Rindu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bhin duduk termenung di atas tikar. Segelas kopi joss tersaji di hadapannya. Kopi favoritnya yang dicemplungi arang membara. Biasanya, Bhin akan terkekeh kecil lalu mengaduk gelas itu sementara uap merekah ke udara. Tapi sekarang, dia hanya diam.

Asep yang memperhatikan sepupunya, heran. Tumben si cerewet ini aneh. Tadi di rumah, maksa buat nongkrong di angkringan tugu. Udah sampai malah bengong. Kalau bengong kan di rumah aja, gratis. Nggak usah bayar bensin, gorengan sama kopi.

"Kunaon, Bhin? Bengong aja. Awas nanti sapi gila lewat."

Bhin menatap sepupunya heran. Lawakan lawas itu kok masih aja dipakai hari gini.

"Bosen, kali." Jawab Bhin asal.

"Sakit perut, sakit gigi, sakit kepala? Mual-mual, lemah, letih, lesu? Kurang air, kurang makan, kurang duit?" Berondongan pertanyaan Asep dijawab dengan gelengan.

Asep mengangkat bahunya. Kalau Bhin mau bersikap kayak kucing kecebur got terus bengong-bengong, silakan aja. Asep sih nggak mau rugi. Udah jauh-jauh kesini ketemu sama sego kucing dan aneka sate, kok malah dianggurin.

Sambil mengunyah sate telur puyuh, Asep melihat berkeliling. Siapa tahu ada temen satu kampus. Kan lumayan buat nemenin dia nungguin ayam bengong di sampingnya.

Pucuk cinta, ulam pun tiba. Dilihatnya sosok Roci berjalan di kejauhan. Badannya yang tidak terlampau tinggi tapi kekar terlihat.

"Ci, sini." Panggil Asep.

Roci tertawa lebar melihat Asep. Lumayan ada tempat buat duduk. Maklum, malam minggu pasti di sini penuh.

"Untung ada kamu, Sep. Lumayan aku nggak pusing nyari tempat duduk. Kamu sendiri?" Tanya Roci sambil melihat-lihat pemandangan yang ada. Orang, tempe goreng, kopi joss dan Asep.

Asep menyikut lengan Bhin. Berharap, sepupunya udah sembuh dari penyakit bengong akut.

"Hoi, kenalin nih Bhin. Temenku di kampus." Bhin menoleh. Senyumnya otomatis merekah.

"Bhinneka." Sapanya ramah lalu kembali melamun.

"Eng, itu pacar kamu Sep?" Tanya Roci. Asep tertawa mendengar pertanyaan itu.

"Kalau iya, cocok nggak Ci?"

"Yah, cocok sih. Cuma, kasian ya dia. Pasti dia makan hati terus sama kamu."

"Enak aja. Hahaha, dia sepupuku Ci. Biasanya ramai kayak petasan banting. Tumben nih dia diem. Mungkin lagi kurang sajen."

"Oh gitu. Jadi, dia biar cantik harus makan sesajen gitu ya Sep?" Roci manggut-manggut sambil penasaran.

Demi dibilang cantik, Bhin menoleh. Dia tersenyum manis, sampai Roci merasa serba salah dilihatnya.

"Denger ya, Roti. Aku tuh lagi mikirin sesuatu. Dan tenang aja, aku ndak makan sajen. Tapi arang." Bhin menyahut asal, lalu tenggelam lagi dalam lamunan.

"Sepupu kamu, kenapa sih?" Bisik Roci pelan. Takut kedengaran Bhin lagi.

"Biasa, deh. Kurang jatah preman. Makanya kamu beliin gih roti bakar."

"Itu mah modus kamu."

Dua teman itu terus mengobrol sampai kopi habis dan perut kenyang.

"Sep, mulih yok," ajak Bhin.

Asep mengangguk. Setelah membayar, berpamitan sama Roci, mereka pun beranjak pulang.

"Kunaon ari kamu, diem aja? Cerita atuhlah sama Asep. Siapa tahu, Asep bisa cariin jodoh."

Bhin mengeplak helm Asep. Siapa juga yang bengong karena belum dapat jodoh.

"Aduh! Ih ari kamu mah kalau marah, gitu. Cerita atuh, ini malah keplak-keplak suweng, suwenge..." Asep malah bernyanyi cublak-cublak suweng. Bhin mencubit pinggang Asep.

"Cicing siah," seru Bhin.

"Eh, bisaan euy bahasa sunda, kamu." Asep tertawa bahagia.

"Sep, kalau aku cerita, kamu ketawa nggak?" Tanya Bhin kemudian.

"Kalau cuma cerita, nggak bakal ketawa. Tapi kalau kamu cerita sambil ngelawak, ya aku pasti ketawa."

"Serius nih, Sep."

"Iya deh iya. Sok atuh cerita." Asep mengalah dan siap mendengarkan cerita Bhin.

"Bhin, kangen Ayah Ibu." Suara pelan Bhin membuat Asep terdiam.

"Sabar ya Bhin. Nanti liburan tengah semester kan kamu bisa ke Jakarta. Atau mereka datang ke sini. Video call gih, biar kangennya sedikit terobati." Hibur Asep. Sementara motornya melewati perempatan Monjali, Monumen Jogja Kembali.

Bhin menepuk jidatnya.

"Ya Allah, iya ya kenapa nggak video call aja? Hehe lali aku, Sep."

Asep tergelak sementara Bhin tersipu malu. Yah, namanya juga lagi kangen kan bisa lupa yang lain, batin Bhin.

"Ngomong-ngomong temen kamu si roti, ganteng juga ya Sep. Kalau diam tapi."

"Eh, kenapa kalau dia ngomong?" Asep penasaran.

"Ya, gitu deh. Suaranya lucu. Gantengnya berkurang deh 1 poin." Bhin mengangkat bahunya cuek.

"Hahaha. Aku bilang ya sama Roci." Asep tertawa sambil mengancam Bhin yang juga tertawa kecil. Motor sudah memasuki halaman rumah. Bhin turun dan melepas helm.

"Makasih ya, Sep. Kamu udah mau nemenin aku." Bhin menonjok ringan bahu Asep. Yang ditonjok hanya tersenyum kecil.

"Anytime, Bhin."

"Ehem. Enak ye beduak habis jalan-jalan. Kamek ndak diajak." Rarina cemberut melihat Bhin dan Asep pulang.

"Eleuh, cemburu pisan Ra. Asal kamu tahu ya, tadi aku itu nemenin anak ini bengong-bengong macam ayam sakit." Asep menunjuk Bhin dengan dagunya.

"Ojo marah tho Ra. Sesok yo ta' ajak." Bhin merayu Rarina.

"Eh, Ra tadi aku ketemu cowok lucu. Ngguanteng tapi suaranya ya-gitu-deh. Namanya lucu. Temennya si Asep." Bhin udah mulai pasang pose ngerumpi. Rarina diseret ke ruang tengah yang lagi. Sementara Tomas dan Tunggal lagi main playstation sambil bertengkar.

"Emang sape namanye?" Penasaran juga Rarina. Soalnya tumben banget, anak kebanyakan micin ini jadi kegatelan.

"Namanya Roti. Ya kan, Sep?" Bhin menoleh ke Asep yang duduk selonjoran di karpet.

"Roci namanya, Bhin. Kamu ganti nama orang seenaknya." Sahut Asep sambil mengambil cemilan di atas meja.

"Eh, tumben kau nggak pakai bahasa sunda?" Tomas bertanya heran.

"Iya, Tom. Insap. Soalnya suka ada yang nggak nyambung kalau aku ajak ngomong." Sambil nyengir Asep menatap Tunggal.

"Maksud lo, itu gue? Iya gue nggak ngerti bahasa kalian. Pusing. Gue kan harus artiin maksud kalian." Tunggal meletakkan stik PS lalu menyenderkan badannya di sofa.

Rarina tertawa kecil.

"Iya, masa tadi kamek eh aku nanya Bhin kemana sama Mas Tunggal, eh dia jawab Alhamdulillah Bhin sehat. Ahahaha. Kupikir dia mulai gila kayak biasanya. Ternyata beneran nggak ngerti."

Tunggal pasrah ditertawai sepupu-sepupunya.

"Bhin, udah selesai masa bengongnya?" Tunggal mengalihkan pembicaraan ke adiknya.

"Hehe, iya Mas. Nanti Bhin video call sama Ayah Ibu biar ndak kangen." Bhin menjawab sambil menyugar.

"Oooh, kau rindu rumah kau rupanya. Pantas, beberapa hari ini kau jadi orang normal. Nggak kebanyakan micin kayak biasanya. Kupikir kau sakit." Tomas menyahut dengan polos.

"Kamu enak, Bhin. Kangen Ayah Ibu tinggal telepon, video call. Aku kalau kangen Ayah dan Mamak, hanya bisa lewat doa dan mimpi." Semua terdiam ketika Rarina berkata dengan sendu. Bhin beranjak memeluk Rarina. Tomas menepuk bahunya, begitu pun Tunggal dan Asep.

"Setiap orang pasti pernah merindu. Tapi waktu akan menyembuhkan kita. Doakan orangtua kita sesering mungkin. Titipkan rindu kita dalam doa." Asep berkata bijak, lalu memeluk sepupu-sepupunya.

"Group hug," serunya.

Tawa menggema di dalam rumah ketika tidak ada yang mau dipeluk Asep dan malah lari menghindar.

Selalu ramai memang rumah ini. Ada rindu, tawa, pertengkaran dan rasa sayang. Namun, suatu saat, waktu akan menyatukan mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro