Copet Amatir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bhin's pov

Aku menjinjing berbagai barang belanjaan di belakang Rarina yang berjalan cepat menembus kerumunan orang di pasar. Rarina berbelok cepat, aku sampai harus berlari supaya nggak ketinggalan. Peluh membanjir di keningku.

Besok Mbah ulang tahun. Kami sepakat untuk membuat pesta kecil-kecilan. Rarina si tukang masak, memaksaku dan Mas Tunggal untuk nemenin dia belanja ke pasar Beringharjo. Tapi seperti kuduga, Mas Tunggal macet di tengah jalan. Dia memilih untuk makan pecel sayur di depan pasar ketimbang belanja.

Aku mengeluh dalam hati, kenapa harus naik-naik tangga sih? Banyak banget nih bawaannya.

Setelah menawar, menimbang dan mengambil keputusan di antara puluhan barang yang akan dibeli, akhirnya selesai juga. Terus terang, aku nggak berperan apa-apa disini selain menjadi tukang bawa barang. Tapi toh Rarina lihai membujuk untuk mendapat harga murah.

Kami turun dengan lambat menuju gerbang pasar melewati kios yang menjual baju-baju. Nah, kalau soal baju aku nggak ngeluh deh. Sambil berusaha lihat-lihat, aku mengingat tempat yang menjual baju incaranku.

Sementara itu, Mas Tunggal lagi asyik nyeruput es teh manisnya. Kuteguk saliva dan mempercepat langkah. Terdengar pekikan dan teriakan orang-orang di belakang Mas Tunggal.

BUKKKK

Aku mengaduh ketika sesuatu menabrakku dengan keras. Tak ayal, barang-barang yang kupegang nyaris berhamburan. Dengan mata berkunang-kunang, aku mencoba melihat apa yang menabrakku.

Yang kulihat hanya sekelebat warna kuning berlari cepat melewatiku. Rarina membantuku berdiri sambil mengumpulkan belanjaan yang terserak. Lalu menuntunku ke tempat duduk plastik sambil mengoceh panjang lebar tentang seseorang yang menabrakku.

*

Jadi di sinilah kami satu jam setelah insiden yang cukup menghebohkan di depan pasar beringharjo. Aku memperhatikan ruangan ini dengan seksama, maklum baru pertama kali di ruangan ini.

"Untung kamek nggak beli bahan yang gampang basi. Cuma kasihan itu ayamnya kepanasan kali ya. Untung kau tadi cepat punya akal buat masukin plastik ayam ke plastik es batu. Kalau nggak kan kasihan," kata Rarina sambil menyenderkan punggungnya santai.

"Kenapa kasihan sama ayam sih? Dia kan udah mati. Tinggal dimasak terus dimakan. Kasihan tuh sama kita yang lama banget di sini." Protesku memanyunkan bibir.

Ya, saat ini kami sedang di Polresta Jogjakarta, menunggui Mas Tunggal yang sedang membuat BAP (Berita Acara Pemeriksaan) setelah aksinya siang tadi.

Jadi, aku ternyata ditabrak oleh seorang pencopet yang mengambil dompet dari tas ibu-ibu di dekat penjual pecel. Ketika Ibu itu berteriak, pencopetnya panik. Dia langsung berlari dan menabrakku dengan harapan perhatian orang terpecah karena belanjaan yang kupegang terlempar. Tapi copet itu salah duga, kelebatan warna kuning yang kulihat adalah Mas Tunggal yang dengan sigap mengejar copet itu. Mas Tunggal tahu ada Rarina yang akan membantuku.

Mas Tunggal berkejaran di sepanjang gang yang menghubungkan antara pasar Beringharjo dengan Malioboro. Tujuan copet itu memang segera ke Malioboro untuk kemudian membaur dengan wisatawan. Sialnya si copet nggak tahu kalau Mas Tunggal itu pelari. Dia rajin joging setiap pagi atau sore dan secara berkala ikut lari maraton. Dengan mudah, copet itu dikejarnya.

Ketika menangkap copet itu, Mas Tunggal segera merangkul dari arah belakang dan menahan tangan kanan copet. Soalnya, kalau copet itu bawa senjata tajam jadi bisa ketahan.

Orang-orang yang mengikuti pengejaran sempat mau main hakim sendiri. Tapi Mas Tunggal berhasil meredam amukan masa itu dan membawa si copet ke pos polisi. Lalu Mas Tunggal menelpon Rarina dan aku untuk menjemputnya.

"Untung ya tadi aku sempat minum es teh manis dulu. Kalau nggak pasti haus banget. Tapi sekarang aku lapar nih Ra," keluhku pada Rarina.

Rarina menyodorkan roti yang dia bawa. Tasnya memang serupa kantong doraemon. Obat-obatan, kue kering, roti sampai alat make up ada semua.

Untunglah, sebelum aku pingsan beneran karena bosan, Mas Tunggal selesai membuat BAP. Aku bersorak senang, yeay akhirnya bisa pulang.

Sampai rumah, yang lain langsung ribut menanyai kami termasuk Mbah. Aku memang sempat kasih tau kalau kami sedang di Polresta. Daripada nanti kami di bombardir pertanyaan kok lama? Pulangnya kapan? Ngapain aja di pasar, belanja atau tidur? Pertanyaan terakhir biasanya datang dari Asep tuh yang suka ngaco.

Semua heboh nanyain Mas Tunggal, jadi pahlawan dia. Tapi aneh deh, masa Bang Tomas cuma berdiri di ujung sambil bersidekap.

"Bang, abang sakit perut?" Tanyaku sambil mencolek lengannya.

"Nggak," jawab Bang Tomas. Dia itu memang irit kalau ngomong. Butuh orang yang tahan banting buat ngehadepin Bang Tomas, contohnya kayak aku dan Rarina ini.

"Tapi, kok mukanya sepet? Abis makan pisang belum mateng ya? Sepet," kataku sambil cengengesan. Bang Tomas mendengus, ih jadi mirip kuda deh.

"Kalian nih, kayak gitu aja dihebohin. Udah sepantasnyalah dia bantuin. Kalau Tunggal diam aja, baru kita heboh." Bang Tomas mencibir lalu menuju dapur untuk membantu Rarina mengeluarkan belanjaan. Aku hanya mengangkat bahu. Bukan rahasia lagi kalau Mas Tunggal dan Bang Tomas selalu berseteru. Mungkin kalau sehari nggak berantem, rasanya kayak sayur kurang garam, hambar. Aku mengikuti Bang Tomas untuk membantu Rarina.

Setelah membantu Rarina, aku mandi sore terus main ke kamar Mbah yang lagi membereskan baju yang sudah diseterika buat dimasukin ke lemari.

"Mbah, sini Bhin bantuin," kataku sambil membantu memilah-milah baju. Baju pergi, kebaya, baju rumah semuanya dipisah supaya rapi.

"Mbah, kenapa sih kok Bang Tomas sama Mas Tunggal itu saingan terus?" Tanyaku penasaran. Mbah tertawa kecil.

"Itu cerita lama, Bhin. Dulu ayahmu sama bapaknya Bang Tomas itu juga senangnya saingan. Mereka memang saling menyayangi tapi juga sekaligus bersaing. Kalau persaingan secara sehat, sebenarnya bisa memaksimalkan potensi, jadi Mbah dan Kakek dulu hanya mengawasi. Kalau persaingan berubah jadi negatif, baru kami turun tangan." Mbah menjelaskan sementara aku manggut-manggut.

"Tapi, kenapa sih kok setiap salah satu punya prestasi, yang lain kayak nggak suka gitu? Nggak sportif ya namanya Mbah?" Tanyaku masih penasaran. Mbah tertawa.

"Kamu ini jadi anak banyak pengen tahu ya," sahut Mbah sambil menjawil hidungku. Aku cuma nyengir sambil mengangkat bahu. Yah, gimana lagi kan penasaran.

"Mereka itu bukan nggak sportif tapiiii gengsi. Belum mau mengakui bahwa yang lain juga hebat meski di bidang yang lain."

"Bisa akur nggak sih Mbah kalau kayak gitu?"

"Ya bisa saja, Mbah selalu yakin kalau kelak mereka akan mengakui satu sama lain secara terbuka. Bukan sembunyi-sembunyi seperti sekarang ini. Kamu tahu kalau diam-diam Mas-mu itu selalu hadir di pertandingan sepakbola Bang Tomas? Atau Bang Tomas suka diam-diam memperhatikan kalau Mas Tunggal jogging?"

Aku merenung. Bener juga ya, mereka itu serupa anak-anak yang saling bersaing dan belum mau mengakui.

Baju sudah selesai dibereskan, aku beranjak menuju kamar. Bersiap untuk sholat Magrib. Seenggaknya satu misteri sudah kuketahui jawabannya. Mudah-mudahan aku bisa lihat ketika mereka berdua saling mengakui. Saat itu aku nggak tahu kalau keinginanku akan segera terwujud.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro