LIMA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[ 17.15 -- 18.00 ]

Aku suka wanita ini. Karena aku tidak perlu menunggu lama untuk dia pergi mandi. Biarpun dia keluar dalam keadaan rambut panjangnya masih basah, membuat blusnya sedikit basah di bagian bahu. Setidaknya aku tidak menunggu berjam-jam. Dia berupaya mengeringkan rambutnya dengan handuk ketika duduk kembali.

Dia menanyaiku tentang pernikahan. Tapi, jika hanya mengandalkan ceritaku untuk menahanku di sini, kurasa ini tidak akan berjalan panjang. Kucondangkn tubuhku ke arahnya. Mengamatinya apakah dia menginginkan aku tetap di sini begitu kuat sama sepertiku atau tidak. Namun, aku melihat cicin tersemat di jari manisnya sebelah kiri saat dia mencondongkan badannya ke kanan untuk menggantung rambutnya, sedangkan tangannya sibuk menggosok rambut dengan handuk.

Aku tersenyum berupaya agar tidak terlihat keki, aku tidak menyangka kalau ternyata dia juga tersenyum. Aku sangat ingin berlama-lama di sini tapi bagaimana jika suaminya akan tiba? Aku bertekad untuk mengajaknya minum kopi. Dia tidak mempermasalahkan dan kami saling tukar senyum. Padahal aku hanya mencoba bertahan dan tetap saja kopi akhirnya berhasil kupesan.

"Aku mau mengeringkan rambutku dengan pengering rambut di kamar. Mungkin kita bisa mengobrol di dalam." Dia beranjak. Menatapku dengan santai seolah dia tidak terpikirkan akan suaminya yang bisa datang kapan aja.

Aku berdiri. Tepat sudut ruangan yang lain, yang belum kujamah, aku melihat foto pernikahannya dengan seorang pria. Hatiku mencelis. "Kamu tidak keberatan aku masuk kamarmu?" Aku menghela napas. "Maksudku bagaimana kalau suamimu datang."

Wajah terlihat masam saat aku menyebutkan kata 'suami'. Kemudian tidak lama dia tersenyum. "Suami ada di Bali. Dia tidak bisa datang ke sini."

Dia telah masuk ke kamarnya. Aku mengikuti di belakang sedikit ragu-ragu. Maksudku, aku takut dibilang lancang memasuki kamar seorang wanita yang baru kukenal beberapa menit yang lalu.

Di atas tempat tidur ada beberapa koper dan kardus-kardus cokelat bekas kemasan air mineral gelas. Di dalamnya terdapat pakaian dan beberapa barang lainnya seperti setumpuk kertas, laptop dan buku-buku. Aku membantunya menurunkan barang-barang itu ke lantai dekat dengan balkon. Aku baru menyadari ada foto besar berbingkai di letakkan di meja kerja. Aku menghubungkan dengan pakaian serba hitam ketika menemuinya tadi di bawah. Juga foto ini sama seperti foto yang di ruang tamu dengan gaya Riani memeluk gadis yang sekarang fotonya aku lihat.

"Ada keluarga kamu yang meninggal?" tanyaku. Aku merasa tidak karuan menanyakan hal itu. Takut membuatnya sedih lagi. Dan pikirannya membawanya pada suatu tempat yang membuat air mata jatuh.

"Itu adikku, Susan. Tunggu sampai kopi datang. Aku akan ceritakan ke kamu." Kami sama-sama memandangi foto tersebut. Seorang gadis kira-kira berumur 21 tahun tersenyum dengan menpakkan gigi kawatnya. Riani berdiri di belakangku dekat dengan pintu menuju balkon sedangkan aku persisi di depan meja kerja.

Aku berbalik. Semua barang yang tadi di atas tempat tidur telah bersih. Dia berusaha mengambil suatu barang di loker nakas. Hingga mengeluarkan alat pengering rambut. "Duduk lah." Dia menunjuk ke arah tempat tidur. Aku merasa kikuk ketika memposisikan duduk di sana. Kemudian dia berjalan menuju meja rias. Aku kira kami sama-sama akan duduk di atas tempat tidur. Pastinya akan membuatku tidak nyaman.

"Jadi, apa yang akan kita bicarakan sambil menunggu kopi datang." Saat itu dia sudah menyalakan alat pengering rambut. Dia menatapku dari pantulan cermin di depannya.

"Bagaimana dengan 'turth or dare'?" Usulku.

"Ayolah itu permainan anak sekolahan. Aku tidak ikut."

"Truth or Dare?" selaku. Aku menyentaknya untuk memulai permainan ini. Tidak peduli dengan kilahnya.

Dia bergumam. "Truth." Kumelihat wajahnya dari pantulan cermin tatapannya menantang.

"Lebih suka naik pesawat atau bis jika perjalanan jauh."

"Hey! Pertanyaan macam apa itu?" Dia berbalik kendati tangannya sibuk dengan alat pengering rambut.

"Jawab saja, jangan curang."

Dia tertawa. Lalu diam untuk berpikir. Iris matanya yang hitam kecokelatan melirik ke kanan. "Bergantung, kalau perjalanan ke lintas pulau mending naik pesawat."

"Kalau antar provinsi?" Aku memposisikan tubuhku setengah berbaring bertumpu pada siku. Kaki kanan naik ke atas kasur dan kaki kiri menggantung di tepian.

"Bis," katanya. "Actually, lebih suka naik kereta."

Aku sependapat dengannya. "Dunia lebih indah dilihat dari bawah daripada tertutup dengan awan di atas sana."

"Lebih tepatnya aku menikmati perjalanan panjang dari pada yang instan."

"Sama halnya membaca buku secara harfia kita tidak melihat dunia, tambahku.

"Jadi kamu menolak jika ada kalimat 'Buku adalah jendela dunia."

Aku menggeleng. Tanganku asik mengusap-usap seprei. "Secara harfia!" Aku menekankan pada frasa itu. "Saat kita membaca sebuah buku kita hanya melihat dunia dari orang lain lihat."

"Bukannya itu yang harusnya didapatkan ketika kita membaca buku?" Kemudian dia mengubah kalimat pertanyaannya. "Sebenarnya hobi kamu apa?"

Aku menegakkan badan. "Jangan curang."

Dia menyunggingkan bibir ke kanan. "Aku penasaran dari mana pertanyaan tadi muncul!"

"Sekilas muncul di kepalaku," jawabku santai.

Dia tersenyum lalu mematikan alat pengering rambut. "Oke, giliranku. Truth or Dare?"

"Dare."

"Jangan curang." Dia meraih sebuah barang dan meleparnya padaku. Aku langsung menangkapnya. Itu hanya pensil alis.

"Aku tidak curang." Aku menertawakan ekspresinya yang terlihat kesal.

"Huft, push-up 3 kali dan aku duduk di punggung kamu."

Aku tertawa. Dia ternyata berusaha licik agar aku milih truth. "Kamu licik juga ternyata."

"Kamu yang mulai." Dia mengarahkan pandangan lenganku. "Apa pria prekasa yang terobsesi membesarkan lengan takut dengan tantanganku?" Dia menyempitkan mata dan tersenyum jahat.

"Aku terima!" Aku berdiri dengan percaya diri juga melepas jam tangan lalu kulempar sembarangan ke tempat tidur. Ketika hendak melepas kaos tiba-tiba aku membeku. Aku lupa kalau Riani adalah orang baru. "Kamu tidak keberatan?" Aku takut dia tidak nyaman.

Dia mengedikkan bahu.

Aku bertanya sebelum melepas kaos. "Bagaimana jika aku gagal?"

Riani tidak menjawab tetapi tatapannya masih sama. dia mengejek dengan sedikit menahan tawa. Awas saja jika aku berhasil melakukannya. Aku akan menantangmu lebih berat dari ini.

Aku segera melepas kaosku, Riani berdeham. Aku mengambil posisi di lantai. Dekat dengan pintu yang mengarah ke ruang tamu. Karena hanya di sana terdapat ruang gerak yang bebas. Selain dekat dengan kamar mandi.

"Kamu serius akan melakukannya?" tanyanya seraya berdiri. Suaranya terdengar ragu.

"Iya," jawabku sambil mendongak. Dia berdiri tepat di depan kepalaku. "Ayo."

Dia menyentuh punggungku. Aku hampir bergidik kegelian, tapi bisa kutahan. Dia bergerak lambat untuk bisa duduk di punggungku. Tanganku sudah dalam posisi dan siap mendorong lantai.

"Sorry," katanya saat mengenyakkan diri di atas punggungku dengan duduk bersila. "Kamu tidak apa?"

Tubuhku tertekan ke lantai karena berat badannya. "Berapa berat badanmu?"

"Ini bukan giliranmu. Jangan curang." Aku tertawa dengan jawabannya. Aku lupa kapan hari Arestia juga mengubah topik ketika aku bertanya padanya tentang berat badannya. Saat itu dia asik makan makanan laut bersamaku di warung makan dekat dengan di bibir pantai.

"Kamu siap? Jangan terlalu banyak bergerak." Aku memantapkan posisi. "Kalau kamu terjatuh aku bisa saja cidera otot."

"Eh, tidak jadi. Jangan lakukan. Aku ganti tantangannya." Dia memegang pinggulku seperti ingin turun dari punggungku.

"Bukan seperti itu konsepnya." Aku segera  mengangkat tubuhnya di punggunggu dengan  posisi push-up.

Dia berteriak. "Danuuuu!" Saat hitungan ke satu.

Aku tertawa juga terengah-engah. Ini kali pertamaku push-up dengan menggunakan manusia sebagai bebannya. Dulu aku menggunakan pemberat besi yang ada di tempat gym.

"Danu, sudah tiga...!" Dia terus berteriak ketakutan. "Aku percaya. Iya, kamu menang." Aku tidak menghiraukan dan tetap melanjutkan sampai lima hendak keenam. Kemudian dia memukul punggungku baru aku akhirnya berhenti. Padahal aku ingin melanjutkan sampai 10.

Dia segera turun. Dadaku terasa sedikit lega. "Aku ambilkan minum." Dia berlari keluar kamar. Aku menduga dia menuju dapur.

Mulanya aku berbaring di lantai mengatur napas, lalu aku duduk sejenak bari berdiri dan meraih kaosku di atas tempat tidur. Tubuhku terasa panas. Aku berjalan menuju pintu ke arah balkon.

"Kamu gak apa, kan?" Dia menarik lenganku membuatku membalikkan badan. Dia mengulurkan segelas air. "Minum dulu."

Kuteguk air dalam gelas. Riani menyuruhku untuk menghabiskan. Tanpa disuruh dua kali aku sudah menghabiskan dan mengembalikan gelas kepadanya. Tubuhku mulai mengeluarkan keringat . Aku membuka pintu, angin menyeruak masuk.

"Giliranku." Aku tidak menoleh ke arah Riani. Tapi aku mendengar suara dia berusaha memasukkan barang ke nakas. "Truth or Dare?"

"Dare." Saat kutoleh, dia sibuk menggulung kabel.

"Yakin?" Aku berinat menantang sekaligus mengejeknya.

"Kalau kamu memintaku untuk melakukan seperti tadi, aku menyerah."

"Bukan." Aku belum menemukan tantangan apa yang akan aku berikan padanya. "Jadi kamu pilih mana?"

"Dare." Dia sudah selesai menyimpan alat pengering rambutnya. Walaupun tidak sepenuhnya  kering. Dia berdiri tegak. Tapi tatapannya justru mengarah ke badanku. Aku merasa kikuk dan segera memakai kaosku.

"Oke, i dare you....!" Suaraku sengajaaku buat seperti melambat. Agar dia merasa deg-degan. Saat aku membuka mulut kendati belum menemukan tantangan dia segera menyela.

"Truth. Aku pilih truth." Dia berjalan mengitari tempat tidur dan mengambil posisi duduk di atas kasur sisi dekat dengan pintu menuju ruang tamu. Dia memangku bantal

Aku tertawa. "Baiklah." Aku juga ikut duduk di seberang tempat tidur. "Pernah tahu game Kiss, Marry, Kill? Tapi aku lebih kenal Fuck, Marry, Kill."

"Aku pernah dengan itu. Di serial Neflix 'The Society'." Dia mengangguk. "Tunggu kamu mau aku melakukan antara ketiga itu?"

"Bukan," jawabku segera sebelum dia berpikiran buruk. "Itu hanya sebagai menandai seseorang pria atau wanita."

"Oh, aku paham, jadi aku menandai kamu sebagai pria yang mana? Begitu?"

Aku mengangkat alis mengiakan.

"Kamu?" Aku menunggu dan memerhatikan dengab saksama. "Kiss. Karena aku sudah menikah jadi tidak bisa memilih marry."

Aku menyipitkan mata. Aku ragu dengan pilihannya untuk menandai diriku. Sebab dia menyebutkan dua opsi.

"Dan kalau tatapanmu seperti itu aku milih kill!" Dia memalingkan muka.

Aku tertawa. "Sebentar... sebentar." Intrupsiku. "Jadi kamu sebenarnya ingin menikahiku?"

"Bukan seperti itu maksudnya." Wajahnya memerah. "Ini hanya permainan, kan?" Aku tertawa. Ternyata hanya dengan pertanyaan sederhana seperti itu mampu membuat wanita di depanku ini salah tingkah tidak karuan. "Kamu pria tampan Danu, wanita mana yang tidak menyukai. Kecuali jika mereka mempunyai orientasi seksual sesama jenis."

Aku merasa senang. Bukan karena dia salah tingkah melainkan aku mampu membuatnya tersenyum dikala dia berduka. Paling tidak Riani bisa melupakan segala kesedihannya ketika bersamaku. Dan aku yakin dia mencintai suaminya begitu tulus. Aku memahami posisiku, tidak ada pikiran aku untuk mencium bahkan lebih dari itu.

"Kalau aku memilih dare kamu akan menantangku apa?" Dia menanggalkan bantal di pangkuannya dan merangkak ke arahku. Aku merasa waspada. Kucondongkan tubuh menjauh.

"Apa?" tanyaku balik.

"Jangan-jangan kamu menantangku untuk menciumu?" Tatapannya seperti seorang detektif. "Jujur sama aku?"

"Enggak, aku ingat kalau kamu punya suami aku tidak akan melakukan itu." Tiba-tiba suara bel berbunyi juga ponselku yang berdering di ruang tamu. "Kopi datang!" Seruku bergerak menjauh.

Dia tidak tinggal diam. "Terus kamu akan menantangku apa?"

"Game over, Riani!" teriakku ketika aku di ruang tamu.

"Kamu curang," balas Riani juga berteriak. Dan aku tertawa seraya membukakan pintu.

BERSAMBUNG

If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro