2. Akhir Kisah Cinta Indah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 2 Akhir Kisah Cinta Indah

Satu-satunya hal yang Eiza rasakan di tengah kesadaran yang naik turun adalah tubuhnya yang berbaring di ranjang dorong, suara-suara bising dan dua orang yang saling bicara. Untuk segera membawanya ke ruang operasi. Dokter sedang bersiap untuk menyelamatkan ibu dan anak.

Ketakutan menyergap dadanya. Dokter sudah memperingatkannya akan resiko kontraksi yang memicu persalinan lebih cepat jika dia melakukan tes DNA tersebut. Meskipun keadaan janin di perutnya sehat dan kuat saat persalinan harus dilakukan lebih cepat. Usianya cukup matang.

“Tunggu.” Suara Maria Lee memecah di tengah rasa sakit yang muncul dan hilang di perutnya. Kepalanya bergerak terangkat, menemukan sang mertua yang mendekati ranjang dorongnya di tengah lorong. “Dia sudah bangun. Biarkan kami bicara sebentar. Ini sesuatu yang penting.”

“Nyonya, ini …”

“Tiga menit. Ah tidak. Hanya satu menit,” potong Maria keras kepala, mendorong si perawat untuk menyingkir dari tepi ranjang.

“Eiza, kau harus menandatangani surat ini. Danen sudah mengetahui …”

“D-di mana Danen, Ma?” Mata Eiza yang basah bergerak mencari sang suami. Yang tak akan ditemukannya.

“Dia tidak akan datang. Kau harus memberinya waktu untuk dirinya sendiri setelah tahu anak itu bukan miliknya.”

Kalimat sang mertua seperti seember air garam yang disiramkan di atas lukanya. Memeras perasaannya habis-habisan. Ia bahkan tak sempat bertemu dengan Danen untuk menjelaskan semuanya. 

“Dan dia sudah setuju untuk menikah dengan Jessi. Jadi, sekarang kau harus mempermudahnya untuk kami. Tanda tangani surat perceraian ini.”

“A-apa?” Suara Eiza tercekat dengan keras di tenggorokan. Air mata semakin membanjir di kedua mata Eiza. Menghalangi pandangannya.

“Cepat, Eiza. Kau tak ingin membunuh anakmu sendiri dengan memperlambat semua ini, kan? Anakmu harus segera ditangani dokter.”

“Eiza tidak ingin bercerai …”

“Kau harus melakukannya. Untuk kebaikan kalian bertiga.”

“Ijinkan Eiza bicara dengan Danen …”

“Tidak. Dia sedang pergi dengan Jessi. Untuk bertemu kedua orang tua Jessi.” Maria memegangkan pen pada tangan Eiza. “Cepat, dokter sudah menunggumu.”

Mata Eiza terpejam, rasa sakit di perutnya semakin menjadi. Begitu pun dengan hatinya yang serasa dirobek-robek. Apakah ini akhirnya? Akhir dari kisah cintanya dan Danen?

“Cepat, Eiza.” Maria menggoyang pergelangan tangan Eiza. Mengepaskan posisi di mana calon mantan menantunya harus membubuhkan tanda tangan. “Lakukan di sini.”

Gumpalan besar tertahan di tenggorokannya. Keras dan sesak. Telapaknya menggenggam pen di tangannya kuat-kuat, sebelum kemudian bergerak menggores kertas tersebut. Ya, inilah akhirnya. Kisah mereka harus berakhir di sini.

Senyum licik Maria melengkung puas begitu Eiza melepaskan pegangan pada pen di tangannya. “Oke. Kau melakukan yang benar, Eiza. Semoga anakmu lahir dengan selamat.”

Hanya kata itu yang terakhir ia dengar sebelum kegelapan menyelimuti pandangannya. Menyelamatkannya dari kehancuran yang menggerogoti hatinya. Dari rasa sakit yang semakin tak tertahankan.

***

Tubuhnya terasa lemah dan tenggorokannya terasa kering. Bau antiseptic yang tajam menusuk hidungnya ketika perlahan kesadaran mulai melingkupi Eiza. Matanya mengerjap beberapa kali, menyesuaikan dengan cahaya ruangan yang menyilaukan.

Saat pandangannya kembali jernih, satu-satunya perasaan yang muncul adalah kekosongan di perut. Kepalanya bergerak naik dan tangannya bergerak menyentuh perutnya yang sudah rata. 

‘Apakah putrinya sudah lahir?’

Matanya bergerak mengedar ke seluruh ruangan yang serba putih. Tak banyak yang bisa dilihat di ruang sempit ini. Tiang infus di samping ranjang dan menja kecil di sisi ranjangnya yang lain. Satu sofa panjang dan meja, pintu di sudut ruangan yang ia yakini adalah sebuah kamar mandi.

Ia berusaha bangun terduduk, tetapi rasa sakit dan kaku di perut mencegahnya untuk bergerak lebih banyak. Tak ada siapa pun di ruangan ini. Termasuk sang suami yang seharusnya mendampinginya di tengah persalinan. Tapi ia lupa, Danen Lee bukan lagi suaminya. Dan putri yang dilahirkannya bukan milik sang suami.

Suara langkah yang semakin jelas berhenti tepat di balik pintu. Mendorong pintu terbuka dan seorang perawat melangkah masuk.

“Anda sudah bangun?” sapa perawat tersebut dengan senyum yang lembut. Mendekati ranjang untuk memeriksa saluran cairan infus.

“Di mana putri saya?”

“Di ruang NICU. Besok pagi, jika keadaannya sudah stabil akan dirawat gabung dengan Anda.”

Eiza mengangguk. Tak bertanya apa pun lagi meski ujung lidahnya sudah bergerak untuk mempertanyakan apakah ada seseorang yang menjenguk.

“Suami Anda meminta kami memindahkan Anda ke ruang perawatan di lantai 18.” Baru saja perawat tersebut menyelesaikan kalimatnya, dua perawat lain muncul dari balik pintu.

Mata Eiza membelalak.”S-suami?”

“Ya, Nyonya.”

Kebahagiaan segera berbinar di kedua mata Eiza. Danen datang. Ya, Danen tak mungkin mengabaikannya. Apa yang dikatakan oleh mama mertuanya adalah kebohongan. Danen pasti tahu kalau ia tak pernah mengkhianati pria itu. Hanya Danen Lee lah satu-satunya pria yang ia cintai dan jaga kesetian hatinya. Danen pasti lebih mempercayainya.

Senyum melengkung di bibir Eiza yang pucat dan kering. Melupakan rasa haus yang mencekik tenggorokannya karena saking bahagianya. Dan senyum itu tak berhenti melekat di wajahnya sepanjang perawat mendorong ranjangnya ke dalam lift dan naik ke lantai yang dimaksud. Masuk ke sebuah ruangan luas dengan fasilitas lengkap. Nyaris mirip dengan suite sebuah hotel bintang lima. Sudah pasti ini adalah ruang perawatan terbaik yang ada di gedung rumah sakit ini. Pemandangan langit dan kota, terlihat dari dinding kaca yang ada di seberang ruangan.

Dua orang berpakaian putih menyambut kedatangannya. Memeriksanya dengan lebih teliti seolah-olah dia adalah pasien yang sangat dihormati. Tetapi semua pelayanan terbaik itu tak sebanding dengan limpahan kebahagiaan di dadanya karena tak sabar untuk melihat wajah Danen.

“Di mana suami saya?” Suara serak Eiza terasa menyakiti tenggorokannya, tetapi ia abaikan. Ia hanya butuh melihat wajah Danen.

“Suami Anda sedang memiliki panggilan mendesak setelah menjenguk putri Anda di ruang NICU. Beliau akan segera datang,” jawab dokter tersebut dengan senyum yang lebih lembut dan lebar. “Apakah Anda memiliki keluhan tertentu?”

Eiza menggeleng.

“Pusing atau sakit di daerah tertentu?”

Eiza menggeleng lagi. “Operasinya berjalan lancar, bukan?”

“Ya, operasinya berjalan lancar meski tekanan Anda sempat tinggi dan mengalami pendarahan.”

“Saya baik-baik saja, Dok,” ucap Eiza setengah menghibur kecemasan yang tersirat di kedua mata sang dokter. “Saya selamat, juga putri kami, kan?”

Dokter tersebut mengangguk. “Jika ada keluhan lainnya, Anda bisa segera memanggil perawat.”

Eiza mengangguk.

Dua dokter dan perawat akhinya berpamit setelah memastikan semua keadaan sang pasien baik-baik saja. “Suami Anda sudah datang, kami permisi dulu.”

Eiza menoleh ke samping. Mendengar suara langkah yang semakin jelas dari ruangan sebelah yang tak bisa dijangkau pandangannya. Jantung Eiza berdegup kencang, menunggu dengan senyum yang menghiasi wajahnya. Langkah itu semakin dekat hingga sosok itu muncul. Langsung bertatapan dengan matanya yang dipenuhi binar cinta.

“Danen?” Panggilan Eiza membeku. Bibirnya menjadi kelu menatap sosok tinggi besar yang mengenakan setelah tiga pasang berwarna hitam itu tersenyum kepadanya. Tipis, tapi tetap sebuah senyum.

“Eizara?” Suara maskulin dan berat itu memecah keheningan yang membentang di antara keduanya.

Eiza mematung. Mengenali sepasang mata hitam, rambut gondrong yang disisir rapi ke belakang, dan gestur tinggi dan besar itu bukanlah suaminya. Danen Lee. “S-siapa kau?”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro