Ronaldo Kampung Kami

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tunggal's pov

Di kampung kami, setiap sore selalu ada anak-anak yang bermain bola. Entah dari mana asalnya, tiba-tiba ada berita bahwa akan ada pertandingan antar kampung.

Gue bukan pemain bola memang, hanya seorang penikmat bola. Kalau udah nggak ada kuliah, sore-sore gini enak nonton bola. Hiburan murah meriah sambil makan kacang rebus atau es mambo.

Sore tadi, kebetulan tim kampung kami lagi mengadakan pemilihan pemain untuk lomba antar kampung minggu depan. Gue ditunjuk sama salah satu pemuda. Kaget banget pas ditunjuk buat jadi salah satu pemain. Bukan apa-apa, gue beneran nggak bisa main bola sama sekali. Mendingan jadi maskot deh daripada main bola.

Pas gue lagi ngemis-ngemis nggak mau main bola, tiba-tiba si manusia es dateng. Dia ketawa liat gue yang lagi separuh bersimpuh nggak mau diajak masuk ke dalam tim sepak bola.

"Kenapa lo ketawa?" Tanya gue.

"Kau nggak bisa main bola? Begini-begini doang nggak bisa?" Tanya Tomas mengejek sambil melakukan gerakan roulette. Sontak semua orang  bersorak. Sore itu, Tomas resmi menjadi pemain inti tim kampung kami.

Sempat bengong sih lihat si manusia es itu ternyata jago main bola. Mukanya juga jadi nggak kayak manusia es lagi pas main bola. Tomas ketawa loh pas dia berhasil nge-gol-in bola. He? Bisa ketawa lepas juga ya dia, kata gue heran. Dalam hati pastinya.

Habis makan malam, gue tarik Asep ke kursi kebun. Sambil minum wedang jahe, gue cerita tentang kejadian tadi sore.

"Heran gue, Sep. Gue kira si manusia es itu cuma bisa nyuruh-nyuruh sama marah-marah," kata gue sambil nyeruput wedang jahe.

"Huaaaaa nanaaaasss." Gue teriak kaget. Saking mau ngegosip, gue sampai lupa wedang jahe ini panas banget. Asep ngakak liat gue kepanasan.

"Kayanya kamu minum wedang jahe deh Mas, bukan wedang nanas." Asep nyengir jahil.

"Panas tau. Haduh, lidah gue kebakar." Gue mengipas-ipas mulut sambil menjulurkan lidah. Asep ngakak maksimal, sampai nyusruk ke depan. Gantian gue yang ngakak.

"Kualat lo sama gue."

Asep mengusap kepalanya sambil ngomel-ngomel pelan. Dia membetulkan posisi kursi dan duduk lagi. Untungnya nggak kesiram wedang jahe panas dia.

"Udah lama kok kita-kita tahu kalau Bang Tomas pinter main bola. Kan kalau hari sabtu, kita suka main bola bareng. Mungkin kalau Bang Tomas nggak ngurusin kebun di Brastagi dulu, dia udah jadi atlit." Asep menjelaskan sambil sesekali meniup wedang jahenya.

Aku tercenung. Kenapa gue nggak tahu ya? Apa gue segitu cueknya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkecamuk dalam pikiran gue sampai akhirnya Asep pamit pergi. Mungkin dia bosan liat gue yang terus ngelamun.

*
Tomas, tentu saja langsung jadi bintang di kampung kami. Ronaldo kampung kita, begitu mereka menyebutnya. Terus terang, aku iri melihat dia dielu-elukan. Sekarang, setiap kali dia lewat selalu saja ada yang menyapanya. Perempuan-perempuan malah mendadak jadi suka main ke rumah. Alasannya macam-macam, ketemu Mbah-lah, antar makanan-lah, inilah itulah. Huh, begitu aja kok dibanggain, pikir gue diam-diam. (Padahal Tunggal iri yak hahaha)

Sore ini harusnya tugas Tomas buat nyapu halaman. Tapi dia limpahin kerjaannya ke gue dengan alasan harus latihan bola. Cih, kayak gue nggak tahu aja alasan dia buat mangkir dari tugas.

Di rumah ini memang masing-masing dari kami dapat tugas. Urusan dapur, itu kerjaan Rarina. Nyapu rumah, itu bagian gue. Bikin rumah kinclong alias ngepel, itu tugas Asep. Mastiin tanaman seger, berbunga dan berbuah banyak, itu kerjaan Bhin. Nyapu halaman, itu kerjaan Tomas. Selain itu, motor dan mobil harus dicuci setelah digunakan oleh yang minjem. Makanya, kalau malas nyuci kendaraan, mendingan gue naik angkot atau bus aja.

Gue nyapu halaman dengan sekuat tenaga sampai kayak ada tornado mini yang menghalau daun-daun kering. Habis, kesel banget sih. Tomas enak-enakan main bola, dielu-elukan orang sekampung, sementara gue ngerjain tugasnya. Awas aja nanti dia kalau pulang, batinku ikut berdemo melawan ketidakadilan ini.

"Mas, kamu nyapu apa gali tanah? Itu kayaknya udah jadi lobang deh." Suara Bhin terdengar sayup-sayup padahal deket. Gue aja yang lagi nggak mau dengerin orang ngomong.

Terdengar Bhin ngomel-ngomel karena dicuekin, terus dia masuk rumah sambil menghentak-hentakan kaki. Dih, kayak anak kecil aja, gede ngambek, pikir gue. (Tunggal lupa, kalau dia juga lagi ngambek kayak anak kecil)

Gue masih nyapu dengan jurus doton : mogurakure alias menggali tanah. Pernah dengar anime Naruto? Atau baca komiknya? Atau nonton filmnya? Nah, kalau belum pernah coba baca ya. Kasih tau gue kalau lo nggak puyeng ngafalin silsilah dan jurus-jurus yang bejibun banyaknya. Gue udah K.O pas baca komiknya.

"Mas, kamu kenapa sih? Uring-uringan gitu. Itu halaman yang kamu sapu kayanya udah bisa buat nanem pohon deh." Suara lembut Mbah membuat gue langsung menoleh. Gue nyengir malu, bingung juga mau ngomong apa selain garuk-garuk hidung dan kepala yang gatal. Tenang, walaupun salah tingkah gue nggak pernah garuk-garuk ketek sambil loncat dan teriak-teriak ala monyet. Jaga image dong.

"Anu..eh..nggak Mbah. Nggak apa-apa." Sahut gue akhirnya. Mbah menghela nafas. Gue sampe lihat berkeliling, jangan-jangan beneran uda nyapu sampai kegali kolam renang. Syukurlah kayaknya nggak separah itu.

Mbah kasih nyanyian kode supaya gue ngedeketin dia. Srimulat banget kan gue, batin gue bangga. (Padahal itu kan Warkop DKI, ya. Si Tunggal ini emang susah buat nginget nama film atau pemainnya). Gue duduk sambil meluruskan kaki di samping Mbah.

"Kamu kenapa Mas? Kok kayak orang linglung. Masa nyapu kayak gitu sih? Nyapu atau mau bikin ruangan bawah tanah." Mbah sukses nyindir gue secara halus.

"Nggak kenapa-kenapa kok, Mbah. Beneran deh," kataku pelan.

"Bener, nggak apa-apa? Bukan karena Tomas sekarang jadi primadona kampung?"

Duaaarrr. Rasanya kayak ada petasan pecah di telinga dan hati gue. Kok bisa-bisanya Yang Mulia Mbah Putri ini nebak bener.

"Bener ya?" Melihat raut muka gue yang serba salah, Mbah langsung sigap mengartikannya.

Ngaku, nggak, ngaku, nggak, gue mulai milih pilihan jawaban dalam hati gue.

"Tunggal?"

"Eh iya ngaku deh Tunggal ngiri sama Tomas." Kaget deh gue. Gara-gara kaget, buyar rencana jawaban yang mau gue kasih ke Mbah.

"Hehehe. Langsung ngaku." Mbah berkata senang. Sementara gue cuma bisa nyengir, kadung basah, mandi aja sekalian. Asal jangan mandi di halaman ya, malu.

"Tunggal tuh heran, Mbah. Kok kayak gitu aja jadi dianggap pahlawan banget. Sombong tuh dia. Lihat tugasnya aja dialihkan ke Tunggal." Sahutku sewot. Mbah terlihat berpikir, mungkin sedang memilah jawaban.

"Mas, kadang apa yang kita pikirkan belum tentu benar kejadiannya seperti itu. Manusia itu penuh prasangka, makanya kita harus berkomunikasi. Coba, memangnya kamu pernah bilang ke Tomas kalau kamu keberatan dilimpahkan tugas darinya?" Aku menggeleng pelan-pelan.

"Selain itu, penduduk kampung ini memang benar membanggakan Tomas. Tapi sejauh yang Mbah lihat, dia biasa saja tuh. Membalas sapaan warga, tersenyum dan mencoba membantu saat yang lain kesulitan. Mungkin selama ini kamu nggak perhatikan, karena kamu sibuk dengan prasangkamu sendiri."

Muka gue memerah saat gue merasakan kebenaranya. Iya juga ya, gue kan nggak pernah mau dengerin pas Tomas ngomong.

"Semua orang punya kelebihan dan kekurangan yang berbeda, Mas. Karena itu kalian bisa saling melengkapi untuk tumbuh semakin kuat," kata Mbah lagi.

Gue resapin kata-kata Yang Mulia Mbah Putri Setiowidjojo sambil mengangguk-angguk. Bener juga sih, kayaknya gue udah terlampau iri deh sampai nggak bisa berpikir jernih, kata gue dalam hati.

"Kalau udah paham, balikin lagi tanah yang tadi kamu sapu sampai kayak mau bikin danau buatan." Mbah berdiri lalu pamit ke dalam rumah, meninggalkan gue bersama pikiran gue sendiri. Kemudian tatapan gue beralih ke gunungan tanah. Lah, banyak amat. Huh, musti kerja bakti nih kayaknya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro