Si Meong

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Writer's pov

Pagi yang damai dan tenang di perbatasan Sleman dan Jogja. Langit cerah, burung-burung bersiul menyanyi datangnya pagi dan ayam berkokok merayakan terbitnya matahari.

Beberapa orang terlihat menyapu halaman dan ada juga yang sudah sibuk memandikan burung-burung peliharaan.

"BHIIIIIINNNN." Sebuah suara terdengar dari rumah bercat putih dengan banyak pohon mangga di halaman depan dan halaman samping. Usai sudah bulan madu damai dan tenang bersama pagi hari. Rumah keluarga Setiowidjojo yang selalu ramai, terkadang membuat orang yang lewat heran. Ini rumah atau pasar malam?

Di dalam rumah keluarga Setiowidjojo, terlihat seorang pemuda yang tampak marah. Matanya seakan keluar sinar laser yang mengarah ke gadis mungil berkuncir kuda yang sedang cengar-cengir dengan polos.

"Siap, Bang. Kenapa sih teriak-teriak? Takut ya kalau Bhin jauh. Hem, emang Bhin tau deh kalau jauh pasti kangen kan?" Cerocos gadis itu. Rambutnya bergoyang-goyang seiring dengan ucapannya.

"Kangen kangen, kepala kamu." Sembur pemuda yang bernama Tomas itu.

"Oh, abang kangen kepala aku? Buat diapain Bang? Iya sih aku kan imut-imut. Nggak nyangka ya bisa dikangenin abang." Gadis bernama Bhin itu tersipu-sipu sendiri. Sementara, Tomas menepuk jidatnya.

"Kamu, bawa apaan ini?" Tanya Tomas menunjuk sesuatu di lantai, berusaha mengabaikan kata-kata yang di cerocoskan Bhin.

"Loh, masa abang nggak tau namanya? Ini pasti bercanda ya kan?" Bhin tertawa riang.

"Apa sih ribut-ribut?" Seorang gadis berambut pendek keluar dari kamar. Rarina namanya.

"Ini, Ra. Masa dia bawa-bawa itu," sahut Tomas ketus.

"Ya ampun, kamek kira apa. Tuh, Bhin mungut dia di pinggir selokan." Rarina menguap lalu berjalan menuju kamar mandi. Sementara Tomas menatap Bhin semakin tajam.

"Kamu mungut itu di pinggir selokan? Tau nggak dia bisa bawa banyak penyakit loh. Dekil begini. Buang lagi sana." Mata Tomas mendelik, nafasnya naik turun.

"Yah, abang. Kasian tauuu ini. Nanti kalau dimakan anjing gimana. Lagian lihat deh matanya, so sweet kan? Cantik kan?" Bhin berkata manja sambil mengangkat si Meong, kucing yang dipungutnya tadi malam.

Yah, memang sih kucing kecil ini rada nggak keruan. Tapi setelah dimandiin pasti bersih deh. Lagipula Bhin berencana mau ke dokter hewan yang buka praktek di pinggir jalan. Binatang ini ditemukan Bhin menggeletar kedinginan di samping got tadi malam. Matanya yang begitu jernih, berbinar menatap Bhin. Detik itu juga Bhin memutuskan untuk membawanya pulang dan memeliharanya.

"Huachi," Tomas bersin saat Bhin mengangkat si Meong. Tidak hanya sekali, tapi Tomas bersin berkali-kali. Sampai dia harus duduk dan mengambil sekotak tisu.

Bhin mengangkat bahu dan membawa Meong ke dapur. Diberinya makan dan minum. Mbah Putri Sekar Setiowidjojo menatap kucing itu.

"Baru kamu temuin ya nduk? Kamu mau pelihara dia?" Tanyanya dengan senyum lembut.

Bhin mengangguk mantap.

"Biar nanti Bhin yang urus makan dan minumnya, Mbah. Bhin juga akan bawa ke dokter untuk di cek kesehatannya sama di mandiin biar bersih."

Mbah tersenyum lembut. Cucunya satu ini memang senang binatang. Bhin nggak segan-segan merawat binatang yang terlantar. Tapi, ada sesuatu yang mengganjal pikiran.

"Bhin, usahakan kucing itu jangan dekat-dekat Bang Tomas ya. Abang alergi dengan bulu kucing. Bisa-bisa dia bersin sepanjang hari."

Bhin menatap Mbah kaget. Pantesan, tadi abang sebal banget lihat Bhin bawa Meong.

Sambil mengangguk, Bhin melayangkan pandang ke luar dapur. Bang Tomas terlihat membungkukkan tubuh lalu bersin tiga kali.

*

Siang ini, Meong sudah cantik. Tadi pagi Bhin memandikannya. Juga sempat membawanya periksa di dokter hewan depan gang rumah. Syukurlah, kucing kecil ini sehat.

Bhin mengelus bulu halus Meong sambil menatap matanya. Mata Meong terasa istimewa, karena bukan berwarna kuning seperti kucing lainnya melainkan berwarna biru untuk mata kanan dan kehijauan untuk mata kiri.

"Ra, lihat deh si Meong warna matanya beda kanan kiri." Bhin menyikut Rarina yang sedang melakukan ritual bengongnya kalau akhir pekan.

"Hah? Oh iya. Ya ampun, kok bisa? Ih. Keren banget. Mas Tunggal lihat deh, mata kucingnya beda kanan kiri." Rarina menyikut Mas Tunggal yang lagi baca tabloid dengan khusyuk.

"Wah iya. Keren juga. Lo nemu di mana, Bhin?" Tunggal mengelus bulu lembut Meong yang mendengkur kegirangan dielus-elus terus.

Siang itu rumah ramai dengan celoteh ajaib. Rarina bilang, mungkin Meong adalah keturunan bangsawan kerajaan kucing. Makanya mata Meong berbeda warna satu sama lain. Memang ya, dia khayalannya suka berlebihan.

Tunggal bilang, Meong adalah kucing yang dikutuk. Tadinya dia manusia, lalu dikutuk menjadi kucing. Warna mata yang berbeda itu tanda bahwa dia kucing ajaib. Baiklah, imajinasi Tunggal memang berlebihan.

Asep dan Mbah Putri juga ikut mengerumuni si Meong dan mengelusnya. Hanya satu orang yang sama sekali nggak mendekat dan hanya bisa menatap dari kejauhan dengan mata tajamnya.

*

"Meong, meong di mana? Makan yuk." Bhin memanggil Meong sepulangnya dari Kampus. Heran, kemana ya kucing kecil ini? Biasanya dia menyambut kedatangan Bhin.

Sudah dua minggu Meong tinggal bersama keluarga Setiowidjojo. Semua orang menyambutnya dengan hangat. Kecuali, satu orang. Siapa lagi kalau bukan Tomas.

Bhin mencari-cari Meong ke seluruh penjuru rumah. Tapi dia nggak ada di mana-mana. Bhin bahkan mencari sampai ke tempat sampah dan mesin cuci.

"Cari apa, Bhin? Kucing kamu hilang?" Tanya Tomas yang baru saja masuk ke dalam rumah. Bhin menganggukan kepalanya. Tomas tersenyum senang.

"Syukurlah kalau dia hilang," Tomas tersenyum senang sambil melangkah ke dalam kamar.

Bhin mendelik melihat sikap Tomas. Eh, kenapa jadi curiga ya Bang Tomas terkait dengan kasus hilangnya Meong.

Sudah satu jam berlalu. Bhin duduk di ruang tamu sambil memandangi hiasan dinding. Berharap, tiba-tiba Meong muncul ke hapannya.

Tomas yang melewati Bhin, tertawa. Ih, gembira banget sih kalah Meong hilang. Jangan-jangan...

"Abang, abang ya yang buang Meong. Ayo ngaku," seru Bhin.

"Eh enak saja kau bicara. Kucing kau itu yang keluyuran kesana kemari. Memang aku nggak suka kucing, tapi bukan berarti aku kejam seenaknya membuang binatang." Tomas menjawab sewot.

"Kalau nggak dibuang, dia di mana dong?" Bhin mengusap air matanya yang mendadak turun.

Iba juga Tomas melihat gadis ini menangis. Ditepuknya pundak sepupu perempuannya itu.

"Mungkin dia lagi jalan-jalan Bhin. Kau saja kan kalau kelamaan di rumah suka bosan. Mungkin kucing kau juga gitu, Bhin."

Bhin hanya terdiam. Sampai malam pun ternyata Meong belum pulang. Mbah bilang, terakhir melihat Meong itu saat Bhin mau berangkat kuliah.

Di halaman samping, Bhin duduk termangu sambil makan kuaci rasa susu. Terkenang Meong yang setia mendengarkan ceritanya, khayalan ajaibnya sampai gosip-gosip.

"Di mana kamu, Meong?" Sementara langit tetap terdiam.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro