18. Takdir Klise

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mas Faqri... Farah... ayo makan malam dulu, Nak." teriak Joko dari meja makan. Dia menoleh ke arah jam dinding di atas televisi. Waktu menunjukkan pukul enam lebih 30 menit.

Farah pertama keluar dari pintu kamar depan sedangkan Faqri masih belum keluar, pintu kamar ketiga belum juga terbuka.

"Mas Faqri!" panggil Joko lagi.

"Faqri pergi ke warung beli kecap," sahut Lina. Dia baru saja keluar dari dapur.

"Farah! Ayah sudah pernah bilang kalau di meja makan gak boleh bawa ponsel," tegur Joko saat melihat Farah, anak keduannya yang berusia 10 tahun meletakkan ponsel di samping piring makan.

"Buat nanti nge-video-in ulang tahunnya Mas Faqri." Farah menepuk layar ponselnya. ""
Bu, kuenya aman, 'kan?" tanya Farah kepada Lina dengan berbisik.

"Kalian jadi buat kue ulang tahun?" tanya Joko ke Lina ataupun Farah. Dia menatap keduanya bergantian.

Lina mengacungkan jempol sambil tersenyum dan mengangguk antusias. "Aman... ibu taruh di kamar." Kemudian Lina meletakkan bakul nasi ke meja lalu mengusap perutnya yang sedang mengandung anak ketiga. Usia perutnya kini sudah 9 bulan tinggal menunggu hari kelahiran. "Kamu jadi kasih kado apa ke Faqri?"

Joko menunjuk sebuah kotak kado berwarna hitam yang besarnya setengah dari piring di sampingnya.

"Kamu jadi beliin Faqri sepeda motor, Mas?" Lina berharap Joko tidak jadi membelikan Faqri sepeda motor karena, anak pertama mereka baru menginjak SMP. Lina tidak peduli biarpun Faqri kini tingginya sudah melebihinya, yang jelas tidak baik membiarkan anak seusia Faqri yang memiliki emosi yang tidak stabil ketika berkendara, ditambah belum memiliki SIM.

"Sepeda motor?" Farah sama terkejutnya dengan Lina. "Maksud Ayah, aku berangkat le sekolah harus bareng Mas Faqri?"

Joko mengangguk. "Iya, karena ayah masuk kantor jam setengah delapan."

"Mas, Faqri masih ulang tahun yang ke 14 tahun."

"Dia, kan sudah jago pakai sepeda motor. Lagian, Ayah terlalu pagi kalau berangkat bareng kalian ke sekolah." Joko menjawab pertanyaan Lina sambil mengambil nasi dari bakul ke piringnya. "Sudah-sudah makan dulu. Ini Faqri beli kecapnya di Jakarta atau gimana lama sekali."

Tidak berselang lama saat Farah sedang mengambil nasi, terdengar ucapan salam dari Faqri memasuki rumah. Semua orang akhirnya bersiap. Lina berjalan menuju kamarnya untuk mengambil kue, sedangkan Farah menyiapkan ponselnya, dan Joko menyimpan kotak kadonya ke pangkuannya.

"Bu, tokonya bu Saniyah tutup," kata Faqri sambil berjalan menuju menuju meja makan. "Mau jalan ke minimarket kejauhan jadi males ke sananya." Dia menoleh kepada Lina yang justru tidak peduli dengannya.

"Ya sudah gak usah pakek kecap," kata Joko dengan ekspresi merosot.

"Aku heran sama keluarga kita, kenapa suka banget campurin kecap ke semua makanan," ungkap Farah. "Waktu aku beli soto di kantin, teman-temanku semua pada heran saat aku nuangin kecap sampai kuah soto jadi kecokelatan."

"Tapi, ibu kali ini masak sayur sop harusnya pakai sambel kecap," bantah Faqri.

"Khusus malam ini kita absen dengan kecap," seru Joko bersikap opstimis saat mengambil sedok sayur.

Farah bergumam.

"Selamat ulang tahun... selamat ulang tahun... selamat ulang tahun Mas Faqri... selamat ulang tahun." Suara nyanyian Lina memecah keluh kesah keluarga Joko karena absennya kecap di meja makan.

Faqri, Joko, dan Farah menoleh ke arah Lina yang baru saja keluar dari kamar sambil membawa kue yang di atasnya tertancap lilin dengan huruf 14 yang menyala.

Farah segera mengambil ponselnya untuk mengabadikan momen tersebut, sedangakan Joko menyiapkan kadonya.

"Astaga ibu!" teriak Faqri saat setelah nyanyian itu berakhir. Lina menjatuhkan kuenya dan berganti memegang perutnya. Faqri yang duduk paling dekat dengan Lina langsung berdiri dan membantu ibunya itu berdiri. "Ayah!" panggil Faqri saat Joko sudah bergerak mendekat.

"Air ketuban ibu pecah," kata Lina kepada Faqri.

"Kita ke rumah sakit sekarang." Joko langsung mengambil keputusan, sambil membantu Lina berjalan menuju mobil. "Farah ambil kunci mobil dan Faqri tolong ambil koper yang abu-abu di kamar."

Farah dan Faqri langsung bergerak. Faqri langsung membawa koper ke bagasi saat Farah dan Joko membantu Lina naik ke kursi penumpang. Farah juga ikut naik.

"Mas, di rumah dulu ya! Makanan di meja kamu beresin dulu, kunci semuanya, dan...."

"Sudah ayah berangkat saja dulu nanti Faqri nyusul nail ojek saja."

"Ayah sudah beliin motor, ada di garasi, kuncinya di meja makan kotak warna hitam." Saat itu Joko sedang berusaha mengeluarkan mobil dari halaman depan. Dia berbicara dengan Faqri melalu jendela mobil.

Selama beberapa detik Faqri melongo mencerna perkataan ayahnya. "Iya, ayah terima kasih."

Sementara itu di kursi penumpang Lina sedang mendesis menahan perutnya. Mobil segera meninggalkan lingkungan perumahan menuju rumah sakit yang sudah menjadi rujukan sejak pemeriksaan kehamilan.

###

Di saat keluarga Joko sedang panik-paniknya dengan Lina yang akan melahirkan, keluarga Zahro justru lebih bersantai di ruang tengah sambil menonton acara lawak. Rutinitas setelah makan malam adalah mengudap dengan berbagai kudapan yang selalu tersedia pada toples-toples di dekat meja televisi. Kali ini mereka sedang menyantap keripik kentang dan stik keju. Sasti dan Zahro duduk di aofa sedangkan Athira duduk di lantai sambil bersandar di kaki sofa antara kaki Kakak dan Ibunya.

"Bu," panggil Sasti dalam keraguan. "Menurut Ibu, kalau Sasti nikah mudah bagaimana?"

"Kamu gak mau lulus kuliah dulu? Belum ada setahun loh kamu kuliah." Zahro sempat terdiam beberapa saat. Dia berusaha mempertimbangkan sebelum akhirnya mengambil keputusan. Sasti umurnya belum genap 20 tahun namun dia sudah memiliki kekasih sudah bekerja sebagai pegawai kontrak di kantor BPN. Dari segi materi mungkin kekasihnya sudah mumpuni untuk berumahtangga. Hingga akhirnya Zahro berkata, "Malik sudah ajak kamu nikah?"

"Jadi sama Mas Malik?" tanya Athira. Dia sampai mendongak melihat Sasti.

"Lah, pacar aku siapa lagi kalau bukan Malik," jawab Sasti ketus.

"Kalau mbak Sasti nikah, pasti tinggal sama mas Malik. Ah, jangan dulu, nanti rumah inu makin sepi." Athira merasa jika nanti kakak perempuannya meninggalkan rumah, dia akan hanya tinggal bersama ibunya seorang diri. Setelah beberapa tahun sebelumnya mereka bertiga menghabiskan waktu bersama, mulai dari berbelanja baju bersama, bercerita mengenai banyak hal bersama, memasak bersama, dan apabila mendapati perubahan menjadi menghabiskan waktu hanya berdua, bagi Athira itu butuh waktu untuk menyesuaikan.

"Malik sempat bilang, kira-kira kalau aku jadi istrinya bagaimana."

"Malik umurnya berapa?" Biarpun Zahro mengingatnya namun dia tetap memastikan.

"25, bulan depan 26."

"Selama Malik belum bilang apa-apa ke Ibu, ibu gak bisa kasih pemdapat apapun. Yang nikah 'kan Mbak." Zahro menutup toples keripik kentang karena sudah tidak tertarik lagi memakannya. Pembicaraan kali ini terlalu serius untuk dibawa santai. "Sekarang Ibu tanya sama Mbak, kalau Mbak nikah muda siap apa tidak?"

"Dulu, ibu nikah sama Ayah seusia Mbak Sasti, gini kan, Bu?" sahut Athira bahkan sebelum Sasti memikirkan jawaban.

Zahro mengangguk. "Ingat, menikah itu hanya satu kali seumur hidup."

"Ibu gak menikah lagi." Celetukan Athira membuat Zahro dan Sasti saling pandang dalam diam. Athira tidak menyadari jika keduanya sedang memikirkan banyak hal yang bersifat krusial untuk dibicarakan. "Ayah sudah belasan tahun gak tinggal di sini berarti ayah bukan bagian dari keluarga kita, 'kan?"

Melihat perubahan ekspresi Ibunya, Sasti lalu mengusap tangan Zahro. Pandangan mereka saling bertemu. Zahro kemudian memberikan senyuman dan membalas tangan Sasti dengan tepukan lambat ke punggung tangan.

"Kalau dipikir-pikir Mbak Sasti masih beruntung bisa melihat wajah Ayah secara langsung. Sedangkan aku hanya bisa lihay lewat foto." Ketika Athira berbicara dia tidak memperhatikan bagaimana kondisi Ibunya ketika pembahasan mengenai Prasto kembali muncul kepermukaan.

Sebelum pembicaraan semakin panjang. Sasti sendiri tidak pernah merasa penting harus memiliki seorang Ayah kerena keberadaan Zahro sudah melengkapi banyak hal. "Kita undang Malik untuk makan malam bareng, gimana menurut ibu?"

Athira mendongak dia menyadari jika perkataanya tidak ada yang menanggapi. "Lah, Ibu sama Mbak dengar aku bilang tadi gak sih?"

"Boleh," jawab Zahro. "Besok lusa bagaimana? Atau kapan lah kalau Malik lagi kosong aja. Kemarin kamu sempat cerita kalau Malik akhir-akhir ini sering lembur."

"Astaga, hallo Athira di sini!" Athira melambaikan tangan.

"Kalau saran Ibu, kamu nikah setahun-dua tahun lagi, lah, sampai kamu benar-benar yakin sama Malik." Zahro menatap wajah Sasti dengan ekspresi memohon. Zahro masih belum menyangka jika kedua anaknya telah tumbuh dewasa secepat ini. Terasa baru kemarin saat Sasti pertama kali diserahkan kepadanya dan sekarang harus memikirkan soal pernikahan yang kemungkinan, cepat atau lambat Sasti akan meninggalkan rumah.

"Iya, nanti aku ngobrol sama Malik kalau dia bahas soal nikah lagi... soalnya kalau aku tiba-tiba buka omongan soal nikah, kok kayaknya akunya yanga ngebet nikah. Padahal belum tahu siap apa nggak," kata Sasti.

"Au ah, aku ke kamar aja." Athira lalu bangkit dan berjalan menuju kamar. "Besok Athira juga mau nikah aja setelah lulus SMA."

"Kamu itu yah, masih SMA sudah mikir nikah," tegur Sasti. "Sekolah yang bener."

Brak! Suara pintu kamar terbanting.

"Kayaknya Athira pengen banget ketemu Ayah," bisik Sasti.

"Ibu gak pernah ngelarang kalian buat ketemu Ayah."

"Tapi Sasti gak mau lihat ibu sedih." Sasti menyandarkan kepala ke bahu ibunya.

"Yang jadi wali nikah kamu besok 'kan harus Ayah, Mbak." Zahro selama ini sudah memberikan banyak waktu untuk Sasti ataupun Athira untuk menelepon Prasto. Namun, sepertinya Sasti tidak pernah menghubungi biarpun dia menyimpan kontak nomor ayahnya.

Kemudian Sasti mulai berpikir. Ternyata dia masih membutuhkan seorang ayah untuk menjadi wali nikah. Di sisi lain dia juga memikirkan perkataan Athira, kenapa Ibunya tidak memilih untuk menikah lagi?

Sejauh ini Zahro selalu menghindari pertanyaan itu dan Sasti menjaga perasaan ibunya.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro