Tamasya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rarina's pov

Matahari sudah tinggi saat kami tiba di Candi Borobudur. Tadi malam aku tiba di rumah Mbah yang luar biasa ramai. Asep yang udah pulih, nggak bisa diam dan ngajak kami semua jalan-jalan ke Candi Borobudur.

Aku membuka payung lipatku. Sudah kuduga cuaca akan terik. Dari jauh kulihat ada yang berlari-lari mendekat lalu ikut masuk ke dalam bayangan payungku.

"Ra, aku ikutan payung kamu dong. Panas banget," kata Bhin sambil mengelap keringat di dahinya.

"Euleuh hareudang pisan. Eh Ra, tante ikutan lah ya. Bisa kan ya tigaan?" Tante Ika ikut menyelinap di antara kami.

Anak-anak cowok jalan bareng sambil saling menjahili. Seruan-seruan marah dan nada bercanda terus terdengar. Kalau dipikir-pikir, meski sering bertengkar, kami ini cukup akrab ya.

"Kenapa kamu nyengir-nyengir sendiri, Ra? Ngeri bener sih," kata Bhin sambil pura-pura menjauh. Aku mencibir, lagaknya aja dia mau menjauh. Dia kan nggak tahan panas.

Kami mulai memasuki teras pertama. Aku dan Mas Tunggal mau menyusuri satu demi satu pelataran sebelum naik ke stupa tertinggi. Tapi yang lain, maunya langsung ke atas. Kami pun berpisah jalan.

Borobudur terdiri dari enam teras berbentuk bujur sangkar yang di atasnya terdapat tiga pelataran melingkar. Dindingnya dihiasi 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca. Stupa utama yang terbesar, berada di tengah dan memahkotai bangunan ini.

Banyak sekali kisah konspirasi tentang bangunan yang dibangun pada abad ke 14 ini. Ada yang bilang kalau Borobudur sebenarnya adalah peninggalan Nabi Sulaiman yang namanya dipakai untuk satu wilayah di Jogjakarta yaitu Sleman, kota di mana Mbah tinggal saat ini.

Terlepas dari benar tidaknya kisah itu, menurutku sungguh menakjubkan melihat bangunan ini telah ada ratusan tahun. Sayangnya walau pemugaran terus dilakukan, beberapa arca terlihat rusak.

Di pelataran tertinggi tempat stupa utama, aku melihat yang lain sibuk berfoto. Aku tertawa melihat ulah mereka.

"Ra, buruan sini. Ikutan foto." Ajak Bhin sambil melambaikan tangan menyuruhku mendekat.

Setelah sesi foto yang bagaikan nggak ada habisnya itu, aku berdiri melihat pemandangan sekitar. Borobudur terletak di dataran Kedu. Arkeolog menyebutkan bahwa sebenarnya Borobudur berada di tengah danau purba yang telah mengering. Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga teratai.

"Gimana kabar tante Mona?" Suara Bang Tomas membuatku menoleh kaget. Dia tersenyum meminta maaf karena telah mengagetkanku.

"Baik. Tante Mona sekarang udah pensiun, beliau buka sekolah PAUD di dekat rumah," kataku. Tante Mona adalah adik dari Mama. Kedua orangtuaku sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu, jadi aku tinggal bersama tante Mona sebelum akhirnya tinggal bersama Mbah.

Belakangan, Bang Tomas cukup ramah sama aku. Mungkin karena dia masih merasa nggak enak tentang bandoku (baca part Bando Kuning).

"Ciyeee, yang sekarang akrab." Seru Mas Tunggal tiba-tiba. Dia nyolek-nyolek tanganku dengan gaya sok genitnya.

"Bhin, ini mas kamu kenapa sih? Eh Mas Tunggal, ngapain nyolek-nyolek? Emangnya aku sabun colek," seruku sambil melotot.

"Ow ow ada yang maraaaahhh." Timpal Asep ikut-ikutan. Aku hanya mengibaskan rambut, sebal. Apalagi Bang Tomas cuma tertawa melihat kejadian itu. Demi apa ini, tumben dia nggak ngamuk-ngamuk. Orang yang nggak kenal Bang Tomas pasti sering ngira dia laki-laki yang kena PMS.

Setelah nyubitin Asep dan Mas Tunggal yang mengaduh-aduh minta ampun, aku meninggalkan mereka untuk ngobrol dengan Mbah, kangen.

"Dasar galak," seru Asep pelan saat aku melewatinya.

"Apa? Apa kau bilang? Mau dicubit lagi, hah?" Seruku. Dia kabur sebelum aku sempat nyubit lagi. Mbah tertawa saat aku mendekati dan memeluknya. Kami bergandengan turun dari Borobudur. Sudah siang dan perutku lapar sekali.

"Makan bakmie Jawa aja yuk." Ajak Bhin. Tomas dan aku bergidik. Nggak deh makasih makan yang manis-manis.

"Rumah makan Pak Dar aja yuk. Kan enak tuh menunya. Ada lalapan juga." Ini pasti Asep yang ngomong. Tapi setelah perdebatan yang nggak penting tapi perlu karena menyangkut hajat perut orang banyak, kami memutuskan ke rumah makan Pak Dar.

*

"Rarina, udah kenyang?" Tanya Bono, sahabat Mas Tunggal.

"Eh, Bang Tomas, liat tuh Bono deketin Rari." Seru Bhin. Lah, ni anak ketularan jahil, kataku dalam hati.

"Ra, jangan cemberut. Nanti Bono kabur. Eh Bon, lo nggak minum air aki kan?" Sambar Mas Tunggal. Kami semua tertawa mendengat pertanyaan itu. Siapa sih yang belum dengar cerita Bono minum air aki? Baca deh part duo dugong.

Bono hanya nyengir dan terus mengajakku ngobrol. Dia memang teman ngobrol yang asyik, selalu saja bisa tertawa lepas kalau dia udah mulai ngomong. Semua dikomentarin. Mulai dari air kobokan sampai pohon pisang di tepi jalan.

Rute kami berikutnya adalah Candi Ratu Boko. Sebelum berangkat, aku sempat membeli topi. Soalnya payungku udah dikuasai Bhin dan tante Ika. Kami mau mengejar sunset di Ratu Boko.

Candi Ratu Boko adalah sebuah situs purbakala di Desa Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman. Area situs ini seluas 25 hektar dan dari apa yang ku dengar, di sini adalah tempat terbaik untuk menikmati sunset di Jogja.

Selain tempatnya yang menarik, aku juga tertarik melihatnya karena teori konspirasi yang ku baca. Ceritanya adalah kompleks istana ratu boko ini tempat tinggal seorang ratu sebenarnya bernama Saba. Ratu Saba ini yang disebutkan dalam kisah Nabi Sulaiman.

Katanya ada bukti ditemukannya lempengan emas dalam kolam pemandian Ratu Saba yang semakna dengan kata Bismillahirrahmannirrahim. Dan ada pula tempat yang seperti hilang secara mendadak karena nggak ditemuin reruntuhannya. Teori itu mengatakan tempat yang hilang adalah singgasana Ratu Saba yang dipindahkan oleh Nabi Sulaiman ke Candi Borobudur dalam sekejap mata.

Sekali lagi, terlepas dari benar tidaknya kisah itu, tempat ini benar-benar indah. Lingkungannya benar-benar asri dan terawat dengan baik. Sebelum masuk ke kompleks situs, ada tempat untuk makan dan toilet umum. Juga ada pelataran untuk melihat pemandangan kota Jogja dari jauh. Candi Borobudur dan Candi Prambanan juga terlihat dari sini.

Sambil menunggu sunset, aku menjelajah situs luas ini bersama Bono dan Rono. Seperti biasa, mereka saling menjahili. Di bagian situs yang berupa pemandian, terlihat air hujan yang menggenang. Aku membayangkan bagaimana kompleks istana ini di jaman dahulu kala. Tempat ini pasti sangat indah ketika masih banyak penduduknya.

"Ra, jangan ngelamun. Cepetan tolongin." Suara Bono memecah lamunanku. Terlihat Rono sudah mendarat dengan sukses di dasar pemandian. Aku bengong sejenak, ini anak kenapa bisa jatuh ya?

Bergegas kubantu mereka. Ternyata pergelangan kaki Rono terkilir. Aku bergegas mencari Mas Tunggal, yang pandai dalam pertolongan pertama. Bahu membahu, kami mencoba mengeluarkan Rono dari dasar pemandian itu. Duh, manusia kurus ini ternyata berat juga, batinku.

Susah payah kami membawa Rono ke pelataran yang bersebelahan dengan tempat makan. Akhirnya dia duduk ditemani Mbah. Sementara kami kembali lagi ke situs untuk foto. Sunset akan segera tiba.

Kami berlima eh berenam dengan Bono, berdiri bersisian menatap sunset yang indah. Semburat merah dan oranye memenuhi langit. Kami saling merangkul. Bagiku saudara adalah penawar rindu akan sebuah keluarga. Untuk anak tunggal yang yatim piatu sepertiku, mereka adalah oase di tengah gurun pasir. Rasa bahagia akan persaudaraan terasa memenuhi hatiku. Rasa yang tidak lama lagi ternyata berubah.

Perlahan, matahari tenggelam sempurna. Bintang mulai berkelap-kelip di langit.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro