimbingan minggu ini."

Luvina mengangguk, setuju dengan pendapat Vindi. Di jurusan Biologi, Ganesa terkenal sebagai pembimbing skripsi yang cukup disiplin. Ia tidak akan menerima bimbingan di luar jadwal yang sudah ditentukan. Wajar saja, karena Ganesa juga sedang sibuk memublikasikan karya ilmiah pada jurnal internasional  bereputasi untuk bisa mendapatkan gelar guru besar.

"Vin, aku mau ke foto kopi, kamu nitip nggak?"

"Nitip, tunggu bentar." Vindi bergegas mencari berkas yang akan digandakan. Perempuan dengan kerudung lebar itu lalu menyerahkan beberapa lembar kertas pada Luvina.

Luvina keluar dari kantor. Cuaca saat ini sangat cerah. Matahari sedang berbagi panasnya. Luvina berulang kali menyeka keringat di kening saat menunggu antrian foto kopi yang ada di samping laboratorium. Ia sampai menelan ludah saat melihat orang-orang di sekitarnya tengah meneguk air. Luvina tidak mungkin meninggalkan antrean untuk mengambil minum.

Satu gelas jus mangga berukuran jumbo tiba-tiba muncul di hadapan Luvina. Asisten dosen itu menoleh ke samping. Ia lalu mengembuskan napas kesal.

"Lagi panas banget, Bu. Minum jus mangga pasti segar." Pratama terus menyodorkan minuman berwarna orange itu ke Luvina.

"Jangan terlalu baik. Saya ini nggak bisa disogok sama apapun." Raut wajah Luvina terlihat jelas jika sedang tidak ramah.

Pratama terbahak. Ia tetap saja memaksa Luvina menerima pemberiannya.

"Kamu mau saya marahin di sini?" bisik Luvina dengan mata melirik ke arah kanan dan kiri.

"Saya nggak takut lagi lihat Bu Luvi marah," ucap Pratama cengengesan. Hal itu semakin membuat Luvina jengkel.

"Pratama!" pekik Luvina tertahan dengan mata mendelik.

Tanpa berucap, Pratama segera berlari menjauh. Luvina terkikik melihat tingkah mahasiswa Ganesa tersebut. Namun, Pratama berbaik lagi ke arahnya.

"Ini, Bu. Sayang kalau mubazir." Pratama kembali menyerahkan minuman yang ia bawa  kepada Luvina. Ia lalu berlari dengan cepat.

Luvina mengerjap mendapati jus mangga di tangannnya. Perempuan itu berdecak lirih seraya menggelengkan kepala. Matanya beralih ke pemuda berkemeja motif kotak-kotak yang terus berlari menuju pintu gerbang belakang kampus.

Sebenarnya, tidak ada niatan dari Luvina untuk kejam terhadap Pratama. Pemuda itu memang sopan dan dermawan. Namun, ucapan Vindi tentang Pratama yang seperti ada perasaan khusus padanya membuat Luvina harus  menjaga jarak. Ia tidak ingin memberi harapan lebih.

Luvina kembali ke kantor setelah tugasnya selesai. Saat baru masuk, ia langsung mendapat kejutan.

"Pak Ganesa murka. Kamu dicari, Luv." Vindi berbicara sambil berbisik. Sementara dua karyawan laki-laki yang ada di belakang meja Vindi terkekeh.

Luvina menyerahkan berkas pada Vindi. Ia lalu berlari ke luar ruangan. Vindi yang melihat tingkah Luvina menjadi heran. Bukannya masuk ke ruangan Ganesa, tetapi malah menuju mading.

Tidak lama kemudian, Luvina kembali. Wajahnya berubah panik.

"Gawat, aku salah nulis tanggal sama hari." Luvina berjalan cepat menuju ruangan Ganesa.

Vindi pun membeliak. Ia prihatin temannya tengah mengalami situasi yang tidak baik.

Di dalam ruangan Ganesa, Luvina mengucap permohonan maaf berulang kali. Tangannya masih gemetar.

"Saya nggak mau tahu. Kalau sampai satu jam lagi tidak ada mahasiswa yang datang, maka konsekuensinya minggu depan saya tidak akan mengadakan bimbingan."

"Baik, Pak. Saya akan hubungi mahasiswa Bapak." Luvina segera undur diri. Ia tidak sadar dengan ucapannya. Bagaimana bisa mendatangkan mahasiswa satu jam lagi jika tidak ada satu pun nomor telepon yang ia tahu?

Ganesa tertawa kecil melihat kepanikan Luvina. "Ya benar, Ganesa memang kejam."

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro