Bab 40. Jam Tangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ridho membuka pintu rumah dan membiarkan Darwin masuk bersama Azky. Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di rumah itu. Ridho merasa ada panggilan masuk di ponselnya. Tangannya mengambil ponsel yang ada di saku celana dan melihat nama yang tertera di sana.

Nilam.

Darwin dan Azky menatap Ridho bersamaan.

"Darwin. Kamu bawa Azky duduk di sofa! Papa mau angkat telepon dulu!" Ridho menjauh dari keduanya dan berdiri di luar teras.

"Kenapa, Nilam?"

Nilam adalah sekertaris Ridho di perusahaannya.

"Ada sedikit masalah di perusahaan, Pak. Bapak bisa ke sini sekarang?"

Ridho berbalik badan, menoleh ke arah pintu yang terbuka. Darwin dan Azky sedang berjalan menuju sofa.

"Baik. Saya akan segera ke sana!"

"Baik, Pak."

Ridho menutup sambungan telepon dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Ia berjalan dan berdiri di ambang pintu.

"Darwin. Papa ke kantor sebentar, ada sedikit masalah di sana!" ujar Ridho.

Darwin mengangguk. "Ah iya, Pa."

Ridho menarik pintu dan menutupnya, kemudian masuk ke dalam mobil dan kembali melaju menuju kantor.

Azky meneliti rumah itu dari atas sampai bawah. Ternyata rumah si Darwin segede ini? Gue yakin, dia lebih kaya daripada si pengkhianat itu.

Darwin mengikuti tatapan Azky yang tertuju kepada sebuah foto keluarga dengan ukuran yang begitu besar menghadap sofa di ruang tamu. Di dalam foto itu Darwin sedang berdiri di samping perempuan yang duduk di kursi roda, sedangkan Ridho memegang pundak perempuan itu dari belakang.

"Azky. Aku ke toilet sebentar!"

Pandangan Azky langsung terfokus kepada pria dengan senyum manis itu. "Ini kan rumah elo. Kenapa izin ke gue?"

Darwin sedikit tertawa. "Kalo gitu silakan duduk dulu ya, Azky! Tunggu ya! Cuma sebentar kok."

Azky mengangguk dan duduk di sofa dengan bertumpang kaki. Darwin sudah menaiki tangga dan menghilang dari pandangannya.

"Mari kita liat! Barang apa yang bisa gue curi di rumah ini?" Azky bangkit. Ia menggosokkan tangannya dan berjalan meneliti ke setiap sudut di ruangan itu. "Ada barang berharga apa, sih?"

Pria itu berhenti saat melihat sebuah vas bunga di atas meja dekat jendela yang mengarah ke luar rumah. Ia menelitinya. Vas bunga itu pasti mahal. Azky menaruhnya dan kembali berjalan. Sesekali ia memandang jauh ke atas tangga. Memastikan bahwa Darwin belum turun dan masih di toilet. Azky kembali berjalan ke ruang keluarga. Netranya memandang setiap benda di sana. Benda-benda yang begitu besar. Menyulitkan Azky untuk mengambilnya, tetapi sebuah benda berkilau mencuri perhatian, lantas pria itu menghampirinya.

Sebuah jam tangan berwarna silver dibalut dengan jutaan permata. Pria berkumis tipis itu menyeringai dan mengusap jam tersebut dengan lembut. "Widih. Jam mahal nih!" Azky mengangguk yakin. Hati dan pikirannya mengatakan bahwa dirinya harus mengambil jam tangan tersebut. Tanpa menunggu waktu yang lama, pria itu langsung memasukkan jam tangan tersebut ke dalam saku jaket dan kembali duduk di sofa. Berharap Darwin tidak mencurigainya.

"Maaf ya Azky, agak lama!" Darwin turun dari atas tangga dengan tangan menggaruk tengkuk. Ia sedikit merasa bersalah karena katanya akan sebentar, tetapi kenyataannya sangat lama.

"Gak apa-apa kok. Santai aja!" Azky menatap ke arah Darwin yang sedang menghampirinya. Selamat-selamat. Gue gak kepergok. Untung gue langsung duduk di sini. Azky mengelus dadanya pelan lalu menghembuskan napas lega.

Darwin duduk di bawah sofa dan membuka tas untuk mengambil buku lalu menaruhnya di atas meja. Azky merasa aneh, pantas saja ia mengira pria itu miskin karena semua sikap Darwin tidak terlihat seperti orang kaya. Sekarang, pria dengan senyum manis itu justru duduk di bawah kursi.

"Kok elo duduk di bawah sih, Win?" Azky bertanya.

"Kalo duduk di sofa terus tangan diarahin ke meja, ntar pegel. Udah duduk di bawah aja!" Darwin menepuk ruang kosong di sampingnya, mempersilahkan Azky untuk duduk di sana.

"Ya udah." Azky duduk dengan bersila. Ia membuka tas dan menaruh buku di atas meja.

Mereka mengerjakan tugas itu bersama-sama. Darwin memang orang yang asyik. Berkali-kali ia mengajak Azky tertawa. Namun, pria berkumis tipis itu hanya sedikit merespon. Mungkin karena mereka baru berteman saja. Azky akui, rupanya Darwin juga pintar. Buktinya, tugas itu terselesaikan dengan cepat sehingga ia bisa pulang ke rumah.

***

Azky meluruskan kaki di atas tempat tidur. Tangannya menarik jaket yang tergeletak di dekat kaki dan mengambil jam tangan yang berada di saku jaket tersebut. "Kalo gue jual jam ini, duitnya pasti banyak!" Pria itu terus meraba jam tangan tersebut. "Gak mungkin kan, kalo semua permata ini palsu? Secara, bokapnya si Darwin itu orang kaya. Kehilangan satu jam tangan aja, dia bisa beli lagi." Azky melemparkan jam tangan itu dengan tangan kanan lalu menangkapnya kembali. Ia mengangguk yakin. "Gue harus jual jam tangan ini!"

***

Karena tidak mau disindir oleh keempat pria geng The Kings itu, Azky berlari meninggalkan Darwin saat bel istirahat berbunyi. Di tengah-tengah lari nya, pria berkumis tipis itu menabrak seorang siswa sampai membuat tubuh keduanya berbenturan dan terjatuh bersamaan.

Darwin yang mengikuti Azky dari belakang berhenti saat sebuah benda terlempar dari saku jaket pria itu dan mendarat di ujung sepatunya.

"Lo punya mata gak sih?" Azky menarik jaketnya yang melorot.

Siswa itu bangkit dan menunjuk Azky. "Harusnya elo. Kalo jalan itu liat-liat!"

"Gue lari, bukan jalan!"

Siswa itu mendengkus. "Gini nih kalo orang gak mau disalahin. Terus aja ngelawan!"

"Nyari ribut lo sama gue?" Azky berdiri menatap pria itu tajam.

"Siapa takut!" Siswa itu mulai memundurkan langkah dan bersiap-siap menghajar Azky.

"Azky!"

Azky yang akan melayangkan satu pukulan langsung berhenti karena mendengar namanya dipanggil. Siswa yang berdiri di hadapan Azky kini menoyor bahu pria berkumis itu. Saat Azky membalikkan badan untuk membalasnya, pria itu sudah berlari jauh.

"Azky!" Darwin kembali memanggil.

"Apa sih, Win? Kenapa lo manggil gue?" Azky menjawab ketus.

Darwin memperlihatkan jam tangan kepada Azky yang ditaruhnya di atas telapak tangan kanan.

"Win. Kamu liat jam tangan Papa di atas meja ini enggak?" Ridho bertanya sambil memindahkan beberapa vas bunga yang berdiri di sana. "Kayaknya Papa naruh di sini, deh. Gak mungkin kan, Papa lupa?"

Darwin terpaksa menghentikan sarapan dan menghampiri Ridho. "Papa yakin? Papa simpan di sana?"

"Papa yakin, Win. Padahal itu jam kesayangan Papa pemberian dari almarhumah mama kamu loh."

"Balikin jam tangan itu!" Azky menatap Darwin penuh amarah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro