Keberanian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bhin's pov

Aku menangis diam-diam di sudut tempat tidur sambil menatap Asep yang berbaring dengan mata tertutup rapat. Di ruangan itu hanya terdengar suara mesin yang membantu Asep bernafas. Perlahan aku melafalkan doa-doa, mengelus lengan dan rambut Asep lalu berjalan keluar ruangan.

Tante Ika sedang bicara dengan Ibu, sesekali ia mengusap air matanya yang terus mengalir. Aku datang menghampiri mereka, lalu memeluk tante Ika. Mencoba memberikan kekuatan untuknya. Kami berpelukan bertiga, di depan ruang Intensive Care Unit tempat Asep berbaring.

"Kita doakan yang terbaik untuk Asep ya, Ka. Insya Allah dia anak yang kuat," kata Ibu menenangkan tante Ika yang masih terisak-isak. Aku menghela nafas, lalu mengambil handphoneku dan membuka whatsapp.

Mas Tunggal di mana?

Masih di pondok Bhin sama Ayah. Gue sama Ayah yang akan nemenin Mbah di sini. Om Pras sudah menuju rumah sakit. 

Ya Mas. Tolong jaga Mbah jangan sampai sakit ya. Biar kami yang jaga Asep

Oh iya, Bhin, si duo dugong katanya mampir dulu ke Solo. Mereka paham kondisi kita sekarang, jadi nggak mau ngerepotin. Tolong kasih tau Ibu ya. Tadi Ibu nanya soalnya.

Siap, Mas.

Aku menyenderkan kepala di tembok, tiba-tiba merasa lelah dan bertambah tua. Saat teringat kejadian subuh tadi, mataku kembali memanas. Bayangan-bayangan seolah melintas dengan cepat bagaikan film yang dipercepat.

*

Menjelang adzan subuh, hujan deras masih mendera pondok di perkebunan keluarga Setiowidjojo. Setelah sholat berjamaah, Aku dan Ibu membuatkan sarapan sederhana bersama dengan teh manis hangat. Setidaknya untuk menghangatkan badan di tengah udara yang dingin. Asep dan Mas Tunggal sedang kasak-kusuk di pojokan, entah apa yang sedang mereka bicarakan. Perlahan aku mengendap-endap mendekati mereka dari belakang.

"Lo, jangan terlalu agresif, Sep. Cewek itu senengnya diperlakukan istimewa tapi nggak bikin mereka eneg mau muntah. Kasih perhatian seperlunya. Slowly but sure gitu deh," kata Mas Tunggal meyakinkan. Sementara Asep manggut-manggut sambil berpikir.

"Dih, lagaknya aja ngajarin. Praktekin dulu dong Mas biar meyakinkan," kataku sambil cekikikan. Bagaimana nggak geli? Mas Tunggal ini kan juga masih jomblo alias nggak punya pacar. Mendengar suaraku, mereka berdua berbalik dengan tampang kaget.

"Kaget, gue. Kirain siapa. Yah, kalau gue kan emang belum ada yang cocok aja." Mas Tunggal ngeles kayak bajaj.

"Eh Mas, si Asep ini ada juga terus nolakin cewek. Hahaha. Eh tapi beneran kamu ada naksir-naksir cewek, Sep?" tanyaku penasaran. Muka Asep terlihat serba salah dan memerah. 

Saat aku berusaha mengorek keterangan Asep, tiba-tiba ada seseorang yang berlari menerobos hujan lebat lalu menggedor pintu dengan panik. Kami semua bergegas ke ruang depan. Terlihat seorang wanita separuh baya dengan rambut dan baju basah.

"Assalamu'alaikum, Bu Setio," katanya dengan gugup.

"Wa'alaikumsalam, Bu Niyah. Monggo masuk dulu, Bu." Mbah mempersilakan ibu itu dengan ramah. Namun, Bu Niyah menggeleng lalu bergegas menceritakan maksud kedatangannya yang tiba-tiba.

Jam dinding menunjukkan pukul enam pagi, namun kami sudah bergegas lintang pukang ketika mendengar cerita Bu Niyah. Cucu Bu Niyah yang berumur lima tahun barusan masuk ke dalam parit besar di ujung jalan. Jadi, tanpa beliau tahu, cucunya bangun lalu keluar diam-diam. Saat Bu Niyah sadar, cucunya sudah ada di ujung jalan. Sambil berteriak, Bu Niyah menyuruh cucunya masuk ke dalam rumah. Cucunya menoleh lalu melambai sambil tersenyum lebar kemudian terpeleset masuk ke dalam parit. Bu Niyah langsung bergegas mengejar, namun cucunya nggak terlihat. Karena itu, dia segera menuju pondok kami.

Belum selesai cerita Bu Niyah, Asep sudah berlari menuju parit besar. Dia menyusuri parit sambil berlari. Mas Tunggal mengejar Asep sementara aku mengekor di belakang mereka. Di kilometer kedua kami berlari, terlihat sosok anak yang timbul tenggelam terbawa arus. Asep tanpa pikir panjang, langsung mencebur ke dalam parit besar. Dia mencoba menarik anak itu dalam pelukannya lalu berenang melawan arus untuk menyelamatkannya.

Mas Tunggal berbaring di pinggir parit, berusaha meraih anak itu. Sementara aku memegangi pinggang Mas Tunggal. Arus masih sangat deras. Persis setelah Mas Tunggal mengangkat anak itu, Asep terbawa arus. Aku berteriak melihat Asep. Orang-orang yang datang mengejar kami juga berusaha keras menolong Asep. Beruntung, Asep tersangkut dahan yang melintang di parit. Kami segera membawa cucu Bu Niyah dan Asep ke rumah sakit. Sekarang mereka berdua sedang di ICU. 

Keduanya mengalami hipotermia dan sedang memasuki masa kritis. Dokter mengatakan kondisi hipotermia ini justru meningkatkan kemungkinan mereka selamat. Karena di dalam suhu yang dingin metabolisme tubuh akan melambat sehingga kecepatan kematian sel akibat kekurangan oksigen juga berkurang. 

*
Aku menatap ujung baju pinjaman dari suster karena bajuku juga basah kuyup. Teringat perjuangan mencapai rumah sakit ini. Sebenarnya jalanan cukup lengang, namun kondisi beberapa ruas jalan yang tergenang air cukup menyulitkan kami. Mas Tunggal memutuskan untuk menjaga Mbah bersama Ayah, sedangkan kami yang lain segera masuk ke dalam mobil untuk ke rumah sakit.

"Bu, Bhin ke kantin ya. Mau dibelikan makanan, Bu? Ibu dan tante kan belum makan dari pagi." Lorong rumah sakit ini terasa dingin dan menatap dinding hanya akan menyiksaku. 

"Boleh, Bhin. Sekalian ya untuk Bu Niyah dan keluarganya," kata Ibu sambil memberikan dompetnya. Aku mengangguk dan menerima dompet Ibu.

Sepanjang jalan menuju kantin, aku melihat beberapa keluarga yang juga sedang menunggui kerabat yang sedang sakit. Hatiku nyeri mengingat wajah Asep yang lebam dan belum siuman juga. Di kantin, aku membeli beberapa porsi makanan, roti dan air mineral, lalu bergegas kembali ke ruang tunggu ICU. Om Pras baru saja datang dan duduk di sebelah tante Ika. Aku memberikan makanan yang ku beli pada Ibu lalu berjalan menuju Bu Niyah dan keluarganya.

Bu Niyah menyambut pemberianku dengan tangan gemetar. Dia mengucap terima kasih dengan bibir bergetar. Aku menggenggam tangannya, mengerti penderitaannya saat ini. Setetes air mata bergulir turun dari pipi tuanya.

"Terima kasih, Nak. Kalian sudah menyelamatkan cucu Ibu. Sampai kalian juga rela mengorbankan diri," katanya.

"Sudah kewajiban kami menolong sesama, Bu. Asep pasti senang berhasil menolong cucu Ibu. Semoga mereka berdua segera sadar ya," kataku sambil menggenggam tangannya.

Teringat Asep yang sering bilang, "Berani itu bukan berarti nggak punya rasa takut, tapi gimana kita nggak ngebiarin rasa takut mengalahkan kita." Asep pasti benar-benar senang bisa menolong cucu Bu Niyah.

Tiba-tiba pintu ruang ICU terbuka, kami tergesa berdiri menyambut dokter yang keluar. Dokter itu menuju Tante Ika. 

"Ibu Ika dan Pak Prasetyo, orangtua dari pasien bernama Asep? Silakan ikut saya. Putra Anda sudah sadar," ucap Dokter itu sambil mengajak tante Ika dan Om Pras masuk ke ICU.

Aku terduduk lemas di samping Ibu sambil mengucap syukur berkali-kali lalu menangis tersedu-sedu di bahu Ibu. Asep memang sepupu yang menyebalkan. Dia suka menggodaku, mengerjaiku tanpa ampun dan amat iseng. Tapi bagaimanapun juga, dia adalah orang yang hadir pertama saat aku sedih atau tempat aku bercerita. Saat ini, baru kusadari bahwa Asep sudah menjadi orang sepenting Mas Tunggal, kakakku, di dalam hidupku.

Setelah mengabari Mas Tunggal, aku mondar-mandir di depan ruang tunggu. Tante Ika dan Om Pras keluar dengan wajah sedikit cerah. Mereka memperbolehkan aku dan Ibu bergantian menjenguk Asep.

Ini kedua kalinya aku masuk ke ruangan ICU. Sekarang, aku masuk dengan hati ringan. Asep masih berbaring. Di tengah hidung yang memerah dan lebam, dia tersenyum lebar.

"Hai, Bhin? Kamu nggak apa-apa?" tanya Asep.

"Ada juga aku yang nanya. Ya Allah, Sep. Kamu ndak tau aku ini deg-degan banget tadi nungguin kamu sadar." Aku nyengir senang.

"Anak itu selamat, Bhin?" Asep bertanya lirih.

"Alhamdulillah selamat. Tapi masih belum sadar." Mendung membayang di wajah Asep. Dia mengucap doa supaya anak itu segera sadar. Kami masih berbincang sebentar, kemudian membiarkan suster untuk mengecek kondisi Asep. Jika stabil dalam dua jam ke depan, dia akan dipindahkan ke ruang perawatan.

Ketika keluar dari ruangan Asep, terlihat dokter dan beberapa suster berlari-lari menuju ruang cucu Bu Niyah. Salah satu suster membawa defibrillator, alat kejut jantung. Aku menggenggam tangan Ibu. Ibu yang melihatku mulai panik, menenangkanku. Kami menuju suster jaga di ICU dan bertanya apa yang terjadi. Ternyata denyut jantung cucu Bu Niyah berirama tidak teratur sehingga harus memakai defibrillator supaya jantung bisa kembali berirama teratur. Tapi kondisi lainnya, masih stabil dan kami tidak perlu merasa khawatir.

Aku menyempatkan diri melihat cucu Bu Niyah dari jauh dan kembali mendoakan anak itu supaya lekas sadar. Semoga ada keajaiban untuknya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro