Dilema

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Luvina menoleh ke arah Shanum. "Permintaan apa itu, Num?"

"Menikahlah tapi jangan pernah berpikir untuk bercerai. Kasihan anaknya, akan sangat terluka.  Melihat Papa dan Mama berpisah, membuatku takut untuk menikah, Eonni."

Nada bicara Shanum mulai terdengar parau. Ia lalu menundukkan pandangannya. Shanum lega akhirnya bisa mengeluarkan unek-unek yang terpendam dan menyesakkan dadanya.
Luvina segera merengkuh gadis mungil tersebut. Ia mengusap punggung Shanum dengan lembut. Luvina tidak sanggup berucap. Ia paham sekali perasaan yang menghinggapi batin remaja itu.

Shanum berusaha tegar. Ia merenggangkan pelukan Luvina. Gadis itu memberikan tatapan tulus.

"Janji ya, Eonni." Shanum mengarahkan jari kelingking tangan sebelah kanannnya ke hadapan Luvina untuk melakukan pinky promise.

Luvina menerima simbol perjanjian itu. "Insya Allah, Num. Aku janji."

Shanum kembali tersenyum. Ia bersyukur menggenal Luvina. Perempuan itu begitu menyenangkan untuk menjadi tempat curhat. Shanum beruntung tidak sampai depresi dalam menghadapi perceraian kedua orang tuanya.

"Oh, iya. Ngaku, deh. Eonni itu Song Hwa, ya?" tanya Shanum menyebut nama salah satu karakter dokter perempuan di drama Hospital Playlist.

"Emang aku ada mirip sama Song Hwa?" tanya Luvina dengan percaya diri sambil menyentuh kedua pipi.

"Bukan fisiknya, Eonni." Shanum seolah mengajak Luvina main tebak-tebakan dengan pertanyaannya.

Luvina berpikir sejenak. Ia lalu menjentikkan jarinya. Karakter perempuan itu sedikit banyak memberi pengaruh pada statusnya yang masih single. Song Hwa malah diceritakan hampir kepala empat tetapi belum menikah.

"Sama karena belum nikah?"

"Ish, salah. Eonni nggak peka emang. Itu tadi ahjussi Jo Jung Suk. Kalian sahabatan, 'kan?"

Luvina mengangguk. "Sahabat dari sebelas tahun yang lalu."

"Daebak." Shanum bertepuk tangan. "Ada something special di antara kalian seperti Ik Jun dan Song Hwa, kan?"

"Enggak ada, dong. Murni sahabat. Mentang-mentang penglihatanmu liat dia mirip Jo Jung Suk jadi mikirnya ke arah sana." Luvina mulai sadar jika Shanum tengah menginterogasinya. "Kok, kamu jadi kepo, ya?"

Shanum terkikik pelan. "Ganteng si ahjussi itu. Kenapa Eonni nggak nikah sama dia aja?"

"Nggaklah, Num. Lagian dia udah punya pacar." Penjelasan Luvina akhirnya membuat rasa ingin tahu Shanum berakhir. "Eh, kamu jadi kuliah di mana, Num?"

"Yah, Eonni ini nggak perhatian sama aku. Kan, aku udah posting di Instagram pakai jas almamter Universitas Surya Gemilang."

Luvina menepuk kening seraya tersenyum memperlihatakan deretan gigi yang rapi. "Aku lupa, Num. Bakal sering ketemu dong, kita."

"Tentu, siap ketemu Oppa Kim Bum lagi." Shanum menutup wajahnya yang sedang tersipu.

***

Acara pesta Shanum sudah berakhir menjelang maghrib. Luvina dan Nizar pun undur diri. Mereka akan melanjutkan acara menuju Kopipiko--coffee shop--langganan mereka berdua setelah mampir untuk salat berjamaah di masjid. Luvina sudah berjanji akan mendengarkan keluh kesah sahabat yang dikenalnya sejak KKN dulu itu.

"Pesen apa, Zar?" Luvina berdiri di depan meja pemesanan. Ia mendongak ke atas untuk membaca menu yang akan dipilih. "Iced Dolce Latte satu."

Nizar masih memilih. Kedua alisnya ikut bertaut. Kedua tangan pun saling menyilang di depan dada. Sorot matanya seolah sedang dihadapkan pada keputusan sulit.

Luvina mendesah pelan melihat tingkah sahabatnya. Nizar memang kerap bertingkah konyol sekalipun itu di tempat umum.

"Emmm, aku Hot Caramel Macchiato dingin aja."

Pegawai Kopipiko menyunggingkan senyuman. Ia lalu mencatat pesanan mereka.

"Satu iced Dolce Latte, satu Hot Caramel Macchiato dingin."

Namun, jemarinya terhenti saat mengetik pesanan Nizar. "Maaf, Kak. Hot atau iced  pesanannya untuk Caramel Macchiato?"

"Kebiasaan," ucap Luvina seraya memukul lengan Nizar. Ia lalu beralih ke pelayan. "Yang iced aja."

Setelan pemesanan dan pembayaran selesai, Luvina dan Nizar menuju meja dekat pintu keluar.

"Ndel, bantu cari ide buat lamaran yang nggak bisa dilupakan, please." Nizar langsung menodong Luvina begitu sahabatnya itu menaruh tas di atas meja.

"Salah orang kali, Zar. Aku belum pernah dilamar, mana tau tentang unforgetable propose."

Nizar berdecak kesal. Ia butuh masukan dari sahabatnya untuk rencana lamaran pada Tiara, kekasih yang sudah dipacari sejak delapan tahun yang lalu walaupun diwarnai drama putus sambung berulang kali.

"Kamu yakin ngelamar Tiara? Panaik dia udah ngumpul semua?"

"Gampang masalah panaik. Dia lagi ngelobi orang tuanya biar turun banyak."

Luvina melirik Nizar dengan mata menyipit. Ia tidak yakin masalah panaik akan terselesaikan. Apalagi Tiara bergelar Magister. Tentu akan membuat nominal semakin besar.

"Udah beneran yakin? Entar putus lagi." Luvina masih tidak percaya jika mereka akan menikah. Drama dalam pacaran mereka sudah sering disaksikannya.

"Yakin, Ndel. Kami mantap mau nikah. Bantuin, ya. Kumohon, sahabatku yang paling baik."

Luvina mengangguk sambil tersenyum. Ada rasa optimis yang bisa dilihatnya dari sosok Nizar yang mudah sekali berubah pikiran.

"Habis ini kamu nikah. Aku bakal sendirian di Kota Malang. Udah nggak bisa lagi ngerepotin kamu."

Nizar yang sedang mengaduk minuman, seketika menghentikan aktivitasnya. Ia juga menyadari akan hal yang disebutkan Luvina tersebut. Semua akan berbeda jika sudah menikah nanti. Termasuk kebiasaan-kebiasaan bersama teman terdekatnya itu.

"Aku nggak bakal ninggalin kamu, Ndel. Kita berjuang dari nol di kota rantau ini. Apa bisa dengan mudah aku tinggalin hanya karena udah nikah?"

Luvina tertawa pelan. Ia kembali mengingat masa-masa menyenangkan yang lebih pada memalukan bersama Nizar. Saat sama-sama baru lulus kuliah dan baru mendapat pekerjaan. Dengan gaji yang minimalis, mereka harus berhemat untuk hidup di Kota Malang. Terutama Luvina yang harus membagi penghasilannya untuk biaya sekolah kedua adiknya.

"Beli soto satu porsi dibungkus. Begitu sampai kos, di tambahi banyak air sama garam. Habis itu kita bagi dua, Zar."

Luvina tertawa mengingat masa sulit yang dilewati bersama Nizar. Saat itu ia memang sedang menjalin hubungan dengan mantan pacarnya yang juga merupakan teman Nizar. Namun, untuk hal memalukan, ia lebih nyaman melakukannya dengan sang sahabat.
Sorot mata Nizar lekat menatap Luvina yang sedang semringah. Ia menyayangi perempuan itu tulus. Sebelas tahun adalah waktu paling lama di mana ia bisa menjalin persahabatan dengan lawan jenis.

"Ndel, nikah sana. Kamu ini jangan jadi pemilih."

"Apa, sih, Zar? Kayak kamu nggak paham aja."

"Ndel, adikmu yang sekolah tinggal dua. Satu udah tingkat akhir, bentar lagi lulus. Yang satunya mau masuk kuliah, tapi dia berprestasi, sering dapat beasiswa. Terus, kamu mikirin apalagi?"

Luvina mendesah pelan. Apa yang diungkapkan Nizar memang tidak sepenuhnya salah. Namun, Luvina mempunyai impian istimewa. Ia ingin mengerahkan seluruh pikiran dan hatinya untuk menyekolahkan adik-adiknya hingga jadi sarjana. Ia tidak bisa membagi perhatian itu dengan kehidupan pernikahan yang konon akan menyita seluruh pikiran untuk keluarga barunya. Luvina tidak ingin apa yang sudah dijalankannya sia-sia saat ia memutuskan menikah saat ini.

"Insya Allah lima tahun lagi aku ingin nikah, Zar. Ingat, ingin saja bukan akan. Emangnya mudah apa menemukan laki-laki yang mau sama aku?"

"Kamu itu menarik, Ndel. Kamu benar-benar menjaga penampilan. Lihat aja itu bibir, warnanya gonta-ganti tiap hari."

"Terima kasih. Itu tadi pujian apa hinaan?"

Nizar terkekeh pelan. "Kamu itu cantik, Ndel. Tapi tetap yang paling cantik, ya, Tiara-ku."

"Dasar bucin overdosis." Luvina geleng-geleng.

"Kamu bukan masih trauma sama hubunganmu yang terakhir, kan?"

Luvina terkesiap. Nizar akhirnya membahas hal tersebut setelah sekian lama dilarangnya untuk tidak bertanya tentang berakhirnya hubungannya dengan Redi.

"Berani kamu nanyain hal itu?" tanya Luvina dengan tatapan mata tidak suka.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro