Percakapan Semalam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng




Mbah Putri's pov

Sejak pagi, dapur ini ramai dengan suara pertengkaran, ledekan, tawa dan gurau. Aku nggak henti tertawa melihat kelakuan cucu-cucuku ini.


Menurutku, dapur ini adalah bagian ternyaman. Mungkin karena aku menghabiskan hampir separuh hidupku di dapur ini. Menyiapkan sarapan, makan siang, makan malam dan camilan untuk suami serta anak-anak.

Puluhan tahun silam, dapur ini sangat sederhana. Kemudian, suamiku memperbaikinya sedikit-sedikit dan ketika dewasa, anak-anak merombaknya sehingga semakin nyaman.

Dapur inj, juga menjadi tempat favorit cucu-cucuku. Segala macam camilan tersedia disini, meskipun kebanyakan adalah camilan tradisional.

Lihat saja, cucuku nomor empat, si Bhin itu bahkan merajai toples enting-enting, sebuah camilan khas Jogja yang sangat dia sukai.

"Mbah, anak ini suruh keluar jak. Pusing kamek lihatnya." Rarina, cucuku nomor lima, mengadukan Asep. Yang diadukan cuma nyengir tanpa rasa bersalah.

Memang sedari tadi, Asep hanya mondar-mandir nanya ini dan itu ke Rarina. Sementara itu Tomas dan Tunggal, duduk di meja makan sembari main catur. Oh, tentu mereka berdua main sambil bertengkar. Cara mereka menunjukkan kepedulian memang unik, bertengkar.

Sementara aku, aku hanya mendapat tugas untuk menuntun Rarina membuat opor ayam dan sambal goreng kentang dengan taburan petai. 

Semuanya bermula dari tadi malam. Seperti biasa, jika hari Jum'at, cucu-cucuku akan duduk bersama menyambut akhir pekan. Biasanya kami duduk di ruang duduk sambil menonton televisi.

*

"Mbah, ayo dong cerita. Plissss," Bhin berkata. Raut mukanya memelas. Aku tertawa singkat.

"Yowes. Singkat ya." Akhirnya aku menyerah setelah dirayu-rayu untuk bercerita tentang Kakek mereka, suamiku.

"Kakek kalian itu keturunan orang Makassar. Di masa muda, beliau merantau ke tanah Jawa. Melamar sebagai anggota Tentara Republik Indonesia. Badan Kakek tinggi tegap dengan muka tegas dan otak yang cerdas, sehingga beliau dengan mudah diterima." Aku menarik nafasnya. Teringat wajah Setiowidjojo muda yang menarik perhatianku dalam pertemuan pertama kami.

"Kakekmu itu, salah satu dari lima orang pejuang yang terakhir meninggalkan kota Bandung saat peristiwa Bandung lautan api." Rarina terkesiap. Siapa yang menyangka, Kakek adalah pejuang tangguh yang gagah berani.

Ketika itu, Indonesia baru saja merdeka. Ultimatum tentara sekutu untuk menyuruh para Tentara Republik Indonesia meninggalkan kota Bandung, membuat mereka melakukan operasi "bumihangus". Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan warga setempat, agar sekutu tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer.

Kakek berjalan kaki dari Bandung menuju Jogja setelah operasi dilaksanakan. Medan perjalanannya berat. Di kota Gombong, Kakek menumpang istirahat kepada warga setempat. Inilah momen pertama kali Kakek bertemu dengan Sekar kecil, aku.

"Terus, terus...gimana lanjutannya, Mbah," seru Bhin nggak sabar.

Sekar kecil menatap takut-takut para tentara yang disembunyikan orangtuanya. Para tentara itu berpenampilan memprihatinkan. Tapi salah seorang yang dipanggil Setio, memiliki mata kemilau yang mengagumkan. Keberaniannya seakan terpancar keluar dari penampilan kumuh. Diam-diam, Sekar kecil mengagumi pemuda itu.

Ketika berpamitan pergi, pemuda Setio berkata pada orangtua Sekar. Bahwa jika situasi sudah stabil, maka dia akan datang kembali untuk Sekar.

Di usia 15 tahun Sekar menikah dengan Setiowidjojo yang ternyata saat itu sudah berumur 32 tahun. Terpaut usia yang cukup jauh, nggak menyurutkan cinta mereka.

Sekar turut berpindah-pindah tempat kemanapun Setio ditempatkan oleh satuannya. Terakhir, mereka menetap di Bandung cukup lama sebelum akhirnya pindah ke Sleman saat Setio pensiun.

Mataku menerawang mengenang masa-masa itu. Kisah cinta yang di latar belakangi perjuangan membela tanah air, selalu bisa membuatku tersenyum mengenang mendiang suamiku.

"Mbah, kenapa Kakek senang punya menantu dari berbagai suku? Tunggal punya teman yang ibunya ngotot dia harus nikah sama orang dengan suku yang sama. Kenapa Kakek beda?" Tunggal menyuarakan keingintahuannya, memotong lamunanku.

Aku tersenyum seperti gadis yang baru saja jatuh cinta. Tunggal menyuarakan titik dimana Aku pertama kali mengagumi suamiku bahkan sampai detik ini.

"Kalian tentu sudah menduga bukan kalau Kakek sangat nasionalis. Beliau mencintai negara ini, rela mati demi negara ini. Satu hal yang beliau inginkan adalah menyatukan Indonesia di dalam rumahnya. Itu sebabnya, dengan sukacita dia menerima para menantu dari berbagai suku dan belajar dari para besan."

Tunggal manggut-manggut. Teka-tekinya terjawab sudah.

"Nah, berhubung sudah tiga bulan kita tinggal bersama, Mbah ada permintaan. Mulai sekarang dan seterusnya, cobalah berbahasa Indonesia di rumah ini. Kita satukan perbedaan bahasa dan suku, disini. Setuju?" Aku mengedipkan matanya pada para cucu yang masih terpesona dengan cerita Kakek. Mereka mengangguk serempak. Rasanya jiwa patriotisme menggelegak dalam semalam.

"Satu lagi, Mbah," seru Tunggal tertahan.

"Kenapa Tunggal dinamakan Tunggal? Padahal kan punya Adik. Nggak Tunggal dong artinya." Aku tertawa mendengar pertanyaan Tunggal.

"Tanyakan pada Ayah Ibumu nanti, ya. Mereka yang berhak menjelaskan."

Kemudian hening sesaat. Televisi menampilkan tayangan masterchef. Rarina yang hobi masak, terlihat berpikir.

"Ingatan Kamek, eh aku maksudnya, yang paling kuat adalah rasa bahagia ketika kita bisa berkumpul bersama. Orangtuaku dan Kakek masih ada. Lebaran entah berapa tahun lalu. Saat itu, aku masih kecil. Tunggal dan Tomas dihukum nyanyi lanjutan. Ingat, nggak?" Rarina memandang berkeliling. Semuanya serempak tertawa mengingat kejadian silam.

"Lebaran itu momen spesial keluarga besar kita, ya?" Bhin melamun mengenang masa lalu.

"Kalau gitu, kita besok masak bareng yuk. Kita bangkitkan kenangan lebaran yang menyenangkan sebelum lebaran datang." Rarina memutuskan.

Empat sepupu termasuk aku melongo sesaat. Lalu kami serempak setuju akan usul Rarina. Segera pembagian tugas dilakukan untuk acara masak bersama besok.

*

Dan, disinilah sekarang mereka berenam. Anak-anak itu berbagi tugas sambil bergurau. Setelah itu, chef Rarina mengambil alih. Sementara yang lain menyebar di dapur dengan kesibukan masing-masing.

Nggak lama, menu lebaran di bulan bukan lebaran pun tersaji. Semua mata memandang berbinar-binar. Walaupun hanya ketupat, opor ayam dan sambal goreng ati. Tapi rasanya luar biasa.

*

Makan siang istimewa berjalan lancar. Sesekali memang ada perdebatan. Tapi tidak ada yang tersulut emosinya.

Senang sekali menghabiskan waktu akhir pekan bersama cucu-cucuku ini. Mereka bisa membuatku tertawa, kembali merasa muda dan yang terutama semakin mencintai suamiku.

Suamiku pasti tahu menjelang kematiannya, bahwa rasa kehilangan akan bisa membunuhku perlahan-lahan. Seperti pisau yang ditusukkan pelan-pelan. Karena itulah, dia memberikan wasiat sekaligus permintaan terakhir agar kelima cucu terbesar bisa menemaniku di rumah ini.

Awalnya terasa aneh. Berbagai bahasa dan kebiasaan hilir mudik di dalam rumah. Terkadang, itu membuatku bisa bicara dengan empat bahasa daerah dijadikan satu. Karena menurut pendengaranku, semua bisa menjadi satu kesatuan utuh.

Aku memandang berkeliling. Tersenyum lebar menatap mereka yang lahap menyantap masakan Rarina. Pujian mengalir dari sana dan sini menyebabkan cucuku yang cantik itu tersipu malu.

Aku mencintai mereka. Sebesar cinta orangtua mereka. Dan hidup bersama mereka itu penuh kejutan. Aku nggak tahu, mereka bakal berbuat apa esok hari. Juga akan ada ide apa di dalam kepala mereka yang membuat rumah terasa meriah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro