Bab 3. Lapangan Upacara

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seorang wanita setinggi 158 cm dengan badan yang proporsional sedang berjalan ke barisan para siswi bak model papan atas. Rambut hitam sepinggang sengaja ia curly. Bibir tipis dengan polesan lipstik nude. Bulu mata melentik karena maskara yang begitu tebal. Ia adalah Yuppi Arlianka.

Azky berjalan di samping Yuppi. "Hei!" Kemudian berusaha menyamai langkahnya. "Pagi Sayang!"

Yuppi hanya mendelik ke arah Azky tanpa membalas ucapan selamat pagi, dan kembali meluruskan pandangannya. Sikap Yuppi yang tidak biasanya membuat Azky merasa aneh. Namun, Azky berusaha membuat keadaan di antara mereka baik-baik saja walaupun Azky tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan Yuppi.

"Kamu kenapa sih?" Azky hendak memegang tangan Yuppi. Namun, nyatanya itu tidak berhasil karena Yuppi langsung menepisnya.

Yuppi melirik Azky malas. "Menurut kamu?" Lalu ia berhenti dan berbalik badan untuk mengikuti barisan upacara dan menghadap ke tiang bendera.

Azky mengikuti gerakan Yuppi. Ia makin bingung dengan ucapan kekasihnya. Tidak lama, Reksi, Glen, Faro, dan Boris tiba. Mereka berbaris di barisan siswa kelas Azky. Azky dan mereka memang berbeda kelas. Reksi dari kelas IPS 3, Glen dari kelas IPA 1, Faro dari kelas IPS 5, dan Boris dari kelas IPA 4. Namun, selama mereka tidak diketahui guru, sepertinya aman-aman saja.

Reksi berdeham karena melihat Azky yang terus membujuk Yuppi untuk tidak ketus kepadanya. "Yang awalnya miskin, ya miskin aja. Gak usah sok-sokan pengen jadi orang kaya." Ia menatap ke arah Glen, Faro, dan Boris. "Ya gak?"

***

Tok. Tok. Tok.

Seorang hakim mengetuk palu sebanyak tiga kali kemudian memerintah panitera agar para pihak dipersilakan masuk.

Panitera kembali berdiri. "Kepada terdakwa dan penasehat hukum, dipersilakan masuk ke dalam ruang sidang!"

Seorang pria berumur lima puluh tahun memasuki ruang persidangan dan duduk di kursi sebagai terdakwa. Ia menghela napas dalam dengan netra yang terpejam. Menyimpan penyesalan yang mendalam.

Setelah ia duduk, hakim berkata, "Silakan para pihak untuk duduk di tempatnya masing-masing. Ia menatap terdakwa. "Dalam kasus ini, apakah saudara didampingi penasehat hukum?"

Terdakwa mengangguk. "Iya Yang Mulia, saya didampingi oleh penasehat hukum."

***

Azky menoleh, bukan karena seseorang memanggilnya. Ia melihat keempat temannya yang sedang tertawa keras. Tampak seperti memojokkan seseorang. "Sorry, tadi gue gak denger lo semua bilang apa?"

Reksi menepuk halus bahu Azky lalu membersihkannya. Seolah-olah ada kotoran burung ataupun debu di seragamnya. "Ya, kalo miskin. Miskin aja!"

Azky menurunkan tangan Reksi dari bahu. Menatapnya tidak mengerti. "Maksud lo, Rek?"

Reksi mengangkat dahi dan meluruskan pandangan ke depan. Memilih untuk diam.

"Kenapa?" Glen menatap Azky dengan sorot mengejek. "Lo ngerasa ke—"

Hampir semua siswa-siswi di sana memegang ponsel dan berbisik-bisik lalu menatap ke arah Azky.

"Gak nyangka ya?" tanya salah satu siswi yang menonton video di ponsel temannya.

Teman dari siswi itu mendelik ke arah Azky. "Makanya, jangan ketinggian gaya kalau gak punya modal!"

Telinga Azky berdengung. Netranya meneliti sekitar. Hampir seluruh siswa-siswi di sana mendelik ke arahnya dan kembali menatap layar ponsel.

"Glen. Diem lo!" Reksi membentak. Ia menunjuk semua siswa-siswi yang masih ribut. "Eh lo semua juga diem. Upacara mau dimulai!"

Glen mengangkat kedua tangan dan menggeleng dramatis lalu menunduk. Seketika saja ia diam, seakan sebuah perekat sengaja ditumpahkan ke mulutnya.

Azky makin tidak mengerti dengan semuanya. Apa mungkin itu efek karena mereka ingin kembali berlibur? Entahlah.

Upacara dimulai dengan sangat khidmat. Begitu pun dengan bendera yang sudah berkibar. Hampir satu jam mereka berdiri di tengah mentari pagi. Cukup membuat kaki pegal. Untung saja tidak ada pengumuman yang begitu panjang. Setelah upacara selesai, semuanya kembali ke kelas masing-masing.

Azky hampir saja memegang tangan Yuppi. "Sial!"

Faro menepuk bahu Azky. "Az, kita semua ke kelas!"

"Oke. Sampai ketemu di kantin!" Azky tersenyum.

Mereka mulai berpencar menuju kelasnya masing-masing. Azky berlari untuk mengejar Yuppi sampai ke kelas.

***

Azky tiba di ambang pintu. Mengatur napas terlebih dahulu sebelum akhirnya masuk. Pria itu berjalan melewati meja yang tadi pagi terjatuh karena perbuatannya. Netranya menyipit. "Rom. Ini meja lo yang bangunin sendiri?"

Seorang siswa yang dipanggil Azky menggeleng. Ia Romi, teman Azky yang duduk paling depan. "Enggak. Emang ini meja kenapa?"

Azky menggaruk tengkuk. "Eng-enggak. Gak ada apa-apa kok." Ia mengangkat tangan kanan dengan wajah celingukkan. "Eum. Sorry, ada yang liat jaket gue? Yang warna hitam, gak sengaja tadi gue lempar karena takut terlambat upacara."

Seorang siswi mengambil jaket Azky yang berada di lantai. Untung saja siswi itu tidak menginjaknya karena awalnya mengira itu kain bekas. Setelah diambil, ia melemparkan jaket Azky dari belakang. Sehingga Azky langsung menangkapnya. "Thanks."

Azky melihat Yuppi yang sedang tertawa renyah. "Iya? Ada yang lebih kaya dari Reksi?" Ia menggeleng pelan. "Siapa?"

Kedua teman yang sedang mengobrol itu justru menertawakan Yuppi. Salah satu dari mereka menunjuk Yuppi. "Bener-bener ya lo, Yup. Mat—"

Azky membelah obrolan di antara mereka. "Hei!"

Yuppi yang tadinya menghadap ke belakang kini merubah posisi menjadi berpura-pura membaca buku. Azky duduk di kursi kosong sebelah Yuppi. "Kamu kenapa?"

Yuppi membuang napas kasar. Bola matanya membulat. Tangannya menutup buku dan membenarkan posisi untuk menghadap Azky. Azky mengangkat dagu. Kesekian kalinya ia kembali jatuh cinta kepada Yuppi. Bahkan, setiap detik Azky akan mengatakan cinta, kalau saja wanita itu tidak menghentikannya dengan alasan membuat telinganya pengeng.

Yuppi menunjuk Azky. "Kamu nyadar gak sih?"

Azky menggerakkan kepala. Tidak mengerti. "Nyadar? Nyadar apa maksud kamu?"

"Nyadar kalo kit—"

Seorang guru wanita berjalan masuk. "Selamat pagi, anak-anak."

Azky menatap Yuppi yang sedang menopang dagu dengan tangan kiri.

Semua siswa-siswi menjawabnya bersamaan. "Pagi, Bu Loly."

Bu Loly adalah guru fisika sekaligus wali kelas Azky. Kebanyakan siswa menganggap ia adalah guru paling kejam. Bagaimana tidak, jika siswa-siswi terlambat sepersekian detik, ia langsung menghukumnya. Hukumannya memang tidak berupa fisik, tetapi otak. Bu Loly akan menyuruh siapa pun yang terlambat untuk membuat soal sebanyak tiga puluh biji, tidak boleh sama dan harus murni hasil sendiri tanpa dibantu si mbah google.

"Baik. Keluarkan buku kalian dan taruh di atas meja!" titah Bu Loly setelah dirinya selesai mengabsen.

Azky mengeluarkan buku dari tas nya. Pelajaran fisika di hari Senin menambah masalah di otaknya. Seakan-akan semesta sedang tidak baik-baik saja kepada dirinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro