Panen Raya (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rarina's pov

Perkebunan keluarga Setiowidjojo

Aku pikir, para pekerja perkebunan itu orang yang sabar. Bayangkan pekerjaan mereka mulai dari membuka lahan, kemudian menyiapkan tanah agar siap ditanami. Setelah ditanami pun, harus dirawat agar tanaman sehat, tidak terkena hama yang mengganggu dan tumbuh subur berbuah.

Apa yang terjadi jika mereka ndak sabar? Bisa-bisa, perkebunan dalam hitungan bulan akan terbengkalai. Terus semak belukar akan kembala merajai.

"Ra, coba kau pilih buah yang bagus dengan benar. Jangan ngelamun saja kau," seru Bang Tomas.

Aku mencebikkan bibir. Huh, mentang-mentang Mbah yang minta Abang jadi kepala panen ini, jadi gampang banget nyuruh-nyuruh.

Setelah berjuang keras panen salak dan duku selama 2 hari kemarin, hari ini kami mulai menyortir buah. Memilih mana yang akan dijual, dibagikan ke tetangga dan dimakan sendiri.

Mbah sudah pulang ke rumah kemarin siang. Mempercayakan segalanya kepada Bang Tomas. Asep sudah sembuh dari gatal-gatalnya. Dan sejak kejadian dia digigit semut, matanya suka jelalatan sebelum naik pohon. Ndak mau ambil resiko dia.

Aku dan Bhin yang sedang memilah salak, bersamaan menguap. Kami melirik berpandangan. Lalu bergidik lagi, teringat kejadian semalam. Mas Tunggal yang melihat kami saling lirik, menyikut Asep. Lalu mereka berdua memonyong-monyongkan bibir mencoba menakuti-nakuti kami. Aku lempar mereka pakai bonggol batang pohon salak.

"Aduh, Ra. Jahat banget sih. Sakit tau. Duh muka gue." Teriak Mas Tunggal sambil mendelik.

"Dih kaya Mas ganteng aja. Tuh gosok pakai bonggol mukanya, biar kinclong." Sahutku.

"Emang gue pantat penggorengan, mesti digosok?" Serunya tidak terima.

"Loh bukan ya? Kok mirip?"

"Tunggal, Rarina. Sekali lagi lempar-lemparan, berantem, aku suruh kalian tebang pilih pohon salak." Bang Tomas menatap kami berdua dan bicara dengan nada datar.

"Bhin, Asep. Sekali lagi aku lihat kalian berantem lewat muka, aku suruh kalian bersihin sarang semut." Asep dan Bhin terlonjak kaget. Ketahuan pas saling menjulurkan lidah.

Bang Tomas lalu keluar ruangan untuk bicara dengan para pekerja untuk menentukan harga panenan. Sebelum keluar, dia sempat bilang ke Asep agar menyisihkan sebagian untuk tetangga.

"Atuhlah kamu, berisik banget sih Ra. Pake berantem lempar-lempar kayu lagi. Sakit tau?" Asep berbisik-bisik. Aku hanya mengangkat bahu nggak peduli.

Sekali lagi, aku menguap. Nggak lama, Bhin pun menguap. Asep menatap kami seolah kasihan.

"Kalian nggak tidur tadi malam? Kenapa? Pantesan mata kalian kaya abis ditonjokin. Hitam-hitam gitu di bawah mata." Katanya menggoda.

"Sekali lagi, kau bahas masalah tadi malam, awas kau ya." Aku mengacungkan tinjuku yang disambut dengan cengiran lebarnya.

Ada apa tadi malam? Kau pasti penasaran kali ya. Baiklah, aku ceritakan. Tapi janji ndak ketawa. Bahkan satu cengiran pun ndak boleh tampak.

*

Malam di perkebunan, suasananya menyenangkan. Beberapa pekerja, terutama yang belum memiliki keluarga, memilih menemani kami.

Bang Tomas mengajak kami untuk membuat jagung bakar sesudah makan malam. Jadilah Asep dan Mas Tunggal beranjak untuk mencari jagung.

Aku dan Bhin yang bingung mau ngapain, berjalan ke arah belakang rumah. Kami mengobrol banyak hal yang remeh temeh. Mulai dari gosip, cerita masa lalu sampai tentang bintang di langit.

Tiba-tiba Bhin mencengkram tanganku. Dia kelihatan tegang sekali.

"Ra, itu apa Ra?" Tanya Bhin dengan gugup.

Aku melihat arah yang ditunjuk Bhin dan memicingkan mata, ndak tampak apa-apa. Tapi sebelum aku membuka mulut, ada suara yang menyapa.

"Belum istirahat, nduk?" Sapa seorang Ibu yang keluar dari pintu belakang rumah.

"Eh, belum bisa tidur Bu. Ada rencana mau bakar jagung dulu." Aku menyahut, sementara Bhin seakan menciut di belakangku.

"Oh, masih mau bakar jagung. Ya ya. Senang sekarang ramai di pondok ini. Oh iya, ibu belum ngenalin diri. Saya iyem." Bu Iyem mengulurkan tangan yang segera kusambut. Udara terasa dingin, aku merapatkan jaket sambil mengucapkan namaku dan Bhin.

"Saya baru lihat Ibu nih. Gantian ya Bu sama yang lain?" Aku bertanya. Bu Iyem tertawa kecil.

"Iya, gantian nduk jaga rumah ini." Jawabnya.

Kami lalu mendengarkan cerita Bu Iyem yang sepertinya sangat mengenal perkebunan ini. Ah, sayang Mbah udah pulang. Kalau ndak, pasti seneng deh Mbah ngobrol sama Bu Iyem.

Obrolan kami terputus dengan teriakan Mas Tunggal dari luar. Aku dan Bhin bergegas ijin untuk keluar dan membantu membakar jagung11.

Kami pun membakar jagung. Aku oleskan mentega banyak-banyak lalu campur dengan olesan sambal. Hm, enaaakkkk, batinku.

Para pekerja perkebunan yang tinggal, Pak Eding dan Pak Wawan. Kami asyik mengobrol sambil membakar jagung.

"Pak Eding, tolong panggilin si Ibu dong. Hampir siap nih jagung bakarnya." Kata Bhin sementara Pak Eding menatap Bhin.

"Pak? Kok bengong?" Tanyaku heran melihat kelakuan Pak Eding.

"Ibu siapa sih, nduk?" Tanya Pak Eding sambil mengedarkan pandangan.

"Itu Pak, Bu Iyem," Jawabku.

Mata Pak Eding membulat. Lalu menyikut Pak Wawan. Aku mengangkat alis, heran melihat kelakuan bapak-bapak itu.

"Nduk, maaf. Neng kene, ora ono sing namane Iyem." Kata Pak Wawan pelan-pelan.

Asep yang sedang mengipasi jagung menoleh pingin tahu. Mas Tunggal yang asyik makan juga berhenti. Bang Tomas mengangkat mukanya dari kertas yang bertebaran di hadapannya.

"Eh, tapi tadi kita kenalan kok Pak. Jabat tangan juga." Bhin angkat bicara.

Pak Wawan mendesah. Akhirnya setelah dipaksa dan dirayu, Pak Wawan pun bercerita yang membuat bulu kuduk kami meremang.

Jadi, dulu disana memang ada yang bernama Iyem. Dia tinggal menjaga kebun bersama suaminya. Sampai kemudian suaminya diculik oleh sebuah pasukan berkedok politik yang memang mencari kader.

Tinggallah Bu Iyem seorang diri. Suatu hari, ketika Pak Setio menengok kebun ini, beliau mendapati Bu Iyem sakit. Lantas Pak Setio segera membawanya ke mantri.

Sayangnya, setelah sekian lama menderita sakit, akhirnya Bu Iyem meninggal.

"Ja-jadi, Bu Iyem itu udah meninggal?" Tanyaku ndak percaya. Bhin mencengkram lenganku sampai sakit sekali.

"Lalu? Yang ta-tadi itu siapa Ra?" Bisik Bhin. Wajahnya pucat pasi. Herannya, ketiga anak cowok kok biasa-biasa aja sih.

"Ya udah, anggep aja bonus lo berdua nginep disini." Mas Tunggal mengedipkan matanya. Bang Tomas hanya mengangkat bahu, lalu mengambil jagung bakar untuk yang kedua kalinya.

Ketika aku dan Bhin masih mematung ndak percaya, tiba-tiba terdengar suara dengan tepukan di bahuku.

"Nduk, mau teh hangat?" Suara lembut Bu Iyem terdengar dari belakangku. Aku menoleh patah-patah sambil menggamit Bhin.

Terlihat olehku, Bu Iyem membawa baki berisi gelas teh. Lalu aku melirik, kalau-kalau yang lain melihat Bu Iyem.

"Kenapa, Ra? Ngomong sama siapa?" Tanya Asep.

Keringat dingin membanjir. Tangan Bhin semakin mencengkramku erat.

"Kenapa, nduk? Kalian diceritakan apa tentangku?" Senyum Bu Iyem menjadi sebuah seringai. Aku dan Bhin kompak menggeleng.

"Kenapa sih, kalian berdua? Geleng-geleng kenapa? Kebanyakan mentega?" Mas Tunggal bertanya heran.

"Em-emang kalian nggak liat?" Bhin bertanya terbata. Sementara yang lain hanya melongo.

"Kalian pikir, mereka mau lihat apa?" Suara Bu Iyem menggelegar sambil menjulurkan tangannya ke arah kami. Aku terlompat kaget dan memejamkan mata sembari bergumam minta ampun. Bhin udah menangis.

"Hahahaha." Suara tawa Bang Tomas terdengar. Aku dan Bhin membuka mata takut-takut sementara para lelaki itu tertawa sampai terbungkuk-bungkuk. Bahkan Bu Iyem pun tertawa. Mukaku memerah karena marah.

"Ini pasti ulah kalian kan?" Bhin berteriak marah sambil tetap menangis dan gemetar.

"JJAAHAAATTTTT SEMUAAAA!" teriak  Bhin yang membuat suasana sepi. Tiba-tiba kurasakan basah yang mengganggu.

Sial, aku menoleh ke bawah sambil merutuk.

*

"Nanti, kalau mau tidur jangan lupa pakai pampers ya, Ra. Siapa tau ngompol lagi. Hahahaha." Kusambut ucapan Asep dengan lemparan bonggol kayu.

Gara-gara ketakutan berat, jadinya aku ngompol. Memalukan. Aib ini namanya aib.

Ah ya, Bu Inem eksis kok ternyata. Dia istri Pak Wawan. Kongkalikong mereka sama trio bebek buat ngerjain aku dan Bhin.

Semalam semua diomelin Bhin sementara aku membersihkan diri. Tapi ya tetap saja nggak bisa nyumpal mulut trio bala-bala itu. Hiks, sedih aku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro