EMPAT

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[ 15.45 -- 17.15 ]

Waktu terasa panjang di hari Senin kali ini. Aku mendapatkan rintangan secara bertubi-tubi hingga di posisi klimaks aku kehilangan adikku. Satu-satunya keluarga yang bisa aku andalkan.

Waktu aku menyaksikan Susan kondisi terbaring lemah dengan bekas jeratan tali melingkar di lehernya, aku langsung berusaha menghubungi ayahku. Namun, nomornya tidak aktif. Mengingat aku dan Ayah tidak pernah bertukar kabar semenjak pernikahanku yang kedua. Aku panik dan tidak tahu harus menghubungi siapa. Teriak minta tolongku membuat warga sekitar indekos ikut membantu. Hingga kabar meninggalnya Susan sampai ke tetangga rusunawa juga rekan kerja. Aku tidak tahu bagaimana kabar itu bisa sampai ke sana lantaran aku hanya duduk di samping Susan mengisak-isak.

Sampai saat ini aku masih menyalahkan diriku sendiri. Kalau saja aku tidak terlambat datang ke indekos Susan mungkin aku tidak akan menemuinya dalam kondisi yang aku sendiri tidak bisa membayangkan sebelumnya. Aku bisa mengatakan kalau hubungan kami baik-baik saja. Kami juga mendiskusikan sesuatu tanpa berdebat. Hanya saja dia tidak pernah terbuka dengan masalahnya sama halnya dengan aku kepadanya jika menyinggung soal Mas Agastya. Lantaran kami tahu mana itu zona privasi ataupun tidak.

Sepanjang perjalanan pulang dari pemakaman aku berusaha memikirkan apa yang membuat Susan bertindak seperti itu. Sebagian dari diriku menyalahkan diriku sendiri dan sebagian lagi menyalahkan Ayahku. Semenjak Ibu meninggal keadaan keluargaku tidak baik-baik saja. Belum lagi aku sudah berumahtangga ketika itu. Saat Ayahku menikah lagi dan memutuskan pindah ke Kediri, Susan memilih tinggal bersamaku karena dia ingin melanjutkan kuliah di Banyuwangi. Sampai dia akhirnya memutuskan untuk tinggal di indekos karena jarak rusunawa dari kampusnya begitu jauh. Aku memaklumi keputusannya saat itu. Tapi, jika seperti ini tujuannya aku benar-benar menyesali keputusanku.

Aku menyadari waktu yang ada untuknya semakin sedikit lebih-lebih semenjak aku kerja di kantor. Kami juga terlalu jarang bertukar kabar. Biarpun aku sering datang ke indekosnya untuk mengirim makanan akan tetapi dia tidak pernah menceritakan keluh kesahnya selama ini. Saat di Gereja tadi siang teman-temannya bilang ke padaku kalau Susan beberapa minggu terakhir terlihat murung. Banyak yang mengira kalau dia tidak bisa mengerjakan skripsi. Aku tidak bisa menerimanya mentah-mentah. Aku tahu Susan tidak selemah itu. Kalau memang itu perkaranya dia pasti menceritakan padaku saat aku bertanya padanya mengenai kuliahnya.

Aku membawa sebagian barang-barang Susan ke rusunawa, sisanya masih aku tinggal di mobil. Aku hanya membawa peralatan kuliahnya berharap dari semua itu aku menemukan pusat masalahnya. Aku meletakkan barang-barang susan di atas tempat tidur. Selesai membuka koper besar itu aku menggulung rambutku asal-asalan. Sebelum akhirnya memeriksa semua barang-barang Susan aku memesan kopi melalui aplikasi ojek online. Aku tersibukkan sejenak hendak menunjukan spesifikasi lokasi nomor dan lantai rusunawa tempat aku tinggal.

Dengan mendadak Mas Agastya meneleponku, layar pun berganti menjadi panggilan masuk. Aku menghembuskan napas berharap ini bukan masalah baru. Memang aku baru mengabari tentang Susan ketika rekan kerjaku mengingatkanku untuk menghubungi Mas Agastya. Waktu itu aku mencoba mengabari melalui telepon namun Mas Agastya tidak mengangkatnya. Waktu dia meneleponku kembali aku tidak menyadari jika ponselku berdering. Aku hanya melihat cacatan panggilan tidak terjawab.

"Hallo Mas," ucapku ragu.

"Bagaimana?" Suara Mas Agastya hampir teredam oleh kebisingan jalanan. "Susan di makamkan jam berapa tadi?"

"Sekitar jam tiga. Mas lagi di mana?" tanyaku karena aku tidak ingin mengulang kembali kejadian hari ini.

"Saya perjalanan pulang dari kantor." Mas Agastya berdeham. Suaranya terdengar agak menjauh ketika terbatuk-batuk. "Kamu yang sabar yah, semoga Susan masih dalam lindungan-Nya. Kamu Sudah makan?"

"Sudah tadi teman kantor bawakan makan." Aku berdusta lantaran dengan keadaan seperti ini perutku terasa penuh. Memikirkan untuk makan saja tidak aku kerjakan, bagaimana bisa aku memakan sesuatu.

"Kamu sekarang ada di mana? Di rusun?"

"Iya, baru datang."

"Maaf saya tidak bisa ke sana temani kamu di pemakaman. Saya sudah kasih kabar ke Ibu. Kata beliau kamu di minta untuk pindah ke Bali. Bagaimana?"

Aku membisu. Mulutku terkunci. Otaku memproses untuk membayangkan bagaimana aku berada di keluarga Mas Agastya. Aku tetap tidak bisa menjawab hal itu sekarang.

"Bagaimana? Saya bergantung pada keputusan kamu. Kalaupun memang kamu tidak setuju saya tidak mempermasalahkan." Aku yakin kalau kalimat itu tidak dia ucapkan sungguh-sungguh.

Aku tetap diam. Lebih tepatnya menunggu apa yang akan dikatakan Mas Agastya selanjutnya. Karena sampai sini dia terlihat tenang. Sebenarnya aku mencurigai kalau sebenarnya ini bukan permintaan Ibu melain keputusan Mas Agastya yang mengatasnamakan Ibu.

"Kamu bisa mencoba satu minggu dulu tinggal di sini. Bagaimana?"

"Aku bingung, Mas. Aku tidak bisa ambil keputusan sekarang."

"Kenapa?" Nada bicara Mas Agastya mulai tidak mengenakan. "Kenapa harus dipikirkan. Besok pagi 'kan kamu bisa sekali jalan bawa barang kamu terus tinggal lama di sini."

"Mas, aku lelah, aku tidak ingin berdebat dengan kamu." Suaraku terdengar purau. "Aku mau istirahat."

"Siapa yang ajak kamu berdebat. Saya cuma tanya, kenapa gak kamu putuskan sekarang." Suara Mas Agastya semakin meninggi membuat kepalaku pening. Aku memijat pangkal hidung berharap rasanya berkurang. Namun tetap saja, bahkan tidak berkurang sama sekali.

"Mas, cukup! Aku mau istirahat. Aku baru kehilangan Adikku pagi ini. Dan sekarang aku mohon sama kamu jangan paksa aku untuk pindah ke Bali. Biarkan aku pikirkan dulu. Kamu harusnya bisa mengerti situasiku saat ini."

"Ya sudah. Saya tunggu berita baiknya." Aku menghembuskan napas melalui mulut. "I love you."

"Iya." Aku langsung memutus sambungan teleponnya.

Baru beberapa detik aku meletakkan ponselku di atas kasur mendadak kembali berdering. Kali ini dari ojek online. Aku segera mengangkat juga berusaha mencari dompet di dalam tas kerja. Aku melihat nama di profil driver-nya membuat isi perutku naik.

Aku was-was. Ragu untuk menjawab. Hingga aku memberi informasi ke dia ke mana harus mengantar.

"Iya, saya sedang perjalan menuju ke sana," jawabnya. Lalu panggilan berakhir tidak lama setelah itu.

Belum usai sarafku menerima gejolak emosi dengan Mas Agastya kini aku harus menghadapi tidak punya uang cash juga kartu debetku tertelan mesin ATM. Aku sudah berjanji pada driver ojol akan membayar. Aku benar kebingungan saat ini, bagaimana caraku mengatakan kepadanya. Air mataku tumpah begitu saja dan aku berjongkok di pinggir jalan.

Perasaanku tidak karuan. Aku merasa seperti terikat jaring lengket dan aku tidak bisa membebaskan diri. Tidak tahu berapa lama aku menangis. Hingga aku mendengar suara pria memanggil namaku baru akhirnya aku merasakan ketenangan. Lantaran pria itu tidak mempermasalahkan bahkan dia berniat mengantarku kembali ke rumah.

Dia merangkul punggungku dengan lembut. Tangannya mengusap lenganku memberikan sensasi nyaman. Perasaanku berangsur membaik meskipun aku masih mengingat Susan, perdebatanku dengan Mas Agastya, juga kartu tertelan mesin ATM. Sampai akhirnya kami berada di depan rumah. Dia memberiku ruang gerak untuk membuka kunci pintu.

"Terima kasih," kataku parau sebelum aku membuka daun pintu. "Kalau tidak keberatan kamu bisa mampir sebentar masuk ke rumahku. Kamu sudah membantuku banyak sejak tadi pagi."

Mulanya dia membuka mulut seperti hendak mengatakan sesuatu. Kemudian dia diam untuk beberapa saat, aku menunggu hingga dia akhirnya menjawab, "Iya."

Kami pun masuk. Aku mempersilakan dia duduk di ruang tamu. Aku berdiri di ambang pintu antara kamar tidur.

Aku ingin bertanya apakah tidak apa dia berada di rumahku. Tapi urung karena dia berkata, "Kamu mandi dulu setelah itu mungkin kita bisa mengobrol. Aku tidak keberatan menunggu." Seperti itulah yang aku harapkan.

Aku masuk ke kamar. Sengaja aku membiarkan pintu kamarku terbuka untuk melihatnya. Dia kini membuka jaketnya. Dia mengenakan kaos putih, lengan bajunya ketat karena otot-ototnya yang padat. Tampaknya dia kegerahan karena dia menarik-narik kerah baju. Aku kini berjalan menuju lemari untuk mengambil baju ganti. Sekilas aku melihatnya telah menemukan remote AC. Dia berusaha menyalakannya. Aku tersenyum kecil, dia mulai nyaman berada di rumahku. Seperti dia berkali-kali berada di rumahku. Padahal baru kali pertamanya datang ke sini.

Setelah mandi tubuhku terasa ringan. Beban pikiranku seolah telah hanyut bersama air yang mengguyurku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku bergabung dengan dia di ruang tamu. Saat itu dia sedang berdiri mengamati foto-foto yang terpajang di dinding.

"Hai," sapaku untuk memulai pembicaraan. "Nama kamu Danu kan?"

"Iya, Riani?" Aku mengangguk.

"Maaf aku tidak punya apa-apa untuk menjamu kamu di sini. Padahal aku yang mengajakmu mampir."

"Tidak masalah." Dia tersenyum. Lalu berjalan menuju kursi panjang. "Kamu pelukis?"

Aku mengangguk. "Tidak lagi." Ketika itu dia sudah duduk. "Karena pekerjaanku aku jadi tidak sempat untuk melukis."

Dia mengangguk. Aku mengambil posisi duduk di kursi lain di sebelah kanannya. Aku sadar duduk di sampingnya membuatku masygul, bukan karenanya tetapi lantaran kesalahanku yang melibatkan dia.

"Aku tidak menyangka kalau kita bertemu lagi setelah tadi pagi." Dia masih mengamati ruangan. "Kalau kamu ingin ceritakan sesuatu kepadaku silakan saja. Aku pendengar yang baik. Mungkin bisa meringankan beban pikiran kamu."

Aku menggeleng. "Aku tidak apa-apa. Sungguh!"

"Setidaknya kamu hanya perlu mengatakannya tidak peduli apapun itu. Daripada kamu hanya menyusun kalimat di otak itu justru membuatmu semakin tersiksa."

Baru juga aku menarik napas untuk bersiap mengatakan "Sungguh aku baik-baik saja." Dia malah menyelaku.

"Aku tahu ini canggung. Aku juga orang asing. Maksudku apa pedulinya. Ketika aku keluar dari sini, aku jamin cerita itu berakhir di sini juga." Dia menyandarkam punggung ke sandaran kursi. Dia duduk dengan sangat nyamannya.

Aku memberinya senyuman. Aku mengaku kalah dengan adu komitmen. Lebih-lebih aku suka dengan gayanya memaksaku, bukannya aku menolak malah semakin membuatku ingin mengatakan banyak hal. Aku terpikat dengan pandangan dan senyuman menantang yang dia tawarkan padaku, mungkin.

"Jadi?" Wajahnya mendadak berubah serius. "Jujur aku tidak berniat memaksamu untuk bercerita. Tapi sepertinya kamu membutuhkan teman bercerita. Mungkin kita bisa bertukar cerita."

Aku mengangguk. "Baiklah kamu mulai duluan."

"Aku?" Dia menunjuk dirinya sendiri tetap di depan dadanya yang bidang. "Hem?" Dia manggut-manggut.

"Tanya aku sesuatu. Aku tidak tahu memulai dari mana," tambahnya. Aku jadi memikirkan yang mana aku harus tanyakan kepadanya.

"Kamu sudah menikah?" Aku meringis setelah mengucapkan itu.

Dia menggeleng. "Belum terpikirkan untuk melangkah ke sana."

"Kenapa seperti itu?"

Dia mencondongkan tubuhnya mendekat ke arahku. Jarak wajahnya dengan tubuhku kira-kira setengah meter. "Kita mulai dengan memesan kopi."

Dia tersenyum, aku tertular. Dia tertawa, aku semakin menjadi. Kemudian dia mengambil ponselnya lalu berkata, "Baru kali ini aku jadi driver memesan ke driver lainnya."

Aku tertawa lagi. Selera humorku anjlok karenanya.

BERSAMBUNG

If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro