Bab 30 Penggemar Berat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Menurut kabar yang beredar, Rio memiliki kekasih yang cantik di daerah Bandung. Perempuan itu berprestasi di kampusnya, bahkan mengikuti pertukaran mahasiswa ke Amerika selama tiga bulan. Tapi, setiap Refami ke kos Rio untuk mengerjakan tugas kelompok, di sana tak ada apa-apa. Maksudnya, berbeda dengan kamar kos teman laki-lakinya yang lain. Foto berdua dengan kekasih atau apa pun, sengaja dipamerkan. Ini tidak.

"Masa, sih?" ucap Refami tidak percaya pada fakta yang dibeberkan oleh Niar. Alis perempuan itu bahkan sampai naik sebelah saking tidak percayanya.

"Aku beberapa kali lihat foto pacar Rio di dalam kamar kos dia, kok." Niar bersikukuh.

Sudah sekitar empat bahkan lima kali Refami ke kamar kos Rio entah untuk menyerahkan laporan pada asisten praktikum, mengerjakan tugas, atau meminjam apa pun. Tetapi tak ada yang aneh. Ada yang aneh, bukan tampilan tata ruang kamarnya, melainkan penampilan dia pribadi yang selalu memakai jeans dan kemeja. Padahal teman-teman lain sudah betah dengan kaos dan kolor jika tengah kerja kelompok.

Suatu hari, kala udara sangat panas, telepon Refami bergetar berkali-kali dari Rio.

"Ya udah, aku ke sana sekarang." Refami terburu-buru untuk pergi saaf mengangkat telepon dari Rio. Laki-laki itu tengah mengantuk tapi memaksakan diri membawa motor. Pada akhirnya menabrak mobil yang sedang parkir. Akibatnya, motor yang dia tumpangi sekarang hancur. Mengenaskan.

Saat Refami ke sana bersama Niar, Rio tengah duduk di teras masjid bersama orang-orang tak dikenal. Tubuhnya baik-baik saja hanya lecet dan memar, tapi motornya rusak parah, tak bisa dipakai lagi.

"Orang tua kamu gimana?" tanya Refami sambil duduk memerhatikan Rio dari atas ke bawah. 

"Lagi di jalan mau ke sini," jawabnya sambil sedikit mengaduh.

Refami memberitahu teman satu angkatannya. Mereka datang berbondong-bondong. Masjid kini dipenuhi oleh sejenis Refami. 

Malam telah datang, orang tua Rio dari Bandung sudah datang membawa mobil innova putih keluaran tahun 2009 dengan pick up untuk mengangkut motor Rio.

Dua minggu berlalu, saat itu hari ulang Refami yang ke sembilan belas. Jam masih menunjukkan pukul setengah enam pagi. Terdengar beberapa kali pintu kos diketuk seseorang. Refami juga tidak menyadari ponselnya terus berdering.

Pintu kamar Refami diketuk kasar tapi pelan. "Mi, buka," pinta seseorang di luar. Dari suaranya itu adalah Niar.

Dengan rasa malas, Refami yang sedang asyik memakai headset terpaksa berjalan ke arah pintu. Dia tengah bermain game sambil mendengarkan musik dari laptop sebelum kuliah dimulai.

Refami mengangkat dua alisnya pada Niar. Bertanya tanpa suara.

"Ada Rio di luar," ucapnya berbisik-bisik. Kosan ini sangat hening. Para penghuninya masih berenang di alam mimpi. Jadi, mau tak mau Niar berbisik seperti sedang menggunjing orang.

Refami terperangah sesaat, "Mau ngapain?" 

Niar mengangkat bahu, kemudian pergi berlalu meninggalkan Refami sendirian.

Refami kebingungan, dia berjalan naik ke atas ranjang mengintip jendela. Rio tengah berdiri dengan wajah cemas. Perempuan ini merasa iba, dia beranjak memakai kardigan dan kerudung dengan cepat. Menghampiri Rio yang sejak tadi mematung.

Saat Refami berada di hadapannya, buncah senyum Rio terpancar. "Ikut aku sebentar, yuk?" ajaknya.

Rio sudah kelihatan baik-baik saja. Hanya saja ada yang berbeda. Motor yang dia kenakan bukan lagi motor bebek supra fit tahun 2005, namun R15 merah tahun 2011 terbaru.

"Mau ke mana? Sebentar, aku ambil kunci motor," jawab Refami seraya berbalik badan.

Sejak Refami dua bulan mulai kuliah di tahun 2011, akhirnya dia membawa motor dari Ciamis seorang diri. Perintah Pak Abdullah. Motor yang dibawanya motor sport CB 150 R berwarna putih-biru.

"Eh, maksud aku, kamu dibonceng aja." Rio mengajukan permintaan.

Wajah Refami memberi ekspresi tidak paham.

Rio berjalan mendekat, matanya memberikan sorot lembut pada perempuan di depannya. "Mi, ini hari ulang tahun kamu. Aku punya permintaan sederhana. Tolong kabulin, ya?" ucapnya begitu halus.

Refami mematung, meresapi kata-kata Rio. "Apa?" tanyanya bingung.

"Kamu ikut aku di motor itu." Rio menunjuk motor berwarna merah miliknya, "Terus aku tunjukin sesuatu ke kamu," ucapnya lagi.

Refami yang sudah mengalungi kunci motor miliknya merasa aneh. Kenapa harus?

"Ta-tapi kenapa?" Wajah Refami masih kebingungan.

Rio menarik napas panjang. Dua minggu lalu di Bandung dia dibelikan motor baru oleh orang tuanya karena motor lama bekas kecelakaan itu rusak berat, tak bisa dipakai kembali. Di sana Rio beberapa kali sempat bertemu dengan kekasihnya yang sedang kuliah. Pertemuan itu terjadi di tempat makan atau jajanan pinggir jalan sekadar melepas rindu. 

Karena Rio tak ingin membonceng kekasihnya--ingin Refami menjadi penumpang pertama, di setiap pertemuan mereka ada saja yang dia bawa di jok belakang. Kardus yang sangat besar misalnya. Lantas perempuan malang itu datang menemui Rio dengan ojek atau angkutan kota.

Refami mendengarkan dengan hati-hati. "Tapi kenapa?" tanyanya penasaran.

"Karena aku pengen kamu yang jadi penumpang pertama aku di motor ini," serunya tanpa beban.

Refami bingung menghadapi buaya jenis ini. Laki-laki yang ingin menggaet hatinya dengan melukai hati kekasih yang sudah menemaninya sejak zaman purba. 

Nafas Refami keluar dengan kasar. "Yuk, aku ikut," ucapnya menghargai Rio.

Namun, Refami tetap memakai motornya sendiri. Malas menjadi gosip atau kenang-kenangan buaya sepertinya.

Perjalanan mereka tak begitu jauh, hanya keluar dari gerbang kosan, kemudian berbelok ke kanan mengikuti jalan dan berbelok ke kiri ke arah lapangan bola dekat dengan sekolahan SD. Saat Refami memarkirkan motor, seseorang berbadan kingkong mendekat.

"Untung cepet dateng, lo. Gue capek ngusirin anak SD sama ayam di sini," ucapnya menahan tawa.

Ini akan jadi bahan gosip satu angkatan, tebak batin Refami. Malas.

Refami mengikuti langkah Rio. Dia turun ke area lapangan sepak bola. Di sana banyak balon berwarna ungu yang sudah diisi gas helium. Jumlahnya ada sembilan belas. Kemudian ada tikar berukuran satu meter kali dua meter dengan camilan serba ungu di atasnya. Warna kesukaan Refami.

"Ayo, duduk," pinta Rio.

Bungkus camilan dan karpet itu sudah basah oleh titik-titik embun. 

"Dia lho ini nyiapin dari jam tiga pagi, Mi." Laki-laki jelmaan kingkong ini memberi kisi-kisi. Dia memang menyewa kos dipinggir lapangan ini. Tak aneh jiga alurnya Rio meminta tolong pada laki-laki ini.

Refami masih terdiam melihat pemandangan sekitar. Lapangan bola yang sangat luas, sekolah SD diujung sana dan ayam-ayam yang berkeliaran bebas. Sebesar apa perasaan Rio? Sampai rela membuat semua kekonyolan seperti ini. Sebetulnya Refami enggan menghadiri acara seperti ini. Tapi Niar terus membujuk.

"Mi," panggil Rio.

Refami menoleh.

"Kamu bisa tulis sembilan belas permintaan kamu di atas kertas ini." Rio menyodorkan selembar kertas dengan pulpen hitam. 

Refami melirik ke arah laki-laki kingkong tadi. Dia mengisyaratkan untuk melakukannya atas dasar menghargai. Siapa yang tak tahu kalau Rio memiliki kekasih, bukan? Dia bisa kena cap pelakor.

Dalam waktu sepuluh menit, Refami menuliskan sembilan belas keinginannya.  Salah satunya adalah menikah dengan Jung Il Woo, mati syahid, punya pintu ke man saja dan hilang ingatan saat usianya tiga puluh tahun.

"Ini." Refami memberikan kertas putih pada Rio. Laki-laki itu menerimanya dengan senyuman hangat. Kemudian memasukkan kertas itu ke dalam amplop cokelat tempat biasa orang menyerahkan lamaran kerja dan curriculum vitae.

Perlahan Rio berdiri, mengikatkan amplop cokelat itu pada salah satu tali balon helium.

"Mau gunting sendiri balon-balon ini?" tawar Rio.

Namun, Refami menggeleng sambil tersenyum. Dalam hitungan detik, Rio melepaskan semua ikatan balon pada penyangga. 

"Aku harap, semua keinginan kamu terkabul." Mata Rio jauh memandang ke langit. Melihat balon-balon yang terbang menjauh. Refami pun merasa takjub dengan semua yang dilakukan Rio. Benar-benar dari hati.

"Satu lagi." Rio merogoh saku celana jeans belakang miliknya. Mengeluarkan kotak kecil hitam yang dihiasi oleh pita ungu.

"Kamu mau nggak, jadi pacar aku?" Rio mengatakannya dengan ragu dan malu yang sangat besar. Kotak itu dibuka hati-hati, isinya jam tangan cantik berwarna biru langit dengan inisial R.

Refami semakin mematung. Dia sedikit melirik laki-laki berbadan kingkong yang sudah menjauh dari area sana. Takut mendengar semua kalimat yang Rio utarakan barusan.

"Ah, aku--" jawabnya tersendat.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro