Banjir Bandang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Asep's pov

Kicauan burung di luar jendela, membangunkanku. Aku menggerakkan kepala dengan malas untuk melihat jam di dinding yang menunjuk angka delapan. Sambil menguap aku berpikir sepertinya ada yang kelupaan. Hah? Jam delapan? Waduh kan janjian sama Mami Papi buat ke perkebunan salak dan duku

Aku terlonjak bangun dari tempat tidur, membuka pintu kuat-kuat lalu segera mengambil handuk dan berlari ke kamar mandi. Sambil mandi, aku mengingat-ingat keadaan rumah yang terasa lengang dan sepi. Jangan-jangan aku udah ditinggal pergi nih. Sesudah mandi, aku menyempatkan diri melihat ruang keluarga dan ruang tamu yang sepi, begitu juga halaman belakang. Aku segera menuju ke dapur.

"Aseeeeeeeppppppp! Kenapa sih kamu nggak pakai baju dulu? Ih malu banget tau nggak." Teriakan heboh menyambutku di dapur bersama dengan potongan-potongan roti. Aku buru-buru menangkis potongan roti yang berdatangan.

"Woi, sabar heula atuh Bhin. Aku kan cuma ngecek rumah, kenapa ini sepi banget sih. Udah berangkat semua ya?" tanyaku santai sambil berjalan mendekati Bhin.

"Pakai bajuuuuuuu sanaaaaaaaa." Yah, si Bhin mah malah heboh teriak-teriak. Dari pada dicerewetin terus, akhirnya aku balik badan ke arah kamar. Malangnya, handuk yang melingkari pinggangku tersangkut meja dapur. Alhasil melorotlah itu handuk.

"ASEEEEEEPPPPPPP." Aku menutup telinga ketika Bhin berteriak mencapai sembilan oktaf. 

"Apa sih teriak-teriak terus? Aku kan masih pakai celana pendek. Ih da kamu mah otaknya ngeres aja. Mengharap ya aku nggak pakai apa-apa." Aku berkata santai sambil nyengir. Tapi cengiran itu hilang ketika Bhin mengacungkan pisau mengancam. Buru-buru aku balik ke kamar.

Setelah memakai baju, aku bergegas kembali ke dapur. Sudah ada roti bakar bertabur keju di meja dapur bersama secangkir kopi. Sumringah, aku mendekati Bhin yang asyik menyesap tehnya sambil membaca berita online di handphonenya.

"Sarapan buat aku ya? Makasih sepupuku." Aku duduk di meja dapur sambil memakan sarapan. Memperhatikan Bhin yang masih asyik membaca berita. Alisnya terkadang berkerut dan terkadang dia tersenyum sendiri. Anak ini sebenarnya manis. Itu sebabnya perempuan  yang mau mendekatiku terkadang ragu, karena kehadiran Bhin yang cukup sering di sekitarku. Nggak ada yang menyangka bahwa kami berdua sepupu.

"Udah ngeliatin aku? Kalau udah, mendingan siap-siap deh. Pasti semua udah nungguin kita di perkebunan." Bhin masih menatapku dengan sebal.

"Mereka tadi duluan ya Bhin? Naik mobil? Berangkat jam berapa?" Tanyaku bertubi-tubi.

"Berangkat jam tujuh tepat. Karena kamu kesiangan, susah dibangunin, padahal aku udah teriak-teriak di kuping kamu, jadinya kita ditinggal. Aku kan nggak muat di mobil," kata Bhin sambil memanyunkan bibirnya. Aku tertawa gemas melihatnya.

"Yuk, jalan. Pakai jaket tebal ya Bhin. Cuacanya mendung gini sih." Aku membereskan piring dan cangkir lalu memakai jaket dan mulai menyiapkan motor. Bhin menurut dan memakai jaket tebal.

Ketika kami sampai, cuaca semakin mendung. Angin dingin bertiup, sampai aku bersyukur sudah memakai jaket tebal. Terlihat Mami sedang sibuk mengambil salak langsung dari pohonnya. Sementara Papi sedang berbincang sama Mbah dan salah satu penjaga kebun.

"Hai Bhin, Asep. Lama banget sih kalian. Lihat Mami udah panen banyak nih," kata Mami sambil memamerkan sekarung kecil yang teronggok di kakinya berisi salak.

"Hem, baru segitu. Kemaren Asep bisa lebih banyak." Cibirku sambil meledek saat melihat hasil panen Mami.

"Nggak usah ditanggepin tante. Dia kan kemarin panen duku bukan salak. Mana lompat-lompat sambil buka baju lagi di kebun," kata Bhin sambil tertawa.

Aku hanya tersenyum masam melihat kelakuan dua perempuan beda generasi itu. Mami tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Bhin, di bagian aku membuka semua bajuku karena serangan semut merah. Awas ya nanti aku balas kamu Bhin, kataku dalam hati. Manalah aku berani menantang Bhin saat dia lagi asyik nyeritain aibku. Bisa-bisa dia bongkar yang lain lagi.

Setelah puas keliling kebun dan mengambil buah-buah sisa panenan, kami kembali ke pondok. Di sana sudah tersedia menu makan siang yang luar biasa. Pepes ikan mas, pepes tahu dan jamur, lalapan, tempe dan tahu goreng sama sambalnya.

"Wuah, kita makan besar." Mataku berbinar-binar melihat makanan kesukaanku tersaji di meja. Bhin sebaliknya, dia berkerut menatap menu pepes ikan yang kurang begitu dia sukai.

"Ikan bagus untuk otak Bhin. Sama buat tulang. Siapa tahu kamu masih bisa tumbuh ke atas," kataku sambil memberikan potongan pepes ikan yang disambut dengan pelototan mata Bhin. Mana bisa dia nolak kalau seluruh mata menatapnya. Mas Tunggal menatap heran.

"Wah, lo sekarang udah suka ikan ya Bhin? Bagus deh. Nih, ambil aja bagian gue. Biar lo makin cepat tinggi." Mas Tunggal memberikan potongan pepes ikan juga kepada Bhin yang melotot sebal ke kami berdua.

Sementara itu, cuaca di luar seperti tinta hitam yang dituangkan diam-diam ke dalam air. Aku menggosokkan mata sambil beranjak untuk menyalakan lampu. Tepat saat itu, petir besar menggelegar. Hampir saja aku terjatuh, saat melihat Bhin melompat dan masuk ke kolong meja makan.

"Eh kamu teh kenapa?" Tanyaku heran.

"Kirain bom, Sep." Sahut Bhin polos. Sontak kami semua tertawa. Kemudian hujan pun turun dengan deras.

Sesudah makan dan membantu membereskan meja, aku iseng bermain catur dengan Mas Tunggal. Sebenarnya aku kurang bisa main catur, tapi Mas Tunggal juga nggak pinter-pinter banget jadi imbang-lah kami.

Papi dan Om Wira, Ayah Bhin lagi mengobrol di teras sambil minum kopi ditemani rinai hujan. Nggak lama mereka berlari-lari masuk. Hujan bertambah besar disertai angin dan petir.

"Ya Allah, deras banget hujannya," kata Mbah dengan raut khawatir, "Semoga ndak banjir ya," sambungnya.

Wajar jika Mbah khawatir. Di bulan April kemarin, ada banjir bandang yang melanda Magelang. Ketika itu hujan deras juga menyebabkan tanah longsor dan mengakibatkan beberapa nyawa menghilang. Aku menghela nafas berat. Ingat saat itu, masih ada Kakek. Mbah menelpon kami di Bandung sampai lama sekali.

Bhin menyentuh pundak Mbah dan merangkulnya sayang. Tangan kanannya mengusap bahu Mbah. Aku pun beranjak ke sebelah kanan Mbah lalu menggenggam tangan tuanya.

"Insya Allah semua baik-baik saja ya Mbah," kataku mencoba meyakinkan.

"Terima kasih Bhin, Asep. Mbah kadang ndak habis pikir. Manusia semakin serakah, bumi pun habis dikeruknya. Akibatnya fatal, tanah mudah longsor, banjir bandang pun datang." Mbah menggeleng sedih.

Namun doa kami agaknya tidak terkabul. Hujan deras turun lebih dari empat jam. Sungai Kali Mambu di ringroad utara Jogja, meluap. Genangan dimana-mana. Syukurlah rumah kami di Sleman aman karena terletak di dataran yang tinggi.

Kami terpaksa menginap di pondok karena kemacetan mengular sepanjang jalan menuju Jogja. Kali ini nggak ada jagung bakar menemani kami. Hanya ada pembicaraan seputar banjir di meja makan. Listrik pun terputus, menyebabkan kami terpaksa menggunakan lilin untuk penerangan.

Terlepas dari suasana yang mencekam karena listrik mati, aku bersyukur kami semua ada di sini. Setidaknya, kami bersama-sama. Aku menyikut lengan Bhin.

"Kalau keadaan mereda, kita lihat kondisi di luar yuk. Siapa tahu kita bisa membantu walau sedikit," bisikku.

Sebelum Bhin menyahut, sudah terdengar suara, "Kalau kamu berniat keluar untuk melihat-lihat Asep, Mbah minta kamu keluar saat pagi. Hujan masih rintik-rintik, luapan sungai juga masih tinggi." Suara Mbah tidak bisa dibantah. Aku pun mengangguk pelan sambil melayangkan pandang ke arah kegelapan, berdoa semoga nggak ada korban karena banjir malam itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro