Balada Kisah Kemeja Putih

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Asep's pov

"Astaghfirullah, udah jam segini." Aku terlonjak dari tempat tidur dengan detak jantung bertalu-talu.

Segera kusambar baju dan handuk. Apes, ternyata kamar mandi sedang dipakai.

"Hoi, hoi, siapa di dalam? Buruan." Teriakku keras.

"Bhentaran, lhaghi ghoshok ghighi." Itu suara Bhin pasti. Ah, Bhin kalau gosok gigi suka lama. Entah kenapa, mungkin dia gosok gigi sambil ngelamun.

Aku berlari ke kamar mandi belakang. Terdengar suara Mas Tunggal nyanyi-nyanyi di kamar mandi. Duh, gimana nih kalau telat? Mas Tunggal kalau udah nyanyi di kamar mandi itu satu kaset sendiri, side A dan side B. Eh kamu masih inget kan kaset? Udah nyaris punah sih peradaban kaset. Padahal jaman dulu itu, kalau mau dengerin lagu lengkap dari sebuah band ya harus beli kaset. Kalau sekarang kan pakai youtube bisa, download bisa, cd, flashdisk, atau pakai aplikasi Joox. Dan kenapa juga aku jadi ngomongin kaset beserta generasi terbarunya.

"Mas, mas, bisa cepetan nggak konsernya? Asep telat nih." Seruku pada pintu. Eh, maksudnya pada Mas Tunggal di dalam kamar mandi.

"Bentar. Palingan gue selesai dua jam lagi. Lo mandi di kamar depan gih."

"Ada Bhin disana," sahutku.

"Ya udah, mandi di halaman samping atau belakang aja." Santai banget Mas Tunggal. Emang aku si Meong, mandi di halaman belakang.

Aku berlari ke kamar mandi depan. Syukurlah, Bhin baru saja keluar. Aku berlari menuju Bhin sebelum kamar mandi diserobot lagi. Nggak sengaja, Bhin kesenggol sampai muter-muter badannya.

"Aseeeeeppppp,"serunya.

"Yang paling ganteng sedunia. Iya udah tau, Bhin sepupuku yang baik. Eh aku minta tolong dong. Tolong setrikain kemeja ini. Aku harus pakai buat wawancara jam 9 nanti." Aku memotong ucapan Bhin, meminta tolong dan memberikan kemejaku lalu bergegas masuk kamar mandi.

"Aseeeeppp, Bhin nggak mau seterikain. Buru-buru juga," Bhin balik kanan menuju kamarnya. Kebetulan, papasan sama Rarina.

"Ra, tolong seterikain kemeja Asep ya. Dia telat bangun kayaknya. Wawancaranya 1 jam lagi." Bhin tersenyum manis sambil memberikan kemeja Asep.

"Ya deh. Tolong taruh di meja seterikaan aja. Sama nyalain seterikanya ya. Aku mau minum dulu." Sahut Rarina.

Bhin menganggukkan kepalanya. Lanjut, bernyanyi-nyanyi sambil mencolokkan listrik seterikaan.

*

Aku keluar dari kamar mandi dengan wajah segar. Mudah-mudahan masih sempat deh sampai ke tempat wawancara, pikirku sambil melirik jam di dinding. Terlihat, ada dua cicak yang berkejaran di sana. Apa ya rasanya jadi cicak, hidupnya monoton di situ-situ aja. Aku menggelengkan kepala, Stop Asep, fokus fokus. Jangan malah mikirin cicak.

"Bhiiiiiinn," teriakanku membahana.

"Apa sih, teriak-teriak. Emangnya di hutan. Oh iya, aku lupa kamu kan Asep tarzan. Auoooooo," Bhin menyahut sambil cekikikan. Sudah pernah aku bilang belum, kalau sepupuku yang satu ini rada-rada ehem. Mungkin dia kebanyakan micin, makanya ngomong nggak bisa di rem.

"Kemeja, mana?" Tagihku sambil menadahkan tangan.

"Di seterika Rarina. Cek aja ke meja seterikaan." Bhin balik badan dan mulai memakai sepatu di teras depan. Aku balik badan menuju meja seterikaan. Lalu lemas melihat pemandangan itu.

*

Lima menit berlalu sejak Bhin berulang kali meminta maaf. Rarina sedang membongkar tumpukan bajuku di lemari, mencoba mencari kemeja putih lagi.

"Lagi, kenapa atuhlah kamu lupa? Aduh, eta teh kemeja kesayangan Asep. Satu-satunya kemeja putih yang Asep punya." Lupa sama aturan Mbah untuk memakai bahasa Indonesia di rumah, aku terus bicara campur aduk tanpa disadari.

Tadi aku ke meja seterikaan hanya untuk mendapati bahwa kemejaku bolong. Kebakar dengan bentuk persis seterika. Bhin lupa mendirikan seterikaan sehingga saat panas, langsung membakar kemejaku. Aku berteriak kalap memanggil Bhin.

"BHIIIIINNNNNN." Teriakku. Nggak cuma Bhin yang datang tapi semua. Mas Tunggal bahkan masih pakai handuk yang melilit pinggangnya.

"Asep, apaan lagi sih? Kayak di hutan beneran deh. Aa..." ucapan Bhin terhenti melihat kemeja yang kuangkat.

"Eh, itu nyaris bolong Sep. Kamu jangan pakai itu ya buat wawancara. Ndak elok," Bhin ngomong dengan tampang nggak berdosa.

"Siapa juga yang bikin kayak gini? Kenapa kamu lupa angkat seterikaannya pas nyolokin ke listrik?" Seruku masih kalap. Dadaku naik turun karena emosi yang terluapkan. Wajah Bhin pucat pasi, baru ingat rupanya dia yang menyebabkan kemejaku nyaris bolong.

*

Setelah mengucapkan salam, aku masuk rumah dengan lesu. Hanya ada Mbah di rumah siang itu. Sehabis wawancara tadi, aku memang langsung pulang karena kebetulan juga hari ini nggak ada kuliah.

Mbah ada di ruang televisi, menonton acara entah-apa sambil meminum jus jeruk. Aku duduk di sampingnya, lalu menyenderkan kepala ke sofa.

"Gimana wawancaramu, Sep?" Tanya Mbah sambil menatapku penuh selidik sementara aku menghela nafas.

Tadi pagi setelah insiden kemeja bolong, Rarina tetap nggak nemuin kemeja putih. Tumpukan bajuku penuh berisi kaos atau polo shirt. Mas Tunggal sempat menawarkan kemejanya, tapi terlalu sempit buatku. Malah jadi kayak geng yuk-hayuk. Bikin merinding-lah kalau lihat aku pakai kemeja kayak gitu. Punya Bang Tomas? Setali tiga uang sama Mas Tunggal. Sempit semua.

Akhirnya Rarina mengusulkan agar aku memakai kemeja pink pucat.

"Demi apa, Rari? Kamu tega menjerumuskan aku pakai kemeja warna norak itu?" Aku menatap nggak percaya dengan usul Rarina.

"Yah, Sep. Warnanya nggak pink banget kok. Lagian ini kan kamu uda telat. Udah pakai aja." Sahut Rarina santai. Ya iyalah dia santai, setelah lupa nyeterikain bajuku, dia tega banget ngebuat aku pakai baju warna begini. Ya Allah, malu bangetttt, batinku sambil meringis.

Tapi aku bisa apa untuk melawan detik yang terus berputar? Waktuku tinggal 25 menit untuk sampai ke tempat wawancara. Jadi, terpaksa kuterima usul memakai kemeja pink pucat itu sambil melemparkan pandangan seribu granat buat Bhin dan Rarina.

Sampai di tempat wawancara, ternyata masih ada waktu ekstra lima menit. Aku bergegas ke bagian resepsionis. Awalnya aku heran kenapa si Mbak resepsionis kok mengulum senyum itu. Ah, mungkin dia terpikat sama kegantenganku ya.

"Silakan masuk, Mas. Pak Andika sudah ada di ruang wawancara." Lalu mbak resepsionis mengarahkan jalan menuju tempat wawancara.

Di dalam ruangan itu sudah ada seorang laki-laki muda yang berpakaian rapi dan sedang bekerja dengan laptop. Saat aku mengetuk pintu dan mengucap salam, dia mengangkat mukanya dan tersenyum.

Sesi wawancara berjalan dengan baik, menurutku ya. Pak Andika sangat ramah. Terakhir, sebelum selesai, beliau bertanya, "ngomong-ngomong, di pengumuman interview disebutkan memakai kemeja putih. Kenapa kamu pakai kemeja pink, Sep?"

Otakku mendadak macet. Mau bilang kelunturan, nggak mungkin banget. Jadi aku memilih bicara jujur saja.

"Anu, Pak, kemeja saya kebakar dan nyaris bolong kena seterikaan tadi pagi. Jadi saya terpaksa pakai yang ini karena saya hanya punya satu kemeja putih." Jawabku terbata sambil menunduk.

Pak Andika hanya mengangguk-angguk lalu sesi wawancara itu selesai. Sebelum keluar dari gedung, aku sempat menyapa mbak resepsionis.

"Silakan, Mas Asep. Semoga beruntung ya. Kan udah pakai kemeja pink." Lalu dia tertawa lebar melihat muka piasku.

Jadi, dia dari tadi nahan ketawa ya. Nahan ngetawain aku. Sial, gara-gara Bhin dan Rarina nih. Aku pulang masih dengan hati mendongkol.

*

Mbah tertawa mendengar ceritaku. Dia mengusap kepalaku seakan-akan aku ini anak kecil.

"Asep, orang yang baik akan menilai dari "isi" seseorang bukan hanya "tampilan" luarnya saja. Belum tentu juga kamu ditolak kerja hanya karena pakai baju pink. Sudahlah, minum jus jeruk biar hatimu adem nih." Mbah menyodorkan segelas jus jeruk.

Aku merenungi ucapan Mbah. Benar juga sih, aku kan sudah berusaha sebaik-baiknya dalam wawancara tadi. Hasil akhirnya belum tentu diputuskan hanya karena sehelai kemeja. Hatiku sedikit terhibur. Mudah-mudahan aku diterima bekerja, harapku dalam hati.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro