Bab 39. Perhatian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suara entakkan kaki Azky seperti ribuan massa yang akan memulai aksi. Keempat pria dan ketiga wanita itu terus tertawa.

"Woi!" Faro menunjuk Darwin. "Mending lo jauh-jauh sama si miskin deh. Hidup lo bakalan susah kalau sama dia!" Faro kembali tertawa.

Seketika saja, Faro berhenti tertawa karena pria berkumis tipis itu sedang menyiramkan es teh kepada wajahnya.

"Ngomong!" Azky meminta Faro untuk berkata, tetapi suara Faro tidak jelas karena minuman itu mengalir tepat dari kening, hidung, dan mulut.

Daripada membalas ucapan Azky, Faro langsung mendorong tubuh pria berkumis tipis itu sampai membentur meja dengan sangat keras. Pasti rasanya sakit sekali.

"Far, kok lo dorong si Azky? Kuah bakso gue kan jadi tumpah! Ah elo!"

Azky memutar bahu. Meregangkan punggung yang membentur meja tersebut. Faro sama sekali tidak membalas siswi yang berteriak barusan. Menurutnya itu tidak perlu.

"Kenapa? Lo gak terima gue siram kayak gitu?" tanya Azky dengan suara keras.

Faro mengusap minuman yang masih basah di wajahnya. Sangat lengket. "Mau nyari ribut lagi lo sama gue?"

Perkataan itu membuat Reksi langsung menatap Faro yang sudah berdiri dengan kepalan tangan keras berurat. Pria itu pasti akan menghajar Azky, tetapi entah kenapa bayangan Pak Edo muncul di depan wajah Reksi, sedikit samar-samar. Pak Edo menunjuk-nunjuk Reksi dengan mimik muka garangnya. Pria jangkung itu menepis angin kosong di hadapannya. Setelah bayangan Pak Edo hilang, Reksi menatap Faro. "Far. Duduk lo!"

"Kok elo malah nyuruh gue duduk sih, Rek?" Faro tidak terima Reksi melarangnya.

Reksi mengetuk meja dengan sendok sehingga menimbulkan bunyi yang sangat keras. "Duduk gobl*k! Ntar kalo pak Edo liat. Kita semua bisa dihukum!"

"Tapi gue gak terima, Rek!"

Reksi memelotot. "Duduk!"

Satu kata itu membuat Faro diam. Boris mengajak Faro untuk kembali duduk. Memberitahu bahwa saat ini bukan waktu yang tepat untuk mereka bercekcok di hadapan pria berkumis tipis yang sedang tertawa puas.

Faro duduk dan menghela napas. Ia tidak tahu apa alasan Reksi melarangnya berkelahi dengan pria itu. Netranya mendelik ke arah Azky. Reksi terus memperhatikan Faro.

Darwin menarik tangan Azky untuk menjauh dari mereka dan pria itu refleks mengikutinya.

"Kita duduk di situ!" ajak Darwin menunjuk meja kantin yang kosong.

Azky menepis lengan Darwin. Mereka bukan sepasang kekasih yang harus selalu berpegangan tangan. "Ngapain lo ngajak gue ke sini?"

"Kamu duduk dulu!" Darwin menyuruh Azky dengan gerakan tangan.

Entah kenapa, Azky susah untuk melawan Darwin. Ia menurut dan duduk di hadapan Darwin yang sedang menggeser kursi karena sedikit menjauh.

"Kamu mau berantem lagi sama mereka, Azky?"

Azky rasa pertanyaan Darwin tidak perlu ia jawab.

Darwin menggeleng melihat wajah Azky yang sudah tidak keruan. Banyak bekas merah di sekitar ujung hidung dan bibir. Bulatan-bulatan biru bercampur dengan ungu berada di sekitar kedua pelipis. Ia masih tidak paham, pria itu ngotot bertengkar. Padahal, wajahnya bisa kembali mengeluarkan cairan merah karena bekas pukulan itu masih belum kering.

"Kamu tunggu di sini! Aku mau pesen makanan!" pesan Darwin.

"Gak perlu!" Azky menjawabnya ketus.

Darwin tidak menanggapi Azky dan berjalan untuk memesan makanan serta minuman.

"Rek," panggil Boris.

"Apa?" jawab Reksi sambil menyeruput es teh manis.

"Tuh maling ambil barang apa aja sih di rumah lo?"

"Dia bobol brangkas bokap sama ambil semua perhiasan almarhumah nyokap."

"Udah, itu aja?"

Azky melebarkan telinga. Mendengarkan ucapan mereka dengan jelas.

"Duit gue sama cincin buat Yuppi."

Azky menyeringai. Jadi, cincin itu buat Yuppi.

Glen menggeleng. "Wah. Parah tuh maling. Emang pantes sih maling kayak gitu dihajar sampe mati!"

Reksi menggebrak meja sampai membuat semuanya melirik mereka. "Tapi gue yakin, tuh maling gak sendirian!" Pria jangkung itu mengarahkan ucapannya tepat ke arah Azky.

Azky tidak boleh terlihat gugup di samping mereka. Bisa jadi dirinya akan dicurigai Reksi.

"Tuh maling ngambil semuanya hanya dalam beberapa jam." Reksi melanjutkan. "Gak mungkin kan, tuh maling ambil semuanya secepat itu? Ngambil barang di kamar gue dan bokap gue yang jaraknya cukup jauh." Reksi memberitahukan semuanya, tetapi satu hal yang ia tidak beritahu kepada mereka. Tentang ucapan Re yang mengatakan bahwa ia saudaranya. Reksi juga tidak memberitahu Broto akan hal itu. Mungkin itu hanya muslihat si pencuri supaya Reksi membiarkannya pergi.

Darwin tiba dan meletakkan nampan di atas meja. Di dalam nampan itu sudah ada dua mangkuk bakso dan dua gelas es teh manis. Ia mengangkat satu mangkuk bakso dan satu gelas es teh manis untuk diberikan kepada Azky.

"Kamu makan! Aku sengaja beli dua!" tutur Darwin sambil mengaduk-aduk es teh manis.

"Gue bilang gak perlu!" Azky menggeser mangkuk bakso itu dengan punggung tangannya.

"Mubazir loh kalo gak dimakan!"

Azky menghela napas. Perutnya tidak akan berbohong kalau sedang kelaparan. Daripada perut itu berbunyi dan membuat dirinya malu sendiri. Ia langsung mengambil mangkuk itu dan memakannya dengan lahap. Keempat pria di sana saling berbisik dan menunjuk Azky. Azky membiarkan mereka mengatakan apa pun. Ia tidak peduli dan yang penting dirinya harus menghabiskan bakso dan es teh manis itu.

***

Sepulang sekolah Azky terpaksa berdiri di samping Darwin untuk menunggu seseorang menjemput mereka.

Azky mendelik Darwin. Kenapa harus dia yang satu kelompok sama gue?

Setelah istirahat, jam pelajaran kembali dilanjutkan. Bu Rosi—guru bahasa indonesia—memberikan tugas kelompok yang hanya terdiri dari dua orang. Daripada mengurutkan nama sesuai absen, Bu Rosi memilih untuk membuat kelompok berdasarkan tempat duduk. Sialnya, Darwin duduk di samping Azky sehingga mereka satu kelompok. Darwin meminta Azky untuk mengerjakan tugas itu di rumahnya. Azky tidak bisa menolak.

Sebuah mobil pajero berwarna putih berhenti di depan mereka. Sepatu kulit berwarna hitam mengkilap turun dari samping mobil dan menghampiri kedua siswa yang sedang berdiri.

"Darwin." Pria itu tersenyum ke arah Darwin.

"Papa," balas Darwin.

Pria yang memakai jas berwarna abu tua itu ternyata ayahnya Darwin. Azky mengedipkan mata. Ia tidak percaya bahwa Darwin adalah anak orang kaya. Pria itu pasti direktur di salah satu perusahaan. Azky yang mengira bahwa Darwin adalah orang miskin langsung merubah sikapnya seratus delapan puluh derajat.

"Ini siapa ya, Darwin?" Ridho tersenyum ke arah Azky.

"Ini temen Darwin, Pa."

"Saya Ridho." Ridho mengulurkan tangan.

Azky langsung menjabatnya kuat. "Saya Azky, Pak!"

Darwin merasa sedikit aneh dengan sikap Azky. "Darwin boleh kan, ngajak Azky ke rumah?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro