19. Sementara Bertahan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rere melipat beberapa pakaian dari gantungan lemari kemudian dimasukkan ke koper. Dalam hatinya waktu itu, dia sudah mempersiapkan diri jika nantinya Buntoro akan segera menanyakan sesuatu hal yang sudah jelas berakhir dengan tidak disetujui. Akan tetapi, tekad Rere sangat kuat bagaimanapun dia tidak akan menyerah kali ini.

"Bagus baru saja telepon." Suara mengejutkam muncul dari ambang pintu kamar. Rere me menoleh. Buntoro berdiri di sana. "Aku sudah bilang kalau kamu tidak akan pergi ke Malaysia."

"Aku tidak peduli apa kata Mas." Rere kembali melanjutkan aktifitasnya. "Aku ke sana juga pakai uangku sendiri. Kalau kamu gak mau kasih aku uang buat pegangan aku juga tidak peduli." Biarpun Rere bersikap angkuh namun dalam hatinya menunggu saat Buntoro mulai mengeluarkan suara kerasnya.

"Aku tidak peduli kamu punya uang atau bagaimana itu. Yang jelas kehidupan Bagus di sana masih susah. Dia baru saja punya anak kedua. Anak pertamanya juga mau sekolah. Kalau kamu ada di sana yang ada malah jadi beban buat Bagus."

Rere menggeleng. Dia menatap Buntoro. "Aku dulu minta ke sana Mas larang, kata Mas gak ada biaya. Sekarang sudah ada biaya Mas masih melarangnya juga?"

"Kamu itu masih istri aku dan aku kepala rumah tangga di sini. Jadi keputusan ada di tanganku." Buntoro menghampiri Rere dan merebut pakaian di tangan. "Harus kamu bicarakan dulu sebelum berangkat. Gak tiba-tiba kamu bilang nanti sore ke Malaysia."

Rere merebut pakaiannya kembali. "Halah! Kayak Mas enak aja diajak bicara. Aku sengaja gak bilang Mad dulu karena tahu kalau Mas gak akan kasih izin. Aku juga tahu kalau hasilnya akan seperti ini."

"Kalau bukan Bagus yang telepon aku tadi kamu..."

"Sudah!" sergah Rere. "Pokoknya sore ini aku berangkat."

"Kenapa gak bisa?"

Buntoro mulanya terdiam. Hingga beberapa detik kemudian dia berkata, "Kewajiban kamu jadi seorang istri adalah mendampingi suaminya. Kalau kamu pergi siapa yang urus rumah tangga."

"Mas bilang seperti itu kayak suami paling bener aja," bantah Rere. "Selama ini aku pernah minta apa ke Mas? Dan kali ini aku hanya minta ke Malaysia bertemu Bagus, Mas masih gak kasih izin?"

"Ya, terserah kalau kamu gak mau aku atur." Buntoro mulai menunjukkan suara sarkasnya. "Tunggu saja sampai aku berbuat sesuatu."

"Mas, aku ke Malaysia cuma dua minggu." Rere berteriak. "Mas mengancam aku karena itu?"

"Iya, terserah." Buntoro bersikap acuh tak acuh. Dia meninggalkan kamar.

Air mata Rere menetes. Dia tidak cukup kuat menahan. Entah bagaimana lagi harus berharap banyak hal kepada Buntoro. Pria itu bahkan tidak pernah memperdulikan perasaannya. Rere sangat mengharapkan bisa bertemu dengan cucunya di  Malaysia. Bagus memang pernah bercerita jika dia kerja pontang-panting hanya untuk menghidupi keluarganya, biaya yang dikeluarkan untuk pergi ke Indonesia terlalu mahal. Bagi Rere jika dia tidak bisa melihat cucu-cucunya di Indonesia maka dia ingin menghapiri ke Malaysia.

Kedatipum demikian dengan sikap Buntoro, Rere masih akan tetap berangkat. Saat semua sudah beres. Rere mendapati kabar dari Anang melalu telepon bahwa anak pertamanya itu akan mampir sebentat setelah kemarin menginap di rumah ibunya Ariqa. Rere menyambut kedatangan Anang dengan sangat lebar.

Setelah telepon berakhir Rere teringat jika dia tidak pernah bercerita kepada Anang mengenai pergi ke Malaysia. Mungkin berbicara dengan Anang akan mempermudah langkah Rere mendapat izin dari Buntoro. Sejak kejadian tadi, Bagus tidak berhasil meluluhkan hati ayahnya.

Rere pun mempersiapkan diri. Sekali lagi.

Setengah jam berlalu, akhirnya suara deru mobil terdengar masuk ke halaman depan rumah. Rere sempat bercermin memastikan apakah wajahnya tidak terlaku kentara akibat bekas-bekas tangisnya. Hingga dirasa semua telah aman, Rere akhirnya keluar kamar.

"Assalamualaikum," kata Ariqa dan Cindy berbarengan dari pintu depan.

Rere lalu menyambut mereka. Cindy berlari untuk mencium tangan Rere. Diikuti dari belakang Ariqa juga melakukan hal yang sama.

"Bagaimana tadi perjalanannya lancar?"

"Alhamdulillah, Bu, lanca?"

"Mbah kung mana? Uti?" tanya Cindy.

"Ada di kamar." Belum genap Rere berbicara Cindy lalu buru-buru masuk ke kamar.

Sedangkan Anang dan Ariqa berjalan menuju kursi di ruang tegah.

Anang menoleh ke meja di dekat pintu dapur, di sana dulu terdapat komputer namun sekarang di isi dengan beberapa kardus yang terikat dengan tali. Kardus-kardus itu adalah sebagian kecil dari barang yang akan dibawa Rere ke Malaysia.

"Perasaan bulan lalu komputernya masih ada?" seru Anang.

Rere mengikuti arah pandang Anang. "Gak tau ke kama, sudah ayah kamu jual mungkin ke teman-temannya."

"Lah, itu apa?"

"Itu, cuma baju-baju bayi sama beberapa barang untuk anaknya Bagus." Rere menahan diri untuk tidak mulai kalimat yang lebih khusus tentang kepergiannya ke Malaysia.

"Mau dipaketkan?" tanya Ariqa kali ini.

"Eh, kalau mau minum ambil sendiri ya," kata Rere menepuk lengan Ariqa.

"Mau kopi, mas?" tanya Ariqa kepada Anang.

Anang mengangguk. Rere mengira Anang tidak akan melanjutkan topiknya namun kemudian dia menanyakan, "Bagus mau pulang?"

Rere menggeleng.

"Ibu kamu nanti sore mau pergi ke Malaysia," sahut Buntoro saat baru keluar kamar bersama Cindy. Ariqa sambil berjalan menuju dapur dia menyempatkan untuk bersalaman dengan Buntoro.

"Loh!" Anang tampak terkejut. "Kok gak bilang tadi waktu di telepon?"

Rere menganggap pertanyaan Anang hanya sebuah retorika.

"Ibu, sampai kapan di sana?" Anang mendesis. "Ke Surabaya dulu kan ini nanti? Kapan berangkat? Sama siapa nanti?"

"Ada supir. Karyawan di pabrik."

"Ibu masih urusin penggilingan beras punyanya Om Prasto?" Anang sampai berpindah posisi duduk di samping Rere. "Ibu, kenapa masih kerja si? Biarkan Om Prasto yang urus tempat itu."

"Ibu kamu mana bisa di kasih tahu," tukas Buntoro.

Anang tidak peduli dengan celetukan Buntoro. "Kenapa gak kasih kabar ke aku dulu, Bu, aku kan bisa datang kemarin. Aku bisa antar ibu sampai Surabaya."

"Baru dapet tike" murah kemarin lusa." Rere meraih tangan Anang dan meremas beberapa kali. "Ibu ingin ketemu cucu-cucu ibu yang ada di sana." Saat itu Cindy beranjak duduk di samping Anang. "Pesawatnya berangkat besok pagi. Jadi nanti sore ke Surabaya menginap di hotel dekat bandara biar gak buru-buru."

"Iya, tapi kesehatan ibu gimana? Baru juga dua bulan yang lalu ibu masuk rumah sakit." Anang menatap mata Rere dalam. Anang merasa gemetar karena tangan Rere begitu dingin dan mata ibunya itu terlihat sembab. "Ibu baik-baik saja, 'kan?"

Rere mengangguk. "Ya sudah. Anang ikut ibu ke Surabaya." 

"Cindy ikut," seru Cindy.


Ariqa keluar dari dapur sambil membawa segelas kopi. "Cindy sama Ibu aja di rumah Oma."

"Pengen ikut ke Surabaya" rengek Cindy.

"Cindy!" tegur Ariqa tegas. "Sana ke rumah Faqri. Sudah bilang kamu sama dia kalau lagi di Nganjuk."

"Istrinya Pak Joko baru melahirkan kemarin jadi mungkin mereka masih di rumah sakit," sahut Rere. "Ya gak apa kalau semuanya mau ikut."

"Mampir ke rumah sakit ya Uti?" Cindy mendatangi Rere dan duduk di lantai sambil bersandar ke kaki.

Anang meringis. "Tuh, punya adik ipar baru."

Rere akhirnya bisa tersenyum. "Dari kecil sampai sekarang kalau urusan sama Faqri aja selalu nomor satu."

"Ibu tahu?"

"Tahu apa?" potong Cindy. "Dari dulu aku sama Faqri kan suka main bareng, iya kan Uti?"

"Iya." Rere tertawa sambil mengusap rambut Cindy. Suasana ruang tengah pun perlahan mulai melunak dengan tingkah Cindy.

Anang juga sempat mengabarkan untuk pindah ke Nganjuk dalam waktu dekat. Pembicaraan terus mengalir sampai akhirnya mobil yang menjemput Rere tiba.

Anang sempat bertanya, "Kenapa gak pakai mobilnya Ayah?"

Rere mengerdikkan bahu. "Tanya ayah kamu" kemudian Rere dibantu Ariqa membawa koper keluar kamar. Sedangkan Cindy mebawa kardur di meja komputer ke bagasi mobil, dan Buntoro hanya berdiri di di teras depan rumah.

Tidak banyak yang dibawa Rere untuk ke Surabaya. Hanya satu koper, satu tas tenteng, dan satu kardus. Semua barang telah masuk ke bagasi.

"Jadi mampir ke rumah sakit kan?" tanya Cindy memastikan.

Rere, Anang, dan Ariqa saling pandang kemudian tertawa.

"Jadi, Nak," jawab Anang.

Sebelum mereka berangkat menaiki mobil sewaan, Rere menyempatkan untuk berpamitan kepada Buntoro secara intens. Biar bagaimanapun Buntoro masih tidak merelakan Rere pergi.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro