Bab 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tepat pukul 18:30 Leon menjemputku menggunakan mobil mewahnya. Sengaja aku tidak berdandan seperti saat ngantor.

Leon sepertinya yak mempermasalahkan riasan atau baju yang ku kenakan. Pria itu tetap terlihat santai dan tenang.

Sepanjang jalan kami hanya beberapa kali mengobrol ringan.

Sesampainya di Lovely Cafe kami langsung menuju meja paling dekat dengan panggung mini. Memesan makanan dan minuman.

"Vie maaf saya ke toilet sebentar, ya," ujar Leon.

Aku hanya mengangguk. Baru beberapa saat Leon pergi, Jo datang dan langsung duduk kursi yang baru saja Leon tinggalkan.

"Hai, Vie," sapa Jo sedikit gugup.

"Hai, Jo," jawabku tak kalah grogi.

Kami sahabat sejak beberapa tahun terakhir. Pria yang penuh pesona, itu kesan yang kutangkap saat pertama kali bertemu di sebuah konser musik.

Kami sama-sama menyukai musik pop. Sejak pertama kali bertemu kami langsung akrab. Setelahnya begitu sering kami menghabiskan akhir pekan bersama meski hanya sekadar berbincang di taman setelah ia pulang les musik.

Begitu banyak kenangan manis bersama pria melankolis itu. Usia kami sebaya, musik favorit sama, dan cemilan kesukaan juga tidak berbeda.

Terlalu banyak kesamaan hingga kami merasa sangat cocok satu sama lain. Ia banyak cerita tentang apa saja kecuali keluarganya. Menurut Jo keluarga yang ia miliki sama sekali tak membuatnya bahagia. Ia merasa seperti anak tiri.

Seorang ayah yang selalu memaksanya kuliah jurusan ekonomi dan seluruh seluk beluk bisnis harus ia pelajari. Seorang ibu yang tak pernah bisa membela keinginannya di hadapan sang ayah.

Jo merasa tertekan setiap hari, hingga akhirnya ia memilih tinggal bersama seorang teman di sebuah apartemen kecil tak jauh dari tempat les musiknya. Untuk membayar les dan apartemen Jo bekerja di restoran cepat saji sebagai kurir. Selain itu dia juga menjadi loper koran di pagi hari. Saat kemampuan musiknya semakin baik ia mulai menerima panggilan tampil di berbagai acara baik sekolah atau kafe dengan bayaran lumayan.

Jo sama sekali tak menerima uang dari ayahnya untuk bertahan hidup dan membayar les musik. Ia sangat pekerja keras demi cita-cita. Sekarang semua kerja kerasnya terbayar dengan kesuksesan berkarier di dunia musik.

"Vie, apa papaku sudah membicarakan tentang perjodohan?"

"Perjodohan apa maksud kamu?"

"Papa bermak--"

"Hai, Bro! Jam berapa main?" Leon tiba-tiba sudah menarik kursi di sebelah kiri Jo.

"Ah, hai, Kak! Sebentar lagi kami main. Tadi sudah cek sound dan semua siap."

Pesanan kami datang. Jo bergegas pergi saat seorang temannya menghampiri dan memberitahukan agar segera tampil.

Aku dan Leon makan sambil menikmati merdunya suara Jo. Malam ini mereka membawakan beberapa lagu barat yang sedang hits selain lagu milik mereka sendiri. Sebagai penutup mereka membawakan lagu milik Shawn Mendez yang berjudul Treat You Better. Aku berhenti mengunyah makanan saat mereka membawakan lagu tersebut. Mata Jo tak lepas menatapku dengan tatapan seperti menahan emosi.

Leon sesekali menatapku. Ia seperti sedang mengamati. Meski risih tapi aku membiarkannya malah pura-pura tak sadar sedang diperhatikan dan memilih mengalihkan pandangan ke arah panggung, tepatnya pada Jo yang sedang menyanyi sambil bermain gitar.

***

Esok paginya, bosku baru yaitu Leon. Pak Dion sudah menyerahkan semua urusan kantor padanya karena beliau berniat pensiun dan mengurus istrinya yang sedang sakit di Amerika.

Aku sedang asyik menyusun jadwal pertemuan Leon dengan klien saat tak sengaja mataku menangkap sosok tegap tengah berdiri tak jauh dari mejaku. Leon sedang menatapku, bersedekap mengulum senyum. Ya ampun apa-apaan sih bos baruku itu?

"Maaf Pak, memang ada yang salah dari riasan wajah saya?" tanyaku takut-takut setengah malu.

Namun si bos hanya tertawa geli sambil menggeleng.

"Terus kenapa saya dipelototi dari tadi begitu?" tuntutku.

"Kamu itu cewek pemberani, pantes aja adikku tergila-gila." ujarnya.

Tak mengerti apa yang dia maksud, aku hanya terdiam dan mencoba mencerna arti kalimat itu.

"Aku tau kamu cinta mati sama Jo, tapi papa memaksaku berjanji untuk memisahkan kalian."

Leon beranjak dari tempatnya berdiri, lalu mendekati aku yang masih mengetik jadwal.

"Jujur saja, aku punya pacar. Tapi demi mama dan papa, aku pulang ke Indonesia dan bersedia mencuri perhatianmu. Aku percaya pada mereka, kamu wanita yang pantas dan cocok menjadi istriku."

Istri? Hah? Kalau ada yang bertanya padaku apa aku kaget mendengar ucapan Leon, maka akan kujawab, sangat! Bahkan aku benar-benar tak tahu apa yang ia bicarakan saat ini.

"Ini pilihan sulit untukku. Aku melepaskan beberapa kesempatan, salah satunya menjadi pimpinan perusahaan internasional di Amerika. Ini semua demi kedua orang tuaku."

"Lalu, kenapa saya terlibat di dalamnya, Pak?"

"Alasan utamanya papa masih rahasiakan, tapi alasan keduanya adalah karena hubunganmu dan Jo sampai ke telinga papa."

Hubunganku dengan Jo?

"Hubungan saya dan Jo?" tanyaku lagi.

"Iya, papa tentu tidak ingin anaknya salah jalan dan menghancurkan reputasi keluarga--"

"Saya berani memastikan semua orang tua akan bersikap seperti itu," selaku cepat. "Kami hanya bersahabat, asal Anda tau."

Aku cukup emosi di waktu sepagi ini. Ingin rasanya kutinggalkan pekerjaan menyusun jadwal rapat. Sayangnya aku salah satu penganut profesionalisme tinggi. Beruntung sekali kau bos!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro