Praduga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bhin's pov

Hari ini kuliah ditiadakan. Yeaayy, asyikkk. Kebetulan hari ini Yisna, salah satu teman kampusku ulang tahun. Dia terharu waktu aku kasih bingkisan kecil. Aku selalu suka memberikan kejutan untuk teman-teman dan saudaraku. Meskipun nilainya nggak seberapa, tapi mudah-mudahan niat berbuat baik sampai ya.

Yisna traktir aku dan beberapa teman, di soto ayam 61. Duh, enak banget deh makan disini. Kapan-kapan ajak Asep sama Rarina ke sini pasti seru deh.

Siang yang seru. Setelah makan, aku dan Yisna pulang bareng naik transjogja. Lumayan, jadi aku ndak nyasar lagi kan ya.

Sampai di rumah, terlihat Pak Eding dan Pak Wawan yang sibuk mengangkut salak. Dua hari yang lalu, setelah panen, Bang Tomas menentukan harga pasar lalu meminta tolong Pak Eding untuk menjual duku dan salak. Sementara Pak Wawan membantu kami untuk membagikan kepada tetangga dan beberapa panti asuhan. Soalnya kami sudah harus masuk kuliah dengan segala macam tugasnya lagi.

Mbah bilang, "sebanyak-banyaknya harta yang kamu kumpulkan, ndak akan sampai dibawa mati. Cuma amal dan iman yang akan menemanimu."

Menurutku, pemikiran Mbah itu benar. Lagipula, membahagiakan orang lain itu menyenangkan.

Setelah memberi salam pada Pak Eding, aku beranjak masuk ke dalam rumah dan menuju dapur untuk mengambil minum. Ada Bang Tomas disana dengan kalkulator dan buku keuangan. Bang Tomas terbiasa memegang perkebunan, jadi Mbah mempercayakan hasil penjualan panennya pada Bang Tomas.

Aku menggumamkan sapaan untuk Bang Tomas, lalu segera beranjak menuju kamar. Terus terang, aku agak segan sama Bang Tomas. Bukan karena badannya yang besar itu, tapi sama tatapannya yang mengintimidasi. Bikin bulu kuduk merinding. Hiiii...

"Bhin, habis istirahat kau bantu aku disini ya," kata Bang Tomas.

Aku memejamkan mata, menghela nafas lalu menjawab, "ya Bang."

Apalah daya, aku harus datang ke hadapan wajah es. Sengaja ku lamakan waktu untuk mengganti baju. Tapi ingat mata Bang Tomas yang seram, aku segera keluar.

"Kenapa Bang? Perlu bantuan Bhin?" Tanyaku sambil mengais-ais keberanian.

"Kau hitung pemasukan hari ini. Catat baik-baik di kolom debit. Bandingkan dengan pemasukan hari kemarin." Kata Bang Tomas dengan pelan namun tegas.

Aku hanya termangu menatap buku keuangan itu. Apa yang harus ditulis ya tadi? Kolom depit apa depot ya?

"Kenapa, Bhin? Buruan tulis. Kau pikir waktuku cuma buat nungguin kau bengong?" Duh, gawat Bang Tomas mulai melotot. Tolong aku gusti, batinku menjerit.

Sambil menelan ludah, aku bertanya, "gimana Bang nulisnya? Eh, apa itu tadi, kolom depit ya?"

Bang Tomas menangkupkan tangannya ke muka. Menatapku tidak percaya.

"Kau lulus SMA kemarin Bhin? Ini kan sederhana. Otak kau, kau taruh dimana?"

"Bhin, nggak suka akuntansi Bang. Makanya masuk ke kelas bahasa." Cicitku pelan.

Bang Tomas menatapku sekali lagi. Aduh, rasanya jantungku lepas. Tuh liat deh jempolku aja gemeter.

"Sini, aku ajarin kau."

Aku menghela nafas. Bang Tomas mengajariku cukup telaten, sampai aku bisa mengerjakan pembukuan sederhana itu.

Waktu kami lagi bekerja, Rarina masuk sambil nyanyi-nyanyi. Dia heran lihat aku dan Bang Tomas mendadak dangdut. Mendadak akrab maksudnya.

"Eh, tumben akur beduak? Abang sehat kan? Biasanya ngomel-ngomelin Bhin mulu, bilang kebanyakan micin." Rarina meledek.

Bang Tomas mengeluarkan tatapan mautnya. Lihat deh, kaya ada api keluar dari matanya. Huhuhu, poor Rarina. Hangus pasti dia dalam sekejap mata.1

Bang Tomas hanya menghela nafas lalu menyuruh Rarina pergi atau ikut bantuin. Tentu bocah itu milih pergi setelah lihat mukaku yang sekarang mirip penggaris setengah lingkaran. Pusing.

Setelah disandera 1 jam lamanya, akhirnya aku dibebaskan. Aku keliling rumah, nyari siapa yang bisa digangguin. Mbah lagi asyik sama tanamannya. Rarina, udah kabur entah kemana.

Akhirnya, aku putusin untuk menghampiri Mbah. Apa sebutan Mas Tunggal, ah ya Yang Mulia.

"Yang Mulia Mbah Putri Sekar Setiowidjojo, sudikah jika hamba menemani Yang Mulia?" Mbah tertawa lepas mendengarnya.

"Silakan, dayang." Kami tertawa terkekeh-kekeh.

"Tolong potong daun yang sudah menguning di sana ya Nduk." Aku mengangguk lalu membantu Mbah sambil ngobrol seru. Ah, sore yang damai, pikirku. Pikiran yang terlampu terburu-buru.

Tiba-tiba terdengar teriakan Bang Tomas. Mbah buru-buru merapikan alat berkebunnya lalu mengajakku masuk ke dalam rumah.

"Ono opo tho, Bang?" Tanya Mbah dengan raut cemas.

"Ada yang ambil uang, Mbah." Seru Bang Tomas dengan wajah panik.

"Uang opo? Sek, minum dulu Bang. Ceritain yang runut." Mbah memberikan gelas berisi air.

Bang Tomas berulang kali menyugar sambil menceritakan apa yang terjadi. Setelah aku menghitung uang penjualan buah hari ini, aku menaruh nya dalam amplop putih panjang di meja dapur. Kemudian, Bang Tomas mau ke toilet. Tanpa pikir panjang, ditinggalkannya buku keuangan dan amplop uang itu.

Ketika keluar dari toilet, Bang Tomas mau menyimpan uang dan buku keuangan. Tapi amplop uangnya terasa lebih tipis, penasaran Bang Tomas pun menghitung uangnya.

"Aku hitung berulang-ulang, hasilnya tetap sama. Berkurang tiga ratus ribu, Mbah." Seru Bang Tomas lagi.

Aku ikut-ikutan mengintip lalu mendesah. Siapa ya yang tega mengambil uangnya, batinku.

"Ada apa sih rame banget? Lagi pada ngitung uang ya? Tadi aku intip. Wuih, lumayan juga ya keuntungan jual buah." Rarina melangkah mendekat sambil berceloteh. Lalu terdiam ketika melihat raut muka kami yang muram. Dia menyenggolku sambil memberi kode, ada apa sih?

Aku mengangkat bahu sambil menjawab, "ada yang ambil uang hasil penjualan buah."

Mata Rarina membesar ketika mendengar jawaban itu.

"Yakin, kamu Bhin itu ndak salah hitung?" Tanyanya.

"Ya, ndaklah. Aku kan catat di buku keuangan. Bang Tomas juga lihat dan ngecek ulang kok." Aku membela diri.

"Kalian ada lihat, siapa yang masuk ke dapur?" Tanya Bang Tomas. Matanya menusuk setajam silet.

Aku berpikir dan menimbang-nimbang. Ketika itu aku ada di halaman samping bersama Mbah. Memang aku nggak bisa lihat langsung ke dapur. Tapi aku bisa melihat ruangan yang menghubungkan ruang depan dengan dapur.

"Sebenarnya, Bhin lihat ada dua orang yang lewat Bang." Kataku pelan sambil berpikir.

"Pertama, aku kira itu Asep pulang. Karena dia jalan menuju kamar Asep, lalu ke dapur. Tapi karena Asep masih ndak ada di sini, berarti itu bukan dia." Aku berpikir lagi.

"Kedua, aku kira itu Pak Wawan. Seenggaknya siluetnya seperti Pak Wawan."

"Nggak mungkin Pak Wawan. Dia belum datang dari antar ke Panti Asuhan." Sergah Bang Tomas.

"Berarti ada tiga kemungkinan Bang." Aku menyahut.

"Orang mirip Asep, orang mirip Pak Wawan dan .... Rarina."

"Lah, kenapa kamek kena?" Rarina nggak terima.

"Praduga nggak bersalah Ra. Kita membicarakan kemungkinan yang terjadi. Bukan menuduh kamu kok." Aku menenangkan Rarina.

Bang Tomas tampak berpikir. Saat itulah Pak Wawan datang. Dia heran melihat kami berdiri sambil bicara serius.

"Ono opo, Bu?" Tanyanya pada Mbah.

"Ora ono opo-opo, Pak. Eh, Pak Wawan lihat ada orang mencurigakan di luar?" Mbah balik bertanya.

"Ndak, Bu. Eh ... ," Pak Wawan tampak berpikir.

"Tapi tadi saya lihat ada orang lari dari rumah ini ke arah luar kampung, Bu." Lanjut Pak Wawan.

Bang Tomas tampak geram. Dia mau segera keluar rumah. Mbah menahannya.

"Sabar, Bang. Jam berapa, Pak Wawan lihatnya?" Tanyaku.

"Sekitar 10 menit lalu, nduk."

Aku berpikir. Selagi berpikir, Asep masuk dengan santai.

"Eh lagi kumpul. Ada apa sih, kok serius amat. Loh Pak Wawan balik lagi. Ada yang ketinggalan, Pak?" Tanya Asep.

"Dih Asep, Pak Wawan kan baru dateng ."

"Nggak kok. Tadi aku lihat sekitar 20 menit lalu masuk ke rumah terus keluar lagi. Tapi aku nggak manggil. Soalnya lagi ribet ngurusin motor. Mogok tadi."

Aku berpandangan dengan Mbah. Sepertinya persoalan akan rumit, pikirku.

*

Halo, bagian ini akan lebih panjang ya. Jadi berlanjut di part berikutnya 😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro