Panen Raya (1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dua minggu berlalu setelah insiden Bhin hilang tempo hari. Suasana di rumah relatif tenang. Seenggaknya, aku bisa tenang ngabisin waktu di kamar dan nggak ada yang ngajak bertengkar.

Aku sedang berkemas. Beberapa hari yang lalu, Mbah meminta kami semua untuk meluangkan waktu di akhir pekan yang kebetulan long weekend karena hari senin, tanggal merah.

Mbah memiliki perkebunan buah. Nggak terlalu besar seperti kebun buah keluargaku di Brastagi, tapi lumayan luasnya. Mayoritas, kebun milik Mbah ditanami buah salak dan duku.

Kami akan menginap di kebun selama tiga hari dua malam untuk membantu panen buah. Dan karena aku sudah terbiasa mengurus kebun, maka panen kali ini aku yang akan bertanggung jawab.

Mbah punya beberapa pekerja yang akan membantu panen. Tapi selebihnya, seperti menjual hasil panen dan sebagainya akan diberikan kepada kami.

Kami berangkat memakai mobil tua Kakek. Sebenarnya lokasi kebun juga masih ada di Sleman. Nggak jauh dari rumah. Tapi karena kami beramai-ramai, jadi naik mobil. Bhin sempat protes. Katanya sempit.

"Kau jalan kaki sajalah sendiri," kataku ketus dan protes Bhin pun tersumpal.

Di perjalanan yang singkat, pun sempat ramai. Tiba-tiba saja ada bau semerbak memenuhi mobil.

"Woi, siapa yang kentut nih?" Teriak Rarina. Asep segera membuka jendela supaya baunya terminimalisir.

Semua serentak menutup hidung sambil menggeleng, kecuali satu orang. Tunggal.

"Normal hoi. Kalau nggak kentut, perut gue bisa kembung sakit." Protes Tunggal saat kami beramai-ramai menjitaknya. Protesnya juga tersumpal saat melihat raut wajah Mbah. Ora elok, mata Mbah berkata itu.

Sesampainya di kebun, kami segera berkenalan dengan para pekerja dan menaruh barang-barang di pondok penjaga kebun.

"Huaaaaaaa segar," si Ratu hutan alias Bhin berteriak, begitu turun dari mobil.

"Abang, aku mau yang panjat-panjat ya," kata Bhin. Matanya berbinar-binar.

"Dasar, monyet," sambar Asep.

"Apa kau bilang?" Bhin tidak terima dibilang monyet. Sementara Asep makin menggoda Bhin dengan ber -uu-aa ala monyet.

Aku menggelengkan kepala melihat kelakuan dua anak kebanyakan micin dan garem itu, lalu fokus ke strategi panen yang cepat. Gaya ya, sebenernya ini karena kami hanya punya waktu tiga hari untuk menyelesaikan panen. Makanya harus dibuat strategi biar selesai dalam tempoe jang sesingkat-singkatnja.

Ada sekitar 10 pekerja di perkebunan ini. Sebenarnya pekerja sudah panen sejak dua hari yang lalu. Jadi tinggal membagi tugas untuk tiga hari ke depan.

Bhin, Rarina dan Asep akan menangani panen duku. Pasti si anak kebanyakan micin, Bhin, itu senang deh. Dia kan paling hobi manjat. Aku dan Tunggal akan panen salak.

Untuk panen duku, kita harus berhati-hati dalam memanjat pohon dan memetik buahnya. Karena duku adalah buah yang mudah rusak. Selain itu, penyimpanannya juga harus benar, yaitu di suhu kurang lebih 15℃. Karena buah duku yang kehitaman, akan kurang laku di pasaran.

Sedangkan salak, agak lebih sulit panennya. Kita harus memotong tangkai tandannya. Selain itu kita harus tebang pilih.

Setelah briefing, kami pun berpencar untuk melaksanakan tugas memanen buah. Sementara Mbah Putri dengan ditemani beberapa istri pekerja, menyiapkan makan siang.

Tumben, selama panen, Tunggal lebih banyak diam dan mengikuti arahanku. Tubuhnya yang kurus, basah oleh keringat.

Aku tersenyum kecil, ah mungkin dia nggak mau kalah saingan sama aku. Memang dalam banyak hal, Tunggal selalu berpikir aku adalah saingannya.

Tiba-tiba terdengar keramaian. Dari jauh terlihat kerumunan orang mengelilingi sesuatu atau seseorang. Terlihat Rarina melesat ke arah pondok. Mbah lari keluar dari pondok bersama beberapa wanita pekerja, semuanya masih memakai celemek.

Aku dan Tunggal bertatapan sebentar, lalu bergegas menuju kerumunan itu. Semakin dekat, terdengar teriakan Asep. Kalau saja tidak melihat wajah paniknya, tentu aku sudah tertawa terbahak-bahak.

Oi, lihat saja di sana, Asep berdiri bertelanjang dada sambil mengibaskan baju dan terus berteriak. Nggak cuma itu, dia juga mulai meloloskan celananya. Beberapa ibu-ibu mulai tertawa sambil menutup matanya malu-malu.

Bayangkan, Asep yang punya badan besar itu menjerit-jerit karena tergigit semut merah yang bersarang di pangkal pohon duku yang mau dia panjat. Tak ayal, seluruh semut menyebar ke badannya. Bentol-bentol besar menyebar ke tubuhnya.

Mending keren kayak foto abis fitnes. Ini malu-maluin kali. Nyaris telanjang dia cuma gara-gara semut.!1

Mbah menarik lengan Asep sambil berteriak memanggilku dan Tunggal. Setengah menyeret, aku dan Tunggal membawa Asep ke dalam rumah.

Rarina berlari-lari membawa botol minyak kayu putih. Tapi Mbah malah menyuruh, ibu-ibu yang membantu untuk menyiapkan air mandi. Asep disuruhnya mandi dulu. Setelah itu baru dibalurkannya minyak kayu putih.

Wajah Asep seperti baru bertempur. Babak belur, bentol di sana sini. Setelah itu, duduk bersandar di tempat duduk.

"Kenapa kau?" Tanyaku heran.

"Aku berdiri di bawah pohon duku sambil menunggui Bhin yang memetik. Nggak sadar kalau aku berdiri di atas sarang semut merah itu. Sadar-sadar, mereka sudah ngegigitin aku." Asep berkata dengan raut sedih. Terpaksa kutelan tawa yang hampir tertumpah. Nggak tega juga.

"Kupikir kamu gila, Sep." Bhin mengusap air matanya.

"Kamu mendadak teriak-teriak sambil buka baju. Tuh, ibu-ibu sampai malu lihat kamu. Ngintip di antara jari-jarinya." Bhin akhirnya nggak tahan, dia tertawa tergelak-gelak.

"Ndak nyangka loh, mbak Bhin, Mas Asep itu badannya semlohai," seru salah satu Ibu. Mata Asep membulat malu sementara mukanya jadi semerah kepiting rebus.

"Semlohai, apa Bu?" Tanya Rarina penasaran.

"Rariiiii," desis Asep memperingatkan. Rarina hanya mengangkat bahu, tetap penasaran.

"Itu loh, nduk. Seksi montok, gitu." Sahut Ibu yang lain. Lalu mereka terkikik geli.

Asep membenamkan mukanya ke dalam bantal. Lalu berkata padaku, "tembak saja aku, Bang. Tembak. Malu aku, Bang."

Aku menepuk bahunya perlahan.

"Yah, jarang-jarang memang kita lihat cowok teriak-teriak sambil loncat-loncat terus nyaris bugil di tengah kebun," kataku pelan sambil nyengir dan disambut pelototan yang niscaya bisa membelah bulan.

"Ya sudah, kamu istirahat aja. Ayo, yang lain kita lanjut kerja." Kataku menggiring manusia-manusia iseng yang masih mau menggoda Asep.

Tunggal berjalan sambil protes, katanya dia belum kebagian ngetawain Asep.

"Kau mau gantiin posisi Asep diserbu semut?" Tanyaku tajam. Tunggal hanya nyengir sambil menggaruk kepalanya. Aku berjalan menuju perkebunan lagi, sebelum ingat sesuatu. Aku segera menoleh menatap Asep.

"Sep, itu daripada ibu-ibu pada mupeng sama kau, mending kau bagiin foto yang waktu itu aku temuin di kamar kau. Sekalian kasih tanda tangan." Aku tertawa meninggalkan Asep yang melotot dan melempar bantal. Mengabaikan Bhin dan Rarina yang terus merayu mau tahu foto Asep yang manakah gerangan.

Sisa hari itu berjalan dengan aman. Ada beberapa pangkal pohon yang menjadi sarang semut. Tapi, kami sudah waspada. Kalau ada sarang semut, maka harus dibuang dulu sarangnya. Belum lagi, kalau ada tawon yang bersarang.

Si Bhin berulang kali teriak, "pahit, pahit," kalau ada tawon yang mendekat. Tawon pun pergi menjauh. Mungkin stres karena Bhin terlalu berisik.

Menjelang sore, hasil panenan yang menumpuk segera disimpan. Aku beranjak untuk membersihkan diri, sementara Rarina sudah mulai membantu menyiapkan makan malam. Bentol-bentol di tubuh Asep sudah mulai memudar, walaupun begitu dia masih malu berhadapan dengan para ibu-ibu yang cekikikan terus sambil bisik-bisik kalau lihat dia.

Yah, baiklah untuk bonus, aku kasih kalian foto yang bikin Bhin sama Rarina pengin tahu. Foto Asep habis fitnes ini aku nemuin di kamarnya. Dia marah banget pas aku ngetawain dia. Haha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro