3. Pengkhianatan Sang Suami

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 3 Pengkhianatan Sang Suami

Senyum tersebut berubah menjadi seringai. Ada kilat geli akan pertanyaan yang diajukan Eiza. “Rupanya kau tak mengenaliku?”

Eiza tak akan bertanya jika mengenali pria itu. Tubuhnya bergerak terduduk, mengabaikan rasa tak nyaman di area perut. Juga bulu tengkuknya yang mulai berdiri, oleh ketidaknyamanan akan tatapan intens pria itu yang mengamatinya dengan seksama. Pria itu melangkah lebih dekat ke ranjang pasien, membuat Eiza beringsut menjauh tetapi kali ini rasa tak nyaman di perutnya berubah menjadi rasa sakit. Mencegahnya bergerak lebih banyak.

“Ya. Malam itu suasana sangat gelap dan kau dalam pengaruh obat. Tak heran jika kau tak mengingatku.” Tangan pria itu terulur, hendak menyentuh helaian rambut Eiza yang berantakan di sekitar wajah. Tetapi sebelum ujung jemarinya bahkan bersentuhan dengan sehelai rambut wanita itu, tangan Eiza menampar jemarinya dan raut keheranannya berubah menjadi amarah.

“Pergi kau!” sergah Eiza akan kelancangan si pria.

Si pria hanya tersenyum. Tangannya masih melayang di udara, ketika tatapannya berubah dingin dan bertanya, “Kau bertanya siapa aku, bukan?”

Ketidak nyamanan yang Eiza rasakan perlahan berubah menjadi ketakutan akan sorot si pria yang semakin menggelap. Meski ia bertanya-tanya siapa pria itu gerangan? Di mana Danen sekarang adalah pertanyaan yang paling ia butuhkan jawabannya.

“Aku ayah dari si mungil cantik yang sudah kau lahirkan tadi malam.” Seringai si pria naik lebih tinggi. Sebelum Eiza sempat mencerna keterkejutan wanita itu, tangannya sudah menangkap kedua tangan Eiza dan memerangkap dalam satu genggaman. Mendorong tubuh atas Eiza kembali berbaring dan ia membungkuk di atas wanita itu. “Marcuss Rodrigo.”

Eiza memekik pelan, meringis menahan rasa sakit di perut yang semakin menusuk di tengah keterkejutan yang menerjangnya. Ayah dari putrinya? Kepala Eiza menggeleng, dengan kepucatan yang semakin merebak. “Aku tidak mengenalmu.”

“Ya. tapi mungkin kau mengingat malam pertamamu?” Kepala Marcuss bergerak menurun, menyisakan jarak setipis mungkin di antara wajah mereka. Matanya yang berkilat licik, menyiratkan kegelian yang sangat akan kebingungan di kedua bola mata Eiza. “Itu malam terhebat yang pernah terjadi di hidupku. Aku tak pernah mendapatkan kepuasan sesempurna itu dari wanita manapun.”

Ingat Eiza berputar dengan cepat. Nyaris seperti kaset rusak. Malam pertama? Malam pertamanya dan Danen? Kedua mata Ezia menmbeliak. Kejanggalan yang sudah terpendam jauh di dalam hatinya, kini mencuat. Malam itu ….

Senyum melengkung di wajahnya meski kegugupan tak berhenti mendebarkan hatinya. Hanya mengingat pernikahan yang berakhir dengan lancar dan seperti yang mereka impikan, perlahan hatinya menjadi tenang kembali. Menatap pantulan wajahnya di cermin. Bola matanya yang berwarna hijau menyiratkan kebahagiaan yang teramat besar. Bibirnya merekah merah, tanpa polesan lipstik karena terlalu sering ia gigit sepanjang menunggu sang suami menyusulnya ke kamar. Dan ini adalah malam pertamanya dengan Danen.

Lampu kamar tiba-tiba mati. Eiza tersentak pelan, kepalanya berputar dan kegelapan yang terlalu pekat tak memberi perbedaan bahkan jika matanya terpejam. Suara pintu yang dibuka segera melunturkan ketakutan yang sempat membekap. 

“Danen?” panggilnya. Melangkah ke arah pintu kamar dengan kedua tangan meraba-raba ke sekeliling. Ia baru mendaapatkan langkah keduanya ketika sebuah lengan memeluknya dari belakang. “Danen,” pekiknya merasakan punggungnya yang ditarik menempel di dada bidang pria itu. Satu tangannya menempel di lengan di pria yang melingkari perutnya dan tangannya yang lain bergerak mencari wajah sang suami yang sudah tenggelam di cekungan lehernya. “Kau minum?”

Gumaman yang lirih sebagai jawaban membuat Eiza menoleh ke samping. Ada sesuatu yang aneh yang … kecurigaannya terhenti oleh tubuhnya yang tiba-tiba diputar. Kepalanya didongakkan dan bibirnya ditangkap. Pekikannya terpatah oleh cairan yang dimasukkan ke mulutnya. Keterkejutan membuat cairan itu mengalir ke dalam, membakar tenggorokannya. 

Eiza sempat tersedak, ketika tubuhnya tiba-tiba didorong ke belakang. Menyusul tubuh yang setengah menindihnya tersebut. Melucuti pakaiannya dengan ciuman yang semakin menggebu dan memanas, bergerak merambat dari rahang, turun ke leher, tulang selangka dan dadanya.

 Eiza tak berani mengingat lebih jauh ingatan tersebut, malam panas yang berhasil mengeluarkan sisi terliar yang bahkan dirinya sendiri tak kenali. Terlalu memalukan bahkan hanya untuk diingat. Ternyata bukan bersama Danen. Pria yang ia cintai. Suaminya.

“T-tidak mungkin.”

Marcuss terkekeh. Tangannya bergerak merangkum wajah Eiza. Nyaris mencengkeram karena pemberontakan yang berusaha dilakukan oleh wanita itu. “Aku tak menyangka keisengan itu berhasil membawa kita dalam ikatan yang lebih kuat. Ada anakku yang bertumbuh di perutmu.”

Air mata menggenang di kedua matanya. Mencoba menghapus fakta itu dari ingatannya meski tak mungkin menghapus kebenaran tersebut. Fakta tersebut benar-benar menamparnya dengan keras. Sejak awal, ialah yang berkhianat.

“Suamimulah yang menjualmu padaku. Sebagai bayaran untuk uang receh yang kuberikan pada perusahaan itu. Aku sudah menduga perusahaan itu tak akan bertahan lebih dari setahun. Hanya butuh delapan bulan ketika Nyonya Lee menggedor pintu rumahku malam-malam. Untuk menjual putriku sendiri.”

Seolah belum cukup semua fakta tersebut menghancurkan kesetiaan dan menodai cintanya. Kini Eiza harus dihadapkan bahwa fakta suami dan mertuanyalah yang mengkhianatinya. Orang yang paling ia percaya, yang menusukkan belati pengkhiatan itu lebih dalam tepat di dadanya.

Isakan tangisnya tak bersuara lagi meski air matanya mengalir lebih deras dari sebelumnya. Seluruh kekuatannya raib hanya dalam sepersekian detik. Berharap himpitan tumbuh Marcuss di atas tubuhnya menenggelamkannya dalam kegelapan. Berharap rasa sesak di dadanya membunuhnya dengan perlahan. Melenyapkannya dari bumi ini.

Tangan Marcuss mencengkeram rahang Eiza meski wanita itu tak lagi meronta. Kedua matanya yang basah tersebut menyiratkan keputus asaan yang begitu dalam. Tampak kosong. Pun begitu, Marcuss mendaratkan satu lumatan yang singkat. Pada awalnya, Marcuss pikir hanya sebagai ucapan selamat datang di hidupnya. Namun, rasa manis yang disesapnya membuatnya menginginkan lebih. Lebih dari sekedar lumatan. Pagutan yang semakin dalam.

Eiza sama sekali tak menolak ciuman itu. Rasa sakit di kedua tangan karena pakuan pria itu di atas kepala, sama sekali tak berkutik bahkan ketika Marcuss melonggarkan pegangan. Ia sudah tak punya apa pun. Tak ada alasan yang harus membuatnya bernapas. Anaknya bukan lagi miliknya, cintanya telah mengkhianatinya dan bahkan ia tak memiliki rumah untuk dituju.

“Aku sudah memutuskannya.” Marcuss menegakkan punggungnya. Ibu jarinya mengusap bibir bagian bawahnya ketika menggumam lirih dan tegas. “Kau akan menjadi milikku.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro