Ketahuan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rarina's pov

"Bhin, tolong ambilkan tepung itu." Aku menyuruh Bhin mengambilkan tepung yang ada di hadapannya.

Bhin memberikannya padaku sambil bertanya, "buat apa sih, Ra? Repot banget bikin-bikin roti. Tinggal beli aja kan beres."

Aku tersenyum. Kalau saja Bhin tahu, betapa enaknya roti buatan sendiri hem, pasti jatuh hati deh. Apalagi roti yang dibuat dengan penuh cinta.

Untungnya walaupun bawel, dia mau nemenin aku ngoprek-ngoprek dapur buat bikin roti tawar dan cinnamon roll.

Setelah roti dan cinnamon roll masuk ke oven, aku meluruskan punggung dan beranjak membuat peach tea. Seger deh minum peach tea siang-siang gini. Aku membuatkan dua gelas besar, untukku dan Bhin. Kami hanya berdua di rumah siang ini.

Sambil meluruskan kaki, aku dan Bhin ngobrol-ngobrol tentang macam-macam. Karena sering ngobrol, sedikit banyak aku jadi tahu tentang anak berambut hitam panjang yang ajaib ini.

"Menurut kamu, sekarang mereka lagi ngomongin apa ya?" Tanya Bhin sambil berusaha mencungkil buah leci dan peach dalam teh. Sayangnya dia berusaha mencungkil pakai tusuk gigi.

Sambil mendesah, aku memberikan sendok bertangkai panjang ke dia. Bhin hanya nyengir lebar sambil mengucapkan terima kasih dan melempar ciuman. Aku menggeleng-geleng dan tertawa.

"Menurut kamu, apa episode selanjutnya?" Tanyanya lagi.

"Kamu penasaran yaaaa?" Aku menggodanya.

"Eh, emang kamu nggak penasaran Ra?" Sambarnya sedikit heran.

Aku hanya mengangkat bahu. Sebenarnya sih penasaran, tapi toh nanti juga akan di ceritain. Kejadian dua hari lalu memang cukup mengegerkan. Ingatanku melayang lagi ke hari itu.

*

Mukaku merah padam saat mendengar Bhin memasukkan namaku dalam daftar tersangka pengambilan uang hasil penjualan panen. Sampai kapanpun, aku nggak akan mencuri. Enak saja, orangtuaku mengajariku dengan baik.

Untungnya Bang Tomas mencoba berpikir jernih. Ada tiga orang yang menjadi tersangka : aku, Pak Wawan dan seseorang entah siapa.

Mbah mencoba membela Pak Wawan, berkata bahwa Pak Wawan sudah lama bekerja dengan Mbah dan selama ini nggak ada masalah. Sementara aku, Mbah yakin aku nggak akan mencuri. Mbah tahu bagaimana aku di didik.

Kondisi Pak Wawan nggak menguntungkan. Alibinya terpatahkan ketika Asep melihatnya datang dan masuk sementara dia mengaku belum masuk rumah.

Bang Tomas, mengurut pelipisnya frustasi.

"Bang, sudahlah. Mbah rela kehilangan uangnya. Ikhlas. Ora po po." Mbah mengelus lengan Bang Tomas perlahan.

"Nggak bisa gitu, Mbah. Kejujuran harus dijunjung. Kita harus menemukan pelakunya." Seru Bang Tomas.

Aku hanya menggaruk-garuk hidung yang nggak gatal. Pak Wawan duduk serba salah di ujung kursi ruang tamu. Bhin menatap semuanya bergantian dengan penuh minat. Sementara Asep, dia lagi sibuk di dapur. Lapar, katanya. Emang kembaran ajaibnya Bhin ini bener-bener aneh.

"Udah, minum dulu deh." Asep datang menating baki berisi gelas-gelas minuman.

"Jangan," Bang Tomas menghalangi.

"Jika orang yang berbuat jahat lalu minum, maka kejahatannya akan tertelan kembali," katanya lagi. Asep bengong sesaat.

"Kata siapa?" Tanyanya dengan raut polos.

"Detektif conan." Jawab Bang Tomas tegas dan meyakinkan. Sementara mulut Asep dan Bhin membentuk huruf O sempurna. Aku menepuk jidatku, sepertinya ajaib itu menular seperti wabah penyakit. Mengerikan.

Oke, fokus ke kejadian pencurian uang. Abaikan saja deh makhluk-makhluk langka nan tidak menggemaskan itu.

Pak Wawan mengusap kepalanya. Dia berulang kali berkata bahwa dia nggak masuk ke dalam rumah. Bahwa Asep bisa saja salah lihat.

Mbah yang terdiam berkata, "sudahlah, aku ikhlas kok. Allah mboten sare. Kalau memang itu rejekiku, Alhamdulillah. Kalau bukan rejeki wes ra po po."

Habis perkara. Titik. Stop sudah. Tamat.

Tapi demi mendengar ucapan Mbah, Pak Wawan tiba-tiba tersedu. Aku kaget sekaligus heran melihatnya. Wajah Pak Wawan berubah kelabu sementara air matanya terus mengalir.

Bhin menepuk-nepuk bahu Pak Wawan menenangkan.

"Cerita saja Pak, kalau itu bisa melegakan hati Bapak."

Lalu meluncurlah cerita Pak Wawan seperti air bah yang lama tertahan. Tentang anaknya yang sedang sakit. Tentang betapa hancur hatinya melihat anaknya berjuang antara hidup dan mati. Tentang harta yang sudah habis terpakai demi anaknya. Pak Wawan menghela nafas sebelum melanjutkan ceritanya.

"Tadinya Bapak nggak ada niat untuk datang kembali setelah antar hasil panen. Tapi, Bapak terpikir untuk pinjam uang ke Bu Setio. Akhirnya Bapak datang. Cuma ragu-ragu terus. Bapak masuk ke dapur. Nggak ada siapa-siapa. Ada amplop penuh uang di meja dapur. Banyak uangnya. Ba-bapak sempat terpikir perbuatan hina itu." Air mata kembali berjatuhan di pipi lelaki itu.

"Saat tangan Bapak terjulur siap mengambil, Bapak ingat perkataan orangtua dulu. Mereka berkata bahwa semiskin-miskinnya orang, ada dua hal yang harus dijaga. Iman dan kejujuran. Kalau Bapak yang miskin ini berani menggadaikan iman dan kejujuran, Ya Allah, betapa malunya Bapak. Maka, Bapak keluar secepat mungkin."

"Jadi, Bapak nggak ambil uang itu?" Tanya Asep.

"Bapak nggak ambil selembar pun. Sampai di luar, Bapak sempat bimbang. Akhirnya Bapak memutuskan untuk kembali dan mencoba meminjam uang. Saat itu, Bapak melihat ada seseorang keluar dari rumah dan lari ke arah barat sana." Pak Wawan kembali menghela nafas dan mengusap air mata yang tersisa.

Tiba-tiba terdengar suara ribut di luar. Mas Tunggal masuk sambil menyeret seorang pemuda yang terus meronta-ronta bersama dengan Pak RT.

Apalagi ini? Pikirku bingung.

"Kalian kehilangan uang? Ini aku bawa pencurinya." Suara Mas Tunggal membuyarkan pertanyaan kami.

Aku tahu pemuda yang saat itu dipegang erat oleh Mas Tunggal. Namanya Roman. Dia pengangguran yang kerjanya duduk-duduk di warung pinggir jalan, terkadang minum minuman keras dan meminta uang ke orang-orang yang lewat. Aku perhatikan, postur tubuh roman dan Pak Wawan mirip. Dan lagi, mereka sama-sama memakai baju biru gelap.

"Mas Tunggal, tahu dari mana?" Tanyaku ragu-ragu.

"Aku dengar sendiri dia sesumbar di warung barat itu. Aku tadi pulang kuliah, mau beli minuman dulu di warung itu. Saat itu aku dengar dia sesumbar memiliki banyak uang yang diambil dari rumah Setio. Aku rekam pembicaraannya lalu bergegas ke Pak RT. Kami berdua balik dan segera bawa dia ke sini." Papar Mas Tunggal.

"Benar begitu?" Tanya Mbah lembut ke arah Roman.

Raut muka Roman berubah. Dia menunduk dalam seakan nggak berani memandang Mbah. Lalu, dia mengangguk. Mbah menghembuskan nafas lega. Setidaknya perasaannya benar, bahwa Pak Wawan nggak bersalah.

Namun, tiba-tiba saja Roman menendang tulang kering Mas Tulang dan mendorong Pak RT lalu mencoba kabur. Bhin berteriak saat melihat kejadian itu. Aku masih shock saat melihat anak ajaib itu berlari secepat mungkin lalu menjatuhkan Roman.

Suasana hiruk pikuk. Warga yang keluar mendengar keributan segera tahu ceritanya. Mereka mau memukuli Roman pula. Untunglah sebelum itu terjadi, polisi sudah datang.

*

"Hem, dua hari kemarin memang ramai ya." Kata Bhin sementara aku mengangguk-angguk.

"Alhamdulillah, kasus terselesaikan ya. Sayang, kita nggak boleh ikut. Padahal aku kan penasaran mau ikut ke kantor polisi" seru Bhin memanyunkan bibirnya. Aku tertawa keras.

Saat ini, Mas Tunggal dan Bang Tomas sedang dipanggil lagi ke kantor polisi untuk melengkapi laporan sebagai saksi. Sedangkan Mbah dan Asep sedang menjenguk anak Pak Wawan yang sakit.

Terdengar alarm tanda roti dan cinnamon roll sudah matang. Aku bergegas ke dapur dan mengeluarkannya. Wah, harummmm, pikirku senang.

Bhin bersorak senang melihatnya. Dia makan dengan lahap, sampai-sampai aku harus memisahkan sebagian supaya yang lain juga kebagian.

"Katanya mendingan beli," godaku.

"Enakan ini, Ra. Beneran deh." Mata Bhin merem melek keenakan sementara aku tertawa melihat tingkah anak ajaib ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro