Bhin Dimana?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Asep's pov

Aku memperhatikan wajah Bhin yang tertidur nyenyak, tanpa sadar tanganku terus menyugar. Seulas senyum terbit dalam wajah damai Bhin. Malam sudah larut, tapi baru Bhin dan Mbah Putri yang tertidur. Kami yang lain, masih duduk di ruang televisi. Meredakan jantung yang berdetak kencang.

Memang, sejak peristiwa makan siang istimewa menu lebaran di bukan hari lebaran, kami sedikit banyak menjadi lebih kompak. Termasuk Bang Tomas yang jadi sedikit melunak, nggak sedikit-sedikit menggigit eh marah.

Ingatanku melayang ke kejadian yang menghebohkan hari ini.

*

Jumat sore, aku bertemu dengan Bhin di kampus untuk mengajaknya pulang bareng. Bhin menolak, dia bilang kalau akan pergi ke rumah Risti, teman kampusnya, untuk mengerjakan tugas.

"Mau aku jemput, Bhin?" Tanyaku mengabaikan pandangan Risti yang tersenyum menggodaku. Aku sudah biasa ditatap seperti itu, jadi yah biasa aja.

"Ndak usah, Sep. Kamu kan janji sama Mbah untuk antar ke rumah keluarga Sastrodiwirdjo. Ngomong-ngomong kamu dijodohin sama anak keluarga mereka ya, Sep." Aku mengacak rambut Bhin gemas.

"Anak mereka cowok semua kali. Emang jeruk makan jeruk. Aku normal loh," kataku tertawa.

Bhin mendelik. Ups, salah kata deh, batinku.

"Kalau gitu, aku aja yang antar Mbah ya Sep." Katanya dengan mata berbinar. Ini si Bhin, entah kenapa jadi gatelan. Rasanya pingin kasih hadiah minyak kayu putih biar dia nggak gatel kayak gini.

"Kerjain tugas tuh. Ya udah, aku duluan pulang ya. Kamu tahu kan rute bus ke rumah? Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku ya." Aku mengacak rambut Bhin, menegaskan dia menjawab pernyataanku. Lalu pulang.

*
Aku dan Mbah sampai di rumah hampir jam sepuluh malam. Ternyata silaturahimnya berjalan lama. Aku sih senang-senang aja. Jadi punya kenalan baru. Kebetulan 3 putra keluarga Sastrodiwirdjo, ada semua. Jadilah kami asyik ngobrol.

Begitu buka pintu, terdengar suara pertengkaran dari dapur. Bang Tomas dan Rarina lagi bertengkar masalah mie goreng instan. Bahkan salam yang aku dan Mbah ucapkan nggak di dengar. Baru setelah Mbah berdehem, mereka sadar.

"Ono opo tho? Kenapa kalian bertengkar lagi? Kan kemarin sudah akur." Suara Mbah disambut kesunyian.

"Kamek eh aku mau bantuin Bang Tomas masak mie, Mbah. Tapi dia malah marah." Rarina membela diri sementara Bang Tomas mendengus.

"Sudah kubilang, aku nggak suka kalau mie goreng instanku digoreng lagi, Ra," suara Bang Tomas naik 1 oktaf.

"Tapi kamek tahu, paling enak itu mie goreng yang digoreng lagi." Rarina nggak mau kalah.

Aku menatap penuh minat. Terlihat olehku seporsi mie goreng. Aku langsung beranjak dan mencobanya.

"Enak kok, digoreng lagi atau cuma direbus." Kataku dengan santai sambil memakan mie goreng itu. Bang Tomas dan Rarina kompak melotot.

"Aseeeeppp, kenapa malah dimakan?" Seru mereka bersamaan.

"Eh, kompak. Hahaha." Aku tertawa menghindari cubitan Rarina dan pelototan ganas Bang Tomas. Sementara Mbah hanya mendesah lelah, lalu ijin bersih-bersih.

"Bhin, mana Sep?" Tanya Mas Tunggal ketika melihatku keluar dari dapur.

"Loh, belum pulang? Katanya dia bakal pulang setelah belajar bersama di rumah Risti. Nggak ada telepon, Mas?" Tanyaku balik. Mulai khawatir.

"Belum nih. Aku telepon, tapi handphonenya mati. Kamu tahu nomernya Risti-Risti itu?" Muka Mas Tunggal terlihat cemas ketika aku menggeleng.

Ini adalah awal dari malam yang terasa panjang dan menyiksa.

*
Pukul 23.05, Bhin belum pulang juga. Aku dan Mas Tunggal sudah keliling kampung, kebanyakan penduduk yang sudah masuk ke dalam rumah dan beristirahat, menggeleng ketika kami bertanya tentang Bhin.

Keringat dingin mengalir di punggungku. Berbagai macam pikiran muncul.

Bagaimana kalau Bhin hilang? Eh tapi siapa juga yang mau nyulik anak jahil itu.

Tapi, Bhin kan manis ya. Duh, mana lagi santer masalah penculikan buat diambilin organ tubuh itu.

Ya Allah, Bhin. Kamu dimana?

Mas Tunggal, terduduk lemas di teras rumah. Dia khawatir bukan main. Tampangnya pucat pasi. Rarina yang menunggui rumah bersama Mbah Putri keluar dan bertanya melalui tatapan matanya. Ketika aku menggeleng, dia bergegas masuk kembali ke dalam rumah.

Nggak lama, Bang Tomas datang. Dia bertugas menyisir sepanjang jalan raya. Melihat Bang Tomas datang dengan tangan hampa, dadaku berdesir. Di mana kamu, Bhin?

Kami bertiga berembuk, ketika keputusan untuk melapor ke Polisi sudah bulat, aku segera mengeluarkan motor.

Sebelum motor aku nyalakan, terlihat ada kendaraan yang berhenti di depan rumah. Tidak lama, terlihat gadis berambut panjang yang rambutnya dikuncir kuda.

"BHIIIINNN!" sumpah aku kaget banget waktu Mas Tunggal teriak. Hampir saja motor kulempar karena kaget.

Bhin berjalan santai, tersenyum lalu memperkenalkan laki-laki yang mengantar kepada kami semua. Mbah berurai air mata mengangguk-angguk mengucapkan terima kasih sudah mengantar Bhin dengan selamat sampai ke rumah.

Di ruang duduk, kami semua minum cokelat panas yang dibuat Rarina sambil mendengarkan cerita Bhin.

Rupanya, setelah belajar bersama, Bhin naik angkutan umum dan bukannya bus transjogja.

Di dalam angkutan umum, Bhin membantu seorang Ibu yang membawa belanjaan banyak setelah memborong di Malioboro. Sempat ditawari minum dan ngobrol-ngobrol sebentar, kemudian Bhin pulang.

Sayangnya, Bhin lupa rute angkutan umum yang harusnya dia naiki. Ditambah lagi, baterai handphonenya habis dan nggak bawa power bank. Muter-muter sekian lama di Jogja, karena panik Bhin akhirnya memutuskan kembali ke rumah Ibu Endang, yang tadi dibantunya membawa barang belanjaan.

Malam sudah larut ketika Bhin muncul di depan pintu rumahnya, Bu Endang yang kasihan melihat Bhin nyasar pun meminta bantuan anaknya untuk mengantar Bhin.

"Lo tuh nyusahin banget ya Bhin. Udah tiga bulan loh kita di sini. Masa masih nggak inget angkutan umum ke rumah? Lo nggak tahu gimana paniknya gue tadi?" Mas Tunggal masih emosi. Bhin menundukkan kepalanya, merasa bersalah.

"Maaf, mas. Bhin benar-benar salah. Tapi tadi Bhin juga udah takut, Mas. Gimana kalau Bhin nggak pulang lagi? Nggak ketemu kalian lagi. Bukan cuma Mas yang takut, Bhin lebih takut lagi." Kata Bhin dengan air mata yang mulai lolos satu persatu. Bang Tomas yang duduk di sebelah Bhin, menepuk pundaknya dengan kaku.

"Sudah, Mas. Yang penting, Bhin sudah pulang. Bhin, lain kali kamu harus pastiin baterai handphone penuh kalau pergi-pergi dan bawa power bank buat jaga-jaga," kataku.

"Ya, lain kali kamu jangan ceroboh Bhin. Sekarang, kita istirahat aja yuk." Rarina berdiri, lalu memapah Mbah ke kamar. Bhin juga berdiri dan masuk ke dalam kamar setelah menggumamkan permintaan maaf sekali lagi.

Setelah itu, aku, Mas Tunggal dan Bang Tomas masih duduk di depan televisi. Sementara Rarina, mencuci gelas-gelas.

"Aku baru lihat, kau ternyata bisa panik juga ya Sep." Bang Tomas mengulum senyum menatapku.

"Ya, gimana pun juga, Bhin itu sepupu yang terhitung paling dekat denganku Bang. Kami satu kampus, sering pulang pergi bareng. Paniklah aku tadi. Tapi aku nggak nyangka juga Abang dan Mas Tunggal bisa emosi begitu." Aku nggak bisa menahan senyum. Bisa jadi mereka selalu berkoar-koar bahwa mereka orang yang cuek tapi nyatanya diam-diam mereka peduli.

Dua orang di depanku salah tingkah sambil menyugar dengan gugup. Aku tertawa lebar dan terbahak melihatnya.

Setelah mengintip keadaan Bhin, aku pun beranjak ke kamarku sendiri. Sempat terlintas di pikiranku seandainya Bhin hilang. Sebuah pikiran yang membuatku bergidik sendiri. Untunglah Bhin sudah ada di kamarnya tertidur lelap.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro