Marie

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tomas' pov

Udara panas menyambutku di bandara Adisutjipto, Jogjakarta. Tunggal menjemputku, jadi aku nggak perlu repot memanggil taksi. Seperti biasa, dia berdiri dengan tampang malas. Mungkin memang malas menjemputku. Tapi toh dia tetap membantu membawakan barang-barangku yang nggak seberapa ini.

Setelah diterjang banjir, cuaca kembali panas. Aku bertanya tentang kejadian yang cukup menghebohkan itu. Berhari-hari aku dan Rarina cemas memikirkan Asep. Kami berdua sering chat di luar grup keluarga. Kayaknya sih, gara-gara tinggal bareng, lama kelamaan kami berlima jadi semacam punya ikatan walaupun sebenarnya aku juga nggak pengen sih.

"Bhin bisa histeris kayak gitu, Tung?" Tanyaku penasaran. Seingetku, anak kebanyakan mecin itu cueknya bukan main. Bebek aja kalah cuek sama dia. Dan ketika Tunggal mengangguk, rasa heranku makin berlipat.

"Jangan-jangan dia ada rasa sama si Asep, Tung. Makanya kayak gitu," kataku sok tahu.

"Rasa sayange gitu? Ya iyalah Tom, mereka kan udah kayak anak kembar kebanyakan micin sama garam. Dari kecil aja udah kaya gitu. Wajarlah Bhin sayang sama Asep. Kalau dia tiba-tiba kayak gitu ke lo, baru gue heran."

Cih, baru begitu aja ngambek. Aku membuka whatsapp. Ada satu chat dari Rarina di grup keluarga.

Rarina
Kamek pingin buru-buru ke Jogja

Tomas
Kenapa?

Rarina
Kangen kalian.

Tomas
Beuh tumben?

Rarina
Pokoknya, kalian hutang cerita lengkap sama aku.
Bang Tomas, uda sampai rumah belum? Salamin buat semua ya.

Bhin
Eciyeeee, ngobrolnya berdua aja nih. Rari, buruan pulang. Aku kangen masakan kamu. Eh, Mas Tunggal ada hobi baru loh. Mau tau nggak?

Rarina
Apaan hobinya?

Bhin
Gosongin masakan 😂😂😂😂

Reflek, aku ketawa keras yang bikin Tunggal menoleh heran. Aku terus tertawa sampai puas, mengingat Tunggal nggak akan bisa lihat chat kami selama nyetir mobil.

"Hobi baru, eh?" Tanyaku mulai usil.

"Apaan sih? Bhin bilang apa? Liat chatnya. Kalian ngomongin gue ya?" Tunggal berusaha menggapai handphonenya. Aku kembali tertawa. Asyik juga ngegodain dia.

Sampai di rumah, suasana ramai yang diam-diam membuatku rindu, menyergap. Masa liburan masih satu minggu lagi, dan rumah Mbah udah jadi kayak kamp pengungsian. Selain ada orangtua Tunggal dan Asep, ada juga sahabat Tunggal yang ajaib.

"Abaaaaaaaaaannnggggg," jerit Bhin sambil menyongsongku. He? Tumben nih anak bergaya kayak artis bollywood di film India. Syukurlah, saat ini dia nggak bawa-bawa si Meong, kucing kesayangannya yang selalu sukses bikin alergiku kumat.

"Heh, Bhin. Lo ngomongin gue ya? Ayo ngaku lo." Tunggal ngejar Bhin yang langsung berlindung di balik badanku. Aku mendesah, nah yang berisik gini yang aku nggak suka.

"Hei hei, anak-anak bandel. Kalian nggak liat tuh, Bang Tomas udah males ngeliat kalian berantem," seru sebuah suara.

Aku tertawa melihat orang yang bersuara itu. Lalu merangkulnya hangat.

"Sehat kau sekarang, Sep? Ku dengar ada yang histeris waktu kau pingsan. Hahahaha."

"Alhamdulillah sehat, Bang. Lebamnya juga udah mulai pudar. Hidungku udah nggak kayak tomat lagi ya." Cengir Asep bersahabat.

Kami masuk ke dalam rumah. Ada oleh-oleh dari Mamak untuk semuanya. Bolu meranti, sirup terong belanda pesanan Bhin, juga ada banyak jeruk dari perkebunan. Bhin berseru-seru senang melihat makanan itu.

"Gimana kabar Mamak, Ayah dan Marie, Bang?" Tanya tante Ika, Ibu Asep.

"Alhamdulillah baik tante. Mereka semua titip salam. Oh ya, Marie sudah sekolah di sekolah anak berkebutuhan khusus, jadi perkembangannya semakin baik." Aku bercerita dengan raut wajah berseri. Marie adalah adikku satu-satunya dan aku sangat menyayanginya. Dia buta dan tuli sejak lahir. Itu sebabnya aku sangat ekstra menjaganya. Aku ingat ketika dia lahir saat aku sudah berumur 12 tahun.

*

"Tomas, kesini Nak. Lihat, adikmu yang cantik ini," seru Mamak memanggilku. Aku pun datang dan tersenyum melihat sosok rapuh dalam pelukan Mamak. Begitu kecil, mungil dan rapuh. Semua yang ada padanya begitu kecil, sehingga aku takut menyentuhnya. Terlebih ketika dokter mengatakan bahwa Marie buta dan tuli.

Di usia tiga bulan, Marie menjalani pemasangan implan koklea atau rumah siput. Pemasangan implan dan terapi sesudahnya memungkinkan Marie bisa mendengar dan bicara. Namun tetap saja, kebutaannya menjadi olok-olok anak tetangga.

Sering aku pulang dengan hidung berdarah, benjol di kening atau pipi yang lebam karena bertengkar dengan anak tetangga yang mengejek Marie.

Aku pikir, jika Marie mendengar hal yang negatif tentang dirinya, maka kepercayaan diri Marie akan berkurang. Maka dari itu aku selalu berusaha menjaga telinganya.

Kemarin saat aku pulang, aku melihat ada sesuatu yang berbeda di diri Marie. Sejak kecil, memang dia selalu percaya diri. Dia tertawa-tawa mendengar ceritaku di rumah Mbah. Apalagi tentang Bhin dan Asep.

"Marie kangen Bang sama Mbak Bhin dan Kang Asep. Juga sama Mas Tunggal. Coba ya, Marie udah besar, pasti Marie juga tinggal di sana," kata Marie sambil tersenyum.

"Bang, Marie mau cerita sesuatu," lanjutnya. Aku pun duduk nyaman, siap mendengarkan ceritanya.

"Di sekolah, Marie punya teman. Dia selalu sendiri. Jadi, Marie deketin dia. Namanya Sophie dan dia buta. Minggu kemarin, Sophie cerita kalau dia itu malas ngobrol sama orang kecuali Marie. Karena orang-orang suka ngeledek dan manggil dia si buta. Marie sedih, Bang. Sophie nggak punya abang seperti Bang Tomas. Dia selalu merasa dirinya itu beban untuk orangtuanya." Marie menghela nafas, lalu meminum air. Gerakannya begitu baik, sehingga orang yang melihat dari jauh nggak akan mengira Marie itu buta.

"Terus?" Aku penasaran dengan ceritanya.

"Marie bilang, Allah pasti punya rencana untuk setiap ciptaan-Nya. Jadi jangan pernah merasa rendah. Karena masing-masing dari kita istimewa dan unik. Iya kan, Bang?" Marie menoleh ke arahku. Bola mata indahnya terlihat bersinar. Anak berumur delapan tahun itu terlihat lebih dewasa.

Aku merasakan panas menjalar di kedua mataku. Susah payah aku menahan tetesan air mata yang siap menghujam tanah. Kudongakkan kepala sambil tersenyum.

"Ya, Marie. Semua itu benar," kataku sambil mengelus rambutnya yang panjang dan halus.

"Terima kasih ya, Bang. Abang yang selalu membelaku kalau ada yang meledek. Abang yang selalu bilang jangan nangis Marie, kamu adalah manusia istimewa ciptaan Allah. Aku beruntung, punya abang seperti Bang Tomas. Makanya, Abang jangan banyak khawatir. Belajar baik-baik, Bang biar cepat pulang lagi ke sini. Bantu Mamak di kebun." Marie memelukku erat. Aku kembali mengelus rambutnya.

Beban berat yang selama ini kurasakan menggantung di pundak, perlahan menghilang. Marie sudah menjadi pribadi yang mandiri dan jiwanya berkembang dengan baik.

"Abang bangga sama kau, Marie. Semoga kamu bisa membawa inspirasi bagi yang lain supaya bisa tetap positif ya. Jadi sahabat yang baik untuk Sophie. Mudah-mudahan Kau bisa membantu menumbuhkan rasa percaya dirinya."

Baru dua hari di rumah, kami mendapat berita buruk itu. Tunggal mengabariku dan Rarina melalui chat keluarga. Aku gelisah sekali saat itu. Walaupun aku nggak dekat sama Asep, tapi dia sepupuku. Dan kami sudah tinggal bersama enam bulan lamanya. Syukurlah, Asep selamat.

Saat aku kembali ke Jogja, kulihat Marie tersenyum lebar. Dia menyelipkan sebuah kertas di tanganku. Aku memeluknya lalu mengucapkan selamat tinggal.

Di pesawat aku buka lipatan kertas itu. Sebuah surat yang ditulis oleh Marie menggunakan tangan Mamak, karena aku belum hafal benar huruf braille. Air mata langsung tumpah setelah aku selesai membaca tulisan Marie. Aku melayangkan pandang ke luar jendela pesawat. Matahari pagi bersinar ceria, aku melipat surat Marie lalu memejamkan mata sambil tersenyum.

Abang,
Mungkin kau bukan abang terbaik di dunia. Tapi Marie tahu abang adalah yang terbaik dalam menyayangi Marie. Terima kasih sudah percaya bahwa Marie tidak berbeda dengan yang lain. Marie sayang Abang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro